Konten Media Partner

Angka Stunting di Aceh Turun Jadi 31,2 Persen

25 Februari 2023 20:47 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pj Ketua Tim Penggerak PKK Aceh Ayu Candra Febiola Nazuar menyampaikan bahwa prevalensi stunting di Aceh turun dari 33,2 persen pada 2021 menjadi 31,2 persen pada tahun 2022. Foto: Dok. Adpim Aceh
zoom-in-whitePerbesar
Pj Ketua Tim Penggerak PKK Aceh Ayu Candra Febiola Nazuar menyampaikan bahwa prevalensi stunting di Aceh turun dari 33,2 persen pada 2021 menjadi 31,2 persen pada tahun 2022. Foto: Dok. Adpim Aceh
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penjabat Ketua Tim Penggerak PKK Aceh Ayu Candra Febiola Nazuar, menyampaikan bahwa prevalensi stunting balita di Aceh turun dari 33,2 persen pada 2021 menjadi 31,2 persen pada tahun 2022. Artinya, Aceh berhasil menurunkan 2 persen angka stunting dalam satu tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, angka tersebut masih di atas-rata nasional. Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 yang dirilis Kementerian Kesehatan, prevalensi balita stunting di Indonesia pada 2022 berada pada angka 21,6 persen.
"Alhamdulillah Aceh dari awalnya peringkat 3 terbawah sekarang jadi rangking ke 5 terbawah, walaupun sedikit kita patut syukuri agar Allah selalu memberikan keberkahan,” ujar Ayu pada talkshow Jaring Opini Publik bertema Pernikahan Dini Picu Stunting, dikutip Sabtu (25/2/2023).
Prevalensi balita stunting di Indonesia berdasarkan provinsi menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022.
Ayu menyebutkan penurunan prevalensi stunting menjadi program prioritas TP PKK Aceh di tahun ini. Bahkan, untuk memaksimalkannya PKK Aceh telah menyusun strategi dengan mengoptimalisasi setiap program kerja pokja, sebab keempat pokja memiliki tugas yang saling berkaitan terhadap penurunan stunting.
Selain itu, sambung Ayu, ada 3 faktor penting yang mempengaruhi penurunan stunting pada anak yaitu, pola asuh, pola makan dan akses sanitasi dasar yang bagus. Ketiga faktor tersebut saling berkaitan pada kondisi gangguan gizi kronis pada anak.
ADVERTISEMENT
Karena itu, harus dilakukan intervensi yang difokuskan pada perempuan, mulai dari usia remaja guna mempersiapkan fisik mereka sebagai calon ibu di masa depan.
Kemudian, upaya intervensi pada remaja putri yaitu pemberian tablet tambah darah (TTD) mingguan bagi remaja putri dari usia sekolah mulai SMP dan SMA sederajat, serta dibarengi dengan dorongan aktivitas fisik dan konsumsi makanan bergizi seimbang.
Ilustrasi seorang balita diukur tinggi badannya oleh petugas di Posyandu Cempaka, Kota Banda Aceh, Selasa (11/8/2020). Foto: Suparta/acehkini
"Intervensi ini dilakukan untuk memastikan dan mempersiapkan remaja putri tidak kekurangan zat besi dan gizi sebelum mereka hamil nantinya,” kata Ayu.
Berikutnya intervensi pada ibu hamil mulai pemberian TTD, pemeriksaan kehamilan rutin, pemberian makanan tambahan pada ibu hamil, dan pemantauan perkembangan janin dengan pemeriksaan ibu hamil minimal 6 kali selama 9 bulan. Semua itu harus tercukupi, lantaran hal tersebut menjadi faktor penting pada ibu hamil untuk mencegah kekurangan energi kronis/gizi dan zat besi pada ibu hamil.
ADVERTISEMENT
Lalu, intervensi pada 1000 hari pertama kelahiran, yaitu dengan pemberian asupan ASI eklusif bagi bayi 0-6 bulan, kemudian pada anak usia 6-24 bulan dilanjutkan dengan pemberian makanan tambahan yang tinggi protein hewani. Sebab pada usia tersebut stunting meningkat signifikan, akibat kurang protein hewani pada MP-ASI yang mulai diberikan sejak 6 bulan.
"Namun demikian, semua intervensi itu tidak hanya menjadi beban kaum perempuan atau ibu saja, tapi itu juga harus ada dukungan dan kerja sama para bapak dan suami, agar stunting dapat dicegah sedini mungkin," tutup Ayu.