Aceh-Amerika 1873: Gagalnya Kerja Sama dan Perang (4)

Konten Media Partner
26 Maret 2019 8:43 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bekas Masjid Raya yang terbakar dalam penyerangan Belanda ke Aceh, 1873. Foto: KITLV Tropen Museum
zoom-in-whitePerbesar
Bekas Masjid Raya yang terbakar dalam penyerangan Belanda ke Aceh, 1873. Foto: KITLV Tropen Museum
ADVERTISEMENT
Tepat hari ini, 146 tahun lalu, Belanda memaklumatkan perang terhadap Aceh. Kerja sama pertahanan dengan Amerika gagal.
ADVERTISEMENT
Tahun 1872, Belanda mulai mengumpulkan kekuatan untuk menginvasi Aceh, satu-satunya daerah di nusantara yang belum berhasil ditaklukkannya. Ketika Inggris secara sepihak membuat perjanjian Traktrat Sumatera dengan Belanda, dengan sendirinya, Inggris mengingkari Traktrat London sebagai perjanjian kerja sama dengan Aceh yang sudah terjalin jauh sebelumnya.
Berpihaknya Inggris kepada Belanda menjadikan Aceh harus mencari mitra baru dalam menghadapi kemungkinan perang dengan Belanda. Maka, Diplomat Aceh, Syahbandar Panglima Tibang, bersama beberapa wakil Sultan Aceh diutus ke Singapura. Mereka menjajaki kerja sama dengan Konsul Amerika, Perancis, dan Italia. Dan yang paling menyita perhatian Belanda adalah, pertemuan diplomat Aceh dengan Mayor Studer, konsul Amerika di Singapura.
Panglima Tibang membelot ke Belanda. Diplomat Aceh lainnya, Tuanku Ibrahim Raja Fakih Ali, mengambil alih membuat Proposal of Atjeh-America Treaty, bersama Konsul Amerika di Singapura, Mayor Studer. Belanda mencium rencana tersebut, maka sebelum proposal kerja sama pertahanan itu sampai ke Gedung Putih, Belanda mengumumkan perang dengan Aceh pada 26 Maret 1873, disampaikan oleh Komisaris Pemerintah merangkap Wakil Presiden Hindia Belanda, FN Nieuwenhuijzen.
Mayor Studer. Dok. Ist
Lalu Belanda menyerang wilayah kesultanan Aceh, masuk melalui Ulee Lhee. Istana digempur dan pasukan Aceh mempertahankannya termasuk Masjid Raya Baiturrahman. Di sana pula, Jenderal Kohler tewas tertembak. Beberapa hari perang, masjid terbakar dan pasukan Aceh meninggalkannya dan keraton, membangun kekuatan di sekitar Lueng Bata.
ADVERTISEMENT
Belanda menguasai kompleks istana, terus menggempur wilayah Aceh menghadapi para pejuang yang terus berusaha merebut. Belanda mengumumkan bahwa pusat kerajaan dan sebagian wilayah Aceh dalam kekuasaan mereka.
Proposal of Atjeh-America Treaty baru dikirim kepada Presiden Amerika, Jenderal Grant, lima bulan kemudian. Naskah perjanjian Aceh-Amerika itu ditulis dalam bahasa Inggris, di Penang, Malaysia, pada 16 Agustus 1873.
Selain sebagai pengantar naskah perjanjian, surat itu juga sebagai petisi yang menginginkan agar Presiden Amerika Serikat, Jenderal Grant, membantu dan berpihak kepada Aceh dalam melawan agresi Belanda. Surat itu selain ditandatangani oleh Tuanku Ibrahim Raja Fakih Ali selaku kuasa Sultan Aceh di Penang, juga ditandatangani oleh para diplomat Aceh di sana. Mereka adalah: Tuanku Muhammad Hanafiah, Haji Yusuf Muhammad Abu, Seri Paduka Raja Bendahara, Ahmad Annajjari, Syeikh Ahmad Basyaud, Syeikh Kasim Amudi, dan Gulamudinsa Marikar.
ADVERTISEMENT
Naskah Proposal of Atjeh-America Treaty tiba di Washington DC pada 4 Oktober 1873. Namun karena perang Aceh dengan Belanda sudah berlangsung selama 7 bulan, Presiden Amerika Serikat Jenderal Grant mengambil sikap melihat perkembangan selanjutnya yang terjadi di Aceh.
Sejarawan Aceh M. Nur El Ibrahimy dalam buku Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh menjelaskan, Proposal of Atjeh-America Treaty tersebut merupakan bukti sejarah kenangan baik hubungan Aceh-Amerika, yang menjadi misteri sejarah, karena isinya belum pernah dipublikasikan. Dokumen tersimpan di US National Archives.
Belanda terus melakukan berbagai upaya untuk mendiskreditkan Aceh dan Amerika. Konsul Belanda di Singapura William Read bersama mata-matanya Tengku Muhammad Arifin membuat versi Belanda Proposal of Atjeh-America Treaty. Isinya mencontek naskah perjanjian Inggris dengan Brunei Darussalam.
ADVERTISEMENT
Proposal of Atjeh-America Treaty versi Belanda ini, sengaja dibuat untuk mendiskreditkan Konsul Amerika di Singapura, Mayor Studer. Versi ini secara masif dipublikasi oleh Belanda, seolah-olah dibuat oleh Mayor Studer dan Pang Tibang, padahal rekayasa Read dan Arifin.
Surat pengantar proposal rencana perjanjian kerja sama Aceh-Amerika
Ada beberapa perbedaan mencolok dari versi asli Proposal of Atjeh-Amerika Treaty dengan versi rekayasa Belanda. Dalam versi rekayasa Belanda yang dibuat oleh Read dan Arifin itu, kerja sama Aceh-Amerika tersebut belum dituangkan ke dalam format naskah perjanjian, merupakan naskah tunggal yang terdiri dari 12 butir, dan belum bertanggal.
Versi rekayasa Belanda itu juga dibuat oleh agen Belanda agar dapat menuduh Sultan Aceh mengkhianati perjanjian Aceh-Belanda tahun 1857, serta menuduh Amerika Serikat ikut campur tangan dalam masalah Aceh dengan Belanda.
ADVERTISEMENT
Isinya mengesankan bahwa: Dengan adanya perjanjian itu status Aceh berubah menjadi protektorat; Sultan Aceh membebaskan warga Amerika Serikat dari kewajiban tunduk kepada hukum pengadilan Aceh; Sultan Aceh memberi hak kepada warga negara Amerika Serikat untuk membeli dan menjual tanah di daerah kekuasaan Pemerintah Aceh; Sultan Aceh memberi kelonggaran kepada warga Amerika Serikat dalam hal membayar cukai dan pajak lima persen lebih murah dari tarif yang berlaku.
Sementara versi asli Proposal of Atjeh-Amerika Treaty yang sudah dituangkan dalam bentuk naskah perjanjian dan dilengkapi cap sultan, merupakan naskah dua bagian, yaitu bagian umum dan khusus janji (komitmen) Sultan Aceh kepada Pemerintah Amerika Serikat. Tiap-tiap bagian terdiri atas 6 pasal, dan sudah bertanggal.
ADVERTISEMENT
Salah satu butir menjelaskan bahwa Sultan Aceh memberikan izin untuk menjadikan Pulau Weh (Sabang) sebagai pangkalan militer Amerika Serikat dengan harapan meningkatkan fungsi Sabang menjadi pelabuhan internasional. Dalam versi asli Proposal of Atjeh-America Treaty juga tidak ada hal-hal seperti yang tercantum dalam versi rekayasa Belanda.
Surat kerja sama kemudian menjadi tak berguna. Aceh terus berperang dengan Belanda sejak 26 Maret 1873. Jepang kemudian masuk mengusir Belanda dan sekutunya pada 1942. Tak lama kemudian, Indonesia memproklamirkan diri sebagai sebuah negara merdeka. Aceh menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. (tamat)
Penulis: Iskandar Norman