Agar Rencong Tak Punah Sebagai Identitas Aceh (25)

Konten Media Partner
11 Februari 2022 11:02 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Di masa konflik DI/TII dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), penggunaan rencong semakin berkurang sebagai senjata. Benda pusaka Aceh ini pun semakin dibatasi untuk kegiatan budaya, keberadaannya diambang punah.
Rencong koleksi Tarmizi Abdul Hamid. Foto: Suparta/acehkini
Rencong, pedang dan ragam senjata lainnya tertata rapi di Rumoh Manuskrib Aceh, sekaligus kediaman Pemerhati Sejarah dan Budaya, Tarmizi Abdul Hamid. Umumnya rencong di sana jenis meukuree dengan ukiran kaligrafi di bilahnya, bersumber pada kalimat syahadat tauhid.
ADVERTISEMENT
Tarmizi telah lama menyimpan rencong-rencong peninggalan perang kolonial Belanda. Sebagian milik leluhurnya, dan sebagian lagi milik kolektor senjata yang dititipkan untuk dijaganya. Dia sendiri dikenal sebagai kolektor manuskrib kuno Aceh.
“Senjata warisan budaya ini harus dijaga dan dilestarikan untuk diketahui generasi Aceh ke depan,” katanya saat wawancara dengan penulis.
Tarmizi menilai saat konflik DI/TII pada periode 1953-1962, dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada periode 1976-2005, kebiasaan orang-orang Aceh membawa rencong dan senjata tajam lainnya mulai hilang. Bahkan muncul peribahasa: ‘bek jok sikin bak aneuk miet’ (jangan memberi pisau kepada anak-anak). Selain konflik, kebiasaan membawa rencong pada saat keluar rumah bagi orang Aceh perlahan hilang karena perubahan zaman.
Menurutnya, saat ini banyak orang tak mengerti bahwa rencong sudah menjadi peralatan seni dan budaya. Penggunaan rencong asli berbahan besi dan tajam kadang-kadang dilarang dalam kegiatan kebudayaan. "Mereka yang melarang tidak mengerti budaya," katanya.
Tarmizi Abdul Hamid. Foto: Suparta/acehkini
Semula senjata perang dalam mengusir Belanda, sekarang rencong menjadi cendera mata yang dijual di toko suvenir. Dan ini pun kerap terkendala, karena souvenir yang diizinkan bebas dibawa ke luar Aceh oleh wisatawan hanya berbentuk pin atau rencong kecil berbahan kuningan.
ADVERTISEMENT
Sedangkan rencong asli berbahan besi, jarang dikoleksi wisatawan karena terkendala untuk membawa pulang ke daerahnya. Sebab rencong termasuk senjata tajam yang tidak bebas dibawa ke mana-mana dalam penerbangan kecuali oleh para pejabat dan orang-orang tertentu saja. Sebagian menyiasatinya dengan membawa lewat jalur darat. "Rencong asli walau sudah dibeli di Aceh, banyak yang tidak bisa dibawa pulang oleh wisatawan," ujarnya.
Rencong perlu dijaga untuk tetap ada sebagai identitas budaya. Tarmizi memberikan beberapa saran agar rencong Aceh tetap eksis. Pertama, mempertimbangkan kembali peraturan penggunaan senjata sehingga tidak ada larangan penggunaan senjata tradisional sesuai kearifan lokal, baik dari Aceh atau daerah lain di Indonesia. Larangan itu dinilai dapat mengurangi kreativitas masyarakat membuat senjata tradisional.
ADVERTISEMENT
Kedua, pemerintah harus memberi izin untuk wisatawan membawa pulang rencong asli berbahan besi dan tajam ke daerah asalnya tanpa pelarangan, seperti yang selama ini terjadi saat pemeriksaan di bandar udara.
Kalau dua hal itu tidak ada perubahan, Tarmizi meyakini bakal berdampak terhadap perajin yang dikhawatirkan tidak lagi membuat rencong karena kurang peminat.
Selain itu, Tarmizi berharap agar setiap orang Aceh menjaga keberadaan rencong dengan menyimpannya dalam rumah. "Seharusnya orang Aceh menempatkan rencong sebagai marwah dan senjata sehingga harus ada koleksi di rumahnya," katanya. []