Aktivis Perempuan Aceh: 'Masih Miskin Kok Poligami?'

Konten Media Partner
10 Juli 2019 17:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi poligami. Foto: Meiliani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi poligami. Foto: Meiliani/kumparan
ADVERTISEMENT
Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSUIA) angkat bicara soal penyusunan qanun yang mengatur legalisasi poligami oleh Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Presidium BSUIA, Suraiya Kamaruzzaman, menilai aturan itu belum tepat karena masih banyak masalah kemiskinan yang dialami masyarakat Aceh.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dia mengatakan banyak persoalan sosial lain di Aceh yang penyelesaiannya lebih penting untuk diprioritaskan. Terlebih, Aceh merupakan provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi di Sumatera dan keenam tertinggi di Indonesia dengan persentase 15,97 persen berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).
“Hal tersebut lebih penting untuk diselesaikan daripada urusan melegalkan poligami," kata Suraiya Kamaruzzaman kepada acehkini, Rabu (10/7).
"Tamsilannya, 'masih miskin kok poligami?'," sambungnya.
Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSUIA), Suraiya Kamaruzzaman. Foto: Dok. Probadi
Dia berpendapat, rancangan qanun itu tidak mengakomodasi kepentingan perempuan, malah akan membuat praktik poligami di Aceh semakin marak. Qanun itu, lanjutnya, hanya akan menguntungkan pihak-pihak yang ingin berpoligami.
Suraiya meragukan qanun itu akan menguntungkan perempuan dan anak. Berdasarkan banyak kajian, menurutnya, perempuan dan anak akan lebih sejahtera dan bahagia jika hidup dalam keluarga yang monogami, yakni terdiri dari satu ayah, satu ibu, dan anak-anak.
ADVERTISEMENT
"Seharusnya qanun ini diarahkan untuk kepentingan penguatan ketahanan keluarga, menyelesaikan persoalan-persoalan kesejahteraan keluarga, bukan memasukkan legal praktik poligami yang menyebabkan istri dan anak yang dalam banyak praktik malah menjadi telantar," ucap Suraiya.
Semua alasan untuk melegalkan poligami, menurut Suraiya, tidak masuk akal. Misalnya dengan alasan untuk menyelesaikan masalah menikah siri. Dia berpendapat seharusnya masalah itu diselesaikan dengan membuat kebijakan penghapusan nikah siri, bukan lewat poligami.
Dia menambahkan yang diperlukan sebaiknya adalah berfokus pada kebijakan pencegahan masalah sosial seperti penelantaran menafkahi keluarga.
"Apa sanksinya kalau ditelantarkan dan apa skema pemenuhan nafkah jika terjadi penelantaran terhadap keluarga," ucap Suraiya. []
acehkini