Aceh dan Para Perempuannya, Jauh Sebelum IWD Tercetus

Konten Media Partner
8 Maret 2021 22:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Perempuan-perempuan Aceh masa lalu sejajar berdiri dengan para lelaki, berkuasa dan berjuang. Mereka pernah memimpin Kesultanan Aceh, bahkan menjadi panglima perang. acehkini merangkum sejumlah kiprah mereka, Selamat Hari Perempuan Sedunia.
Taman Ratu Safiatuddin. Foto: Abdul Hadi/acehkini
International Women’s Day (IWD) atau Hari Perempuan Internasional diperingati serentak di seluruh dunia, Senin 8 Maret 2021. Momen penting untuk meningkatkan kesadaran mengenai kesetaraan perempuan.
ADVERTISEMENT
Perayaan tahun ini mengambil tema 'Choose to Challenge'. Ini bermakna, perempuan bebas memilih untuk menunjukkan bahwa mereka dapat ikut serta dalam berkomitmen menantang dan menyerukan ketidaksetaraan gender.
Hari Perempuan dirayakan berbeda di setiap tempat, termasuk Indonesia dan Aceh. Sebagian menggelar aksi di jalanan, kampanye di media, dan diskusi-diskusi secara daring di tengah pandemi corona.
International Women’s Day dicetuskan pada 1909 oleh para perempuan di beberapa negara, dan kemudian diakui PBB pada 1975. Gerakan menyuarakan kesetaraan gender dan pemenuhan hak-hak perempuan terus berlangsung hingga kini.
Jauh sebelum itu, Aceh telah mencatat sejumlah perempuan hebat, kiprahnya sejajar dengan para lelaki. Mereka adalah inspirasi bagi perempuan Aceh masa kini, berikut sosoknya:

Para Sultanah Pemimpin Aceh

Empat Sultanah (Ratu) mempimpin Aceh sepanjang 59 tahun berturut-turut sejak 1641 sampai 1699. Yang pertama adalah Sultanah Safiatuddin, putri Sultan Iskandar Muda (1607–1636). Perempuan itu didaulat menjadi pemimpin menggantikan suaminya Sultan Iskandar Tsani (1636-1641).
ADVERTISEMENT
Usai Iskandar Tsani meninggal, tiga hari sesudah berkabung, para pembesar kerajaan sepakat mengangkat jandanya, Safiatuddin, menjadi sultanah. Ada sejumlah perdebatan, dan pengangkatannya tidak mudah karena sebagian menentang perempuan menjadi raja.
Para penentang berargumen pengangkatan perempuan sebagai raja tak sesuai dengan hukum Islam. Dalam hukum Islam, menurut tafsiran sebagian pihak. Jangankan menjadi pria, menjadi imam dan menjadi wali pun perempuan tidak diperbolehkan.
Ilustrasi lukisan Sultanah Safiatuddin. Dok. Wikipedia
Dalam buku ’59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu’, Prof. Ali Hasjmy menulis, musyawarah kerajaan dilakukan untuk memecah kebuntuan. Dalam duek pakat itu, seorang ulama terkemuka di Kerajaan Aceh pada waktu itu, Teungku Abdurrauf as-Singkili, yang dikenal sebagai Teungku Syiah Kuala, menyarankan untuk memisahkan antara urusan agama dan urusan pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Maka kukuhlah pengangkatan Ratu Safiatuddin sebagai Sultanah Aceh dengan gelar Seri Sultan Tajul Alam Safiatuddin Syah berdaulat Zil Allah, Fil- alam ibnat Sultan Raja Iskandar Muda Johan Berdaulat.
Sultanah Safiatuddin kemudian memerintah sampai wafat pada tahun 1675. Setelah itu, tiga periode berturut-turut, Kesultanan Aceh Darussalam dipimpin oleh perempuan. Mereka adalah Ratu Naqiatuddin Syah (1675-1678 M), Ratu Zakiatuddin Syah (1678-1688 M), dan Ratu Kamalat Syah (1688-1699 M).
Saat para perempuan itu memerintah, Tgk Syiah Kuala adalah ulama besar di Aceh yang diangkat sebagai penasihat kerajaan dengan gelar Kadhi Malikul Adil.

Laksamana Malahayati

Bernama asli Keumala Hayati, Laksamana Malahayati adalah perempuan pejuang pada masa Kesultanan Aceh Darussalam. Pada tahun 1585–1604, dia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.
ADVERTISEMENT
Ketika itu, Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (pasukan perang perempuan Aceh). Pada 11 September 1599, Malahayati membunuh pimpinan pasukan perang Belanda, Cornelis de Houtman dalam sebuah pertempuran di atas kapal di perairan laut Aceh, dan menawan adiknya Frederick de Houtman, yang belakangan dibebaskan dan kembali ke Belanda.
Laksamana Malahayati. Dok. wikipedia
Houtman bersaudara tercatat sebagai orang Belanda yang pertama kali ke Nusantara, tepatnya di Pelabuhan Banten, 27 Juni 1596. Mereka kemudian keliling pulau Jawa untuk mencari rempah-rempah sampai tiba di Aceh pada pertengahan Juni 1599 dengan dua kapal besar.
Kedatangan mereka awalnya diterima baik-baik oleh pemimpin Aceh, sampai kemudian karena kesombongan dan provokasi seorang Portugis kepercayaan Sultan Alauddin, pertempuran pun terjadi.
Makam Laksamana Malahayati berada di bukit Krueng Raya, Lamreh, Aceh Besar. Ia digelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 115/TK/Tahun 2017 tanggal 6 November 2017.
ADVERTISEMENT

Putri Kamaliah (Putroe Phang)

Putri Kamaliah adalah permaisuri Sultan Iskandar Muda. Perempuan ini berasal dari Negeri Pahang, bagian dari Malaysia sekarang. Karenanya, dia dikenal sebagai Putroe Phang.
Sebagai permaisuri, Putroe Phang dikenal sebagai pelopor pembentukan Majelis Mahkamah Rakyat, atau semacam Dewan Perwakilan Rakyat sekarang. Majelis beranggotakan 73 orang yang berasal dari mukim-mukim di kawasan Aceh Besar.
Putroe Phang sangat berpengaruh dalam pemerintahan dan penyusunan undang-undang Kesultanan Aceh. Sampai kini, ada sebuah petuah yang masih melekat di benak orang Aceh, “Adat bak poe teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun nibak Putroe Phang, reusam nibak Laksamana.”

Cut Nyak Dhien

Cut Nyak Dhien lahir di Lampadang, Aceh Besar, pada 1848. Ia adalah istri dari Teuku Umar, seorang pejuang paling ditakuti Belanda. Mereka dikenal sebagai suami istri yang tangguh melawan penjajah Belanda, terlibat banyak perang.
ADVERTISEMENT
Setelah Teuku Umar wafat pada 11 Februari 1899 di Meulaboh, Aceh Barat, Cut Nyak Dhien terus memimpin pasukan Aceh bergerilya dari hutan ke hutan.
Lukisan Cut Nyak Dhien dalam bingkai foto di rumahnya. Foto: Adi Warsidi/acehkini
Setelah bertahun-tahun memimpin perang, kesehatannya menurun dan penglihatannya mulai kabur. Salah seorang panglimanya, Pang Laot Ali merasa iba dengan kondisinya, lalu membuat perjanjian dengan Belanda. Syaratnya, Belanda harus merawat Cut Nyak Dhien.
Belanda setuju, lalu ditawankan Cut Nyak Dhien dan dibawa ke Banda Aceh. Dalam pengawasan Belanda, Cut Nyak Dhien masih berkomunikasi dengan para pejuang. Hal ini diketahui penjajah, lalu mengasingkannya ke Sumedang, Jawa Barat pada 1906.
Cut Nyak Dhien meninggal pada 6 November 1908 di pengasingan dalam usia 60 tahun, makamnya terawat baik di Sumedang hingga kini. Sebagai penghargaan terhadap perjuangan Cut Nyak Dhien, pemerintah mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional.
ADVERTISEMENT

Cut Nyak Meutia

Cut Nyak Meutia adalah seorang pejuang perempuan pada masa Kesultanan Aceh Darussalam. Ia lahir di Keureutoe, Aceh Utara, pada 15 Februari 1870. Pada masa hidupnya, Cut Meutia berjuang bersama pasukan Inong Balee melawan penjajah Belanda.
Ia gugur dalam pertempuran dengan pasukan Belanda di Alue Kurieng, Aceh Utara, pada 24 Oktober 1910. Makam Cut Meutia berada di kawasan hutan lindung Gunung Lipeh, Ujung Krueng Kereuto, Pirak Timur, Aceh Utara.
Perempuan tangguh ini juga diangkat menjadi Pahlawan Nasional, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 107/1964 pada tahun 1964.
Cut Meutia. Dok. wikipedia
Selain mereka, ada sejumlah nama-nama besar perempuan Aceh dalam sejarah. Seperti Sultanah Nahrisyah yang memimpin Kerajaan Samudera Pasee (1406-1428), Teungku Fakinah, ulama perempuan Aceh sekaligus pejuang, Pucot Baren, Pocot Meurah Intan dan lainnya. []
ADVERTISEMENT