Batalkan Diskusi UU ITE, Staf Ahli Kominfo Kritik FH Unsyiah

Konten Media Partner
20 Februari 2020 12:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengumuman pembatalan diskusi. Dok. KontraS Aceh
zoom-in-whitePerbesar
Pengumuman pembatalan diskusi. Dok. KontraS Aceh
ADVERTISEMENT
Guru Besar FISIP UNAIR, sekaligus Staf Ahli Menkominfo, Henri Subiakto, mengkritik Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (FH Unsyiah), Banda Aceh karena membatalkan diskusi ilmiah, yang direncanakan di kampus tersebut.
ADVERTISEMENT
Kritik itu disampaikan melalui media sosial dan mengundang banyak komentar seputarnya. Sejumlah LSM ikut mengirimkan materi tersebut ke berbagai WhatsApp Group. “Materinya boleh dikutip media, kami sudah meminta izin untuk share kepada beliau,” kata Hendra Saputra, Koordinator KontraS Aceh kepada acehkini, Kamis (20/2/2020).
Dalam kritiknya, Henri mengatakan pada Selasa (18/2) hadir di Pengadilan Negeri Banda Aceh, untuk memberikan kesaksian terjadap kasus yang menimpa Saiful Mahdi, Dosen Unsyiah yang dilaporkan oleh Dekan Fakultas Teknik, Taufik Saidi karena diduga melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Prof Henri Subiakto saat memberikan kesaksian di PN Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
“Banyak akademisi yang menghindar terlibat, takut menghadapi persoalan dengan para pejabat kampus. Sehingga sedianya ada diskusi ilmiah di kampus (Fakultas Hukum Unsyiah) yang awalnya mengundang kami, tiba-tiba dibatalkan karena pihak kampus tidak mengizinkan seminar yang terkait UU ITE,” tulis Prof Henri.
ADVERTISEMENT
“Aneh juga, kampus dengan Fakultas Hukumnya kok takut diskusi tentang UU ITE, padahal sudah jauh-jauh mendatangkan saya dari Jakarta ke Banda Aceh. Bahkan seminggu sebelumnya, junior saya dari FH UNAIR, Dr Herlambang P. Wiratraman, juga seminarnya dibatalkan mendadak di tempat yang sama. Alasannya, kabarnya kampus ‘ingin netral’. Kok masih ada orang berpikir seperti zaman Orde Baru. Maka mahasiswa pun kecewa, dengan keputusan pimpinan kampus negeri ini. Salah satunya seperti yang saya upload di sini. Power tends to corrupt, but absolut power corrupt absolutly, ternyata berlaku juga di kampus,” sambungan tulisannya.
Henri menilai, kalau sampai ada seorang dosen harus dipidana menggunakan UU ITE hanya karena yang bersangkutan mengkritik di WA group tentang kebijakan pimpinan Universitas dan Fakultas, maka kasus memidanakan pendapat akademisi seperti ini bisa mempengaruhi penilaian pelaksanaan demokrasi.
ADVERTISEMENT
Di Indonesai khususnya, kebebasan berpendapat akan disorot dunia internasional. Indeks demokrasi negeri kita akan merosot gara-gara kasus-kasus penerapan UU ITE secara serampangan dalam beberapa kasus di daerah. “Padahal UU ITE ini dulu dibuat sedianya untuk melindungi publik dan Hak Asasi Manusia dalam memanfaatkan internet, sekarang kok malah jadi UU yang menakutkan, Draconian Code karena sering digunakan secara salah di banyak kasus,” kritik Prof Henri.
Persoalan tersebut bermula saat Prof Henri dihadirkan oleh pengacara untuk memberikan kesaksian di Pengadilan Banda Aceh. Memanfaatkan keberadaannya sebagai ahli UU ITE, Kontras Aceh meminta kesediaan Pusat Studi Hukum dan HAM FH Unsyiah untuk menggelar diskusi di kampus.
“Saya memberitahukan kepada salah seorang dosen FH Hukum, sekitar seminggu sebelum Prof Henri di Aceh,” jelas Hendra Saputra.
ADVERTISEMENT
Seharusnya diskusi digelar pada siang hari, usai Prof Henri memberikan kesaksian di pengadilan. Paginya, Hendra dihubungi oleh Wakil Dekan FH Unsyiah, Dr Azhari untuk memberitahukan agar diskusi ilmiah tersebut tak digelar di kampus hukum. Alasanya menjaga netral dalam kasus ITE dosen lapor dosen.
Seminggu sebelumnya, kata Hendra, rencana diskusi yang ingin menghadirkan Dr Herlambang P. Wiratraman, salah seorang saksi ahli dalam kasus Saiful Mahdi, juga gagal digelar. “Artinya ini sudah dua kali tidak jadi. Banyak mahasiswa yang kecewa,” kata Hendra.
Fakultas Hukum Ingin Netral
Wakil Dekan Bidang Akademik FH Unsyiah, Dr Azhari Yahya, mengakui menolak diskusi pada saat itu karena waktunya tidak tepat. “Pagi memberikan kesaksian dalam kasus, siang diskusi. Ini sedikit tidaknya akan mengiring opini ke pihak pengadilan. Itu tidak bagus, karena pihak pengadilan harus netral,” katanya kepada acehkini, Kamis (20/2).
ADVERTISEMENT
Azhari menjelaskan bukanlah kampus yang mengundang pemateri, tetapi hanya diminta kesediaan untuk menyiapkan tempat. Lagi pula, informasi yang disampaikan saat meminta izin tersebut tidak terlalu jelas, tidak disampaikan bahwa yang menjadi narasumber adalah orang yang paginya memberikan kesaksian pengadilan dalam kasus Saiful Mahdi. “Kalau ini disampaikan dari awal, kami sudah terima kasih saja untuk tidak terima,” jelasnya.
Diskusi sesi pertama yang batal. Dok. KontraS Aceh
Alasannya, FH Hukum Unsyiah tidak mau terseret-serat dalam kasus ITE yang melibatkan para dosen. “Saiful Mahdi dan Dekan Fakultas Teknik orang kampus, jangan (kasus) mereka berdua kami ikut serta, ingin netral,” katanya.
Azhari menambahkan, jika datang pada kesempatan lain dan tidak membawa-bawa kasus dosen lapor dosen tersebut, FH Hukum dengan tangan terbuka menerima. Apalagi membahas aturan undang-undang yang menjadi aktivitas sehari-hari di sana. “Saya tegaskan Fakultas Hukum (Unsyiah) tidak pernah menolak orang berdiskusi secara ilmiah. Secara akademik terbuka dan selalu bekerja sama dengan berbagai lembaga,” katanya. []
ADVERTISEMENT