Konten Media Partner

Belanda Kuasai Istana Aceh, 147 Tahun Lalu

27 Januari 2021 12:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Perang kolonial Belanda di Aceh meninggalkan banyak kisah sejarah, terbakarnya Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, kisah wabah kolera, meninggalnya Sultan dan puluhan ribu pejuang Aceh, serta tentara kolonial.
Bekas Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh setelah terbakar, Januari 1874. Dok. Tropenmuseum KITLV
zoom-in-whitePerbesar
Bekas Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh setelah terbakar, Januari 1874. Dok. Tropenmuseum KITLV
Kisah dimulai setelah Pemerintah Kerajaan Belanda menyatakan perang dengan Kerajaan Aceh pada Rabu, 26 Maret 1873 bertepatan dengan 26 Muharam 1290 Hijriah. Maklumat itu dibacakan dari geladak kapal perang Citadel vab Antwerpen yang berlabuh di antara Pulau Sabang dan daratan Aceh.
ADVERTISEMENT
Sebulan kemudian, 6 April 1973, Belanda mendaratkan pasukannya di Pante Ceureumen, Ulee Lheue di bawah pimpinan, Mayor Jenderal JHR Kohler. Perang mulai berlangsung, pejuang Aceh mati-matian mempertahankan istana dan pusat peradaban, Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
Beberapa kawasan berhasil direbut, tapi tidak pusat Kerajaan Aceh. Belanda kehilangan semangat setelah pemimpin perang Mayor Jenderal JHR Kohler mati ditembak pejuang Aceh pada 14 April 1873, saat berusaha merebut Masjid Raya Baiturrahman.
Pasukan Belanda mundur ke Ulee Lheu, selanjutnya pada 23 April 1873, mereka mendapat izin dari Batavia untuk pergi dari medan perang. Pada 29 April 1873, armada Belanda meninggalkan perairan Aceh dan agresi pertama ini gagal.
Paul van’t Veer dalam bukunya De Atheh-oorlog, menuliskan kegagalan tersebut membuat Pemerintah Hindia Belanda di Batavia sangat terpukul. Mereka lalu merancang strategi untuk menyerang Aceh kembali, mengumpulkan pasukan untuk menjaga marwah di lingkungan Internasional.
ADVERTISEMENT
Setelah pasukan dikumpulkan sekitar 13.000 orang, dipimpin oleh Jenderal Van Swieten, mereka diberangkatkan ke Aceh dengan puluhan kapal di tengah wabah kolera. Selanjutnya pada 9 Desember 1873, mereka berhasil mendarat di sekitar kawasan rawa-rawa Peunayong, Banda Aceh.
Target mereka adalah menguasai Masjid Raya dan Istana Darut Donya Kesultanan Aceh, yang diyakini sebagai pusat pemerintahan.
Serangan pertama dilakukan pada 6 Januari 1874, ditujukan ke Masjid Raya Baiturrahman sebagai pusat peradaban. Serangan dilakukan sebuah brigade lengkap dengan 1.400 personel. Pada akhir serangan, tercatat 200 orang serdadu dan 14 perwira terluka parah. Belanda berhasil menguasai masjid itu, setelah seluruhnya terbakar.
Kerkhof, kuburan para prajurit Belanda yang mati di Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Perang terus berlangsung, pada 24 Januari 1974, pasukan Van Swieten berhasil menguasai Istana, tetapi dalam keadaan kosong setelah ditinggalkan Sultan Alauddin Mahmudsyah, beserta keluarga dan pengawalnya. Mereka mundur ke Lueng Bata, lalu ke Samahani dan Indrapuri (Aceh Besar). Pusat pemerintahan kemudian dipindahkan ke Keumala, Pidie.
ADVERTISEMENT
Van Swieten mengirimkan berita kawat ke Batavia dan Den Haag, atas kemenangan menguasai istana. Belanda mengumumkan telah merebut Kesultanan Aceh ke seluruh dunia.
Di Batavia dan Negeri Belanda, perebutan istana dianggap sebagai sukses terpenting yang telah dicapai dalam ekspedisi, karena berhasil membalaskan dendam pada April 1873 dengan keberhasilan pada Januari 1874.
Van Swieten karena gembiranya berpesta pora di istana, memerintahkan personel musik tentaranya memaikan lagu ‘Wien Neerlandsch Bloed’ serta mengedarkan sampanye kepada para perwira yang sengaja dibawa untuk maksud merayakan kemenangan.
Di sisi lain, pejuang Aceh sedang berduka, karena mangkatnya Sultan Alauddin pada 29 Januari 1874. Sultan terjangkit wabah kolera yang dibawa Belanda. Tongkat perjuangan terus digelorakan, dipimpin para ulama dan Ulee Balang, di bawah pimpinan Tgk Imum Lueng Bata, Tuwanku Hasyim Banta Muda, dan Panglima Polem.
ADVERTISEMENT
Perang terus terjadi di Aceh, kendati istana telah diduduki. Para pejuang terus memberikan perlawanan kepada Belanda, sampai Jepang masuk pada Maret 1942.
Pada bagian penutup bukunya, Paul van’t Veer menulis: “Aceh adalah daerah yang paling akhir dimasukkan dalam wilayah Pemerintahan Belanda, dan yang mula-mula sekali keluar dari padanya. Pengunduran diri Belanda pada 1942 adalah akhirnya.” []