Konten Media Partner

Bertemu Fauka Noor Farid, Usai Perang Penghabisan di Aceh

5 Agustus 2019 20:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Usai kontak senjata TNI-GAM di Ujong Pancu, 1 Juni 2005. Foto: Adi Warsidi
zoom-in-whitePerbesar
Usai kontak senjata TNI-GAM di Ujong Pancu, 1 Juni 2005. Foto: Adi Warsidi
Tsunami Aceh belum genap bulan, konflik masih berlangsung dalam status Darurat Sipil. Sementara para perunding Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Medeka (GAM) sedang merampungkan kesepakatan perdamaian, dalam babak akhir perundingan di Helsinki, Filandia.
ADVERTISEMENT
Sebuah kabar diterima para jurnalis, 1 Juni 2005, datang dari para penyintas tsunami yang tinggal di pengungsian kawasan Ujong Pancu, Aceh Besar. Kontak senjata antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan GAM sedang terjadi.
Bersama beberapa kawan, aku bergegas memacu motor ke sana, sepanjang perjalanan memasuki kawasan Ujong Pancu, sisa puing tsunami 26 Desember 2004 masih jelas terlihat. Kayu-kayu berserakan, rumah-rumah hancur, berpadu dengan tenda-tenda darurat, tempat warga tinggal sementara.
Di sebuah tanah lapang, pasukan TNI sudah turun usai mengusir GAM dari bukit Ujong Pancu. Kontak senjata baru saja usai, TNI menurunkan beberapa bukti telah menggerebek markas GAM di atas sana. Tak ada korban jiwa, gerilyawan yang berkekuatan 8 orang, berhasil kabur dalam lebatnya pepohonan.
ADVERTISEMENT
Pasukan TNI ramah menyambut kami, pimpinannya juga. Aku melihat nama di baju lorengnya, Fauka, dengan pangkat satu bunga melati alias Mayor. Saat aku memotret, dia meminta agar kamera tak mengarah kepadanya. Kami sangat patuh.
“Tapi wawancara dikit boleh kan bang,” kataku. “Boleh, nama saya silakan ditulis juga, Fauka Noor Farid. Biar keluarga saya ketika membaca berita nanti tahu, kalau saya di sini dan sehat-sehat saja,” katanya saat itu. Dia adalah Komandan Detasemen Pemukul I Raider, yang bermarkas di Lambaro, Aceh Besar.
Pasukan TNI pimpinan Fauka Noor Farid, usai kontak tembak di Ujong Pancu. Foto: Adi Warsidi
Gaya bicaranya santun, teratur dengan senyum ramah. Saat mendengar namanya, aku merasa tak asing. Saat pulang ke rumah, baru kuketahui ternyata Fauka terkenal, pernah terlibat dalam Tim Mawar pada kasus penculikan aktivis tahun 1998. Belakangan, Fauka dikaitkan dengan kerusuhan 21-22 Mei 2019 di Jakarta, demontrasi besar-besaran pasca-Pemilihan Presiden 2019.
ADVERTISEMENT
Kontak senjata TNI dan GAM, terjadi pukul 16.30 WIB, di wilayah Ujung Pancu, Kecamatan Pekan Bada, Aceh Besar. Fauka mengatakan, kontak senjata dipicu laporan warga karena banyaknya GAM yang turun ke desa mencari logistik. "Masyarakat melaporkan banyak GAM yang turun untuk memeras masyarakat," ujarnya saat itu.
TNI kemudian mendeteksi pergerakan GAM di sekitar Bukit Ujung Pancu. Sebanyak tiga tim diturunkan untuk melacak keberadaan GAM di lokasi tersebut. "Sempat terjadi kontak 5 menit, kekuatan GAM sekitar 8 orang," kata Fauka. GAM kemudian kabur dan meninggalkan barang-barang mereka.
Anak buah Fauka kemudian menunjukkan barang bukti milik GAM yang ditemukan di lokasi kontak tembak. Ada satu pucuk SS-1, 250 amunisinya, baju, celana, ransel, sepatu, makanan, obat-obatan, dan dua lembar bendera GAM.
ADVERTISEMENT
***
Setelah perang di Ujong Pancu tersebut, TNI dan GAM kembali terlibat kontak di Desa Perumpieng, Kecamatan Montasik, Aceh Besar, pada 26 Juni 2005, sekitar pukul 01.00 WIB. Kontak tembak itu mengakibatkan 1 GAM menjadi korban dan satu pucuk senjata AK-56 disita, sesuai yang disampaikan Letkol Joko Warsito, Komandan Kodim 0101 Aceh Besar kepada jurnalis, kala itu.
Dalam laporannya, Joko menyebutkan, kontak tembak itu berawal dari laporan masyarakat yang mengatakan kelompok GAM turun pada malam harinya, untuk memeras keuchik (kepala desa), meminta uang sebesar Rp 5 juta. Masyarakat kemudian melaporkan hal itu kepada TNI.
TNI dari kesatuan Paskhas TNI AU kemudian melakukan pengejaran terhadap kelompok GAM Montasik, Kontak senjata tak dapat dihindari. GAM yang meninggal bernama Abdullah, langsung diserahkan ke pihak keluarga untuk dikuburkan. ”Kami terus menghimbau kepada GAM untuk turun gunung dan menyerah,” sebut Joko kala itu.
Pemotongan senjata GAM setelah damai Aceh disepakati. Foto: Adi Warsidi
Juru Bicara GAM Wilayah Aceh Rayeuk, Tengku Muchsalmina mengakui kontak itu terjadi saat TNI melakukan operasi di kaki bukit kawasan Desa Perumpieng, Montasik. ”Kontak terjadi selama satu jam, satu GAM syahid dengan 1 pucuk AK,” sebutnya kala itu.
ADVERTISEMENT
Dia membantah, kalau GAM telah melakukan pemerasan terhadap warga. Karena, GAM tidak mungkin melakukan hal itu kepada masyarakat Aceh.
Saat ini, Muchsamina, bernama asli Irwansyah, adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Kami kerap bertemu, berbagi kisah-kisah konflik masa lalu, sambil berharap perang tak terulang.
Dua perang itu adalah yang terakhir saat konflik masih mendera Aceh. Tak lama kemudian, bakal tim pemantau perdamaian dari Uni Eropa dan ASEAN, dikirim ke Aceh untuk menyiapkan segala sesuatu jelang kesepakatan damai, ditandatangani 15 Agustus 2005. []
Reporter: Adi Warsidi