Bertemu Kembali Nek Aisyah, Penyintas Tsunami Aceh Tertua di Desa Mukhan

Konten Media Partner
27 Desember 2021 11:17 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gampong (desa) Mukhan, Kecamatan Indra Jaya, Aceh Jaya, pernah diamuk tsunami 17 tahun silam. Kala itu rumah-rumah hancur tergulung ombak, sebagian besar warganya menjadi korban. Perlahan, warga tersisa membangun kembali desanya menjadi lebih baik.
Bersama Nek Aisyah di Desa Mukhan, Aceh Jaya, setelah 17 tahun tsunami Aceh. Foto: Habil razali/acehkini
Aku tak ingat persis Desa Mukhan saat berkunjung ke sana bersama Habil, akhir Agustus 2021 lalu. Hampir tiba di pintu gerbang desa setelah melewati sebuah jembatan kecil, sambil menyetir mobil aku berkata kepada Habil yang duduk di samping, “aku pernah ke sini dulu, masa rehabilitasi pascatsunami.”
ADVERTISEMENT
Aku kembali ke sana untuk sebuah urusan, melihat keberhasilan program yang dijalankan Pemerintah Aceh Jaya bersama UNICEF dalam urusan anak. Wilayah itu salah satu pilot project desa layak anak. Kami ditemani rekan dari dinas kesehatan dan UNICEF.
Keuchik (kepala desa) Mahmuddin menyambut kami di kantor. Sejumlah kader desa berkumpul, dan sesi wawancara dimulai. Usai pengumpulan data kelar, aku mengisahkan kepada Mahmuddin tentang Mukhan yang pernah kukunjungi dulu, yang masih berserakan dan membangun kembali pascatsunami.
Pikiran menerawang jauh ke belakang, tepatnya pada 6 November 2008, saat aku berkunjung ke sana menghadiri peresmian rumah-rumah baru bantuan Pemerintah Saudi Arabia melalui The Saudi Charity Campaign (SCC). Duta Besar Saudi Arabia (saat itu), Mr Abdulrahman Alkhayyat, hadir langsung.
ADVERTISEMENT
Tak banyak warga di sana yang kukenali, hanya Nek Aisyah yang saat itu berumur 55 tahun. “Apa Nek Aisyah masih hidup, saya dulu pernah memotretnya,” tanyaku kepada Pak Keuchik sambil memperlihatkan dokumen fotoku dulu.
“Masih, beliau ada di rumahnya, tak jauh dari sini,” jawabnya.
Lalu, aku beranjak bersama Habil dan Pak Keuchik berjalan kaki menyusuri kompleks rumah bantuan yang sudah dipenuhi pepohonan. Tiba di sana, Nek Aisyah sedang sibuk di rumah tetangga belakang rumahnya.
“Dimana kenal Nek Aisyah,” tanya seorang tetangga kepadaku.
“Kami kawan lama,” jawabku sambil tertawa. Dia kemudian bergegas mencari nek Aisyah.
Nek Aisyah duduk di depan rumah barunya, 6 November 2008. Foto: Adi Warsidi
Aku memperhatikan rumahnya dengan seksama, tak banyak perubahan selain catnya yang sudah kusam. Dulu, aku memotretnya duduk di teras saat mengikuti acara peresmian dipusatkan di masjid bantuan depan rumahnya.
ADVERTISEMENT
Nek Aisyah tiba menyapa kami. “Pue na (ada apa) Pak Keuchik,” katanya kepada Mahmuddin. Spontan aku mendekat, menyalami sambil menunduk mencium tangannya dan memperkenalkan diri.
Tentu dia menggeleng tak mengenal. Kuperlihatkan fotonya dulu, dia melihat dan mengangguk. “Mata hana trat trang le (mata saya sudah kurang terang),” katanya.
Lalu aku mengingatkan kisahnya saat tsunami yang pernah diceritakan dulunya. Nek Aisyah serius mendengar sambil menambahkan kisah-kisah yang luput.
Nek Aisyah, kini 72 tahun, menjadi penyintas tsunami tertua di Desa Mukhan. Segala duka tsunami telah dirasakannya, kehilangan suami dan anaknya, hingga 4 tahun tinggal di tenda-tenda pengungsian.
Saat tsunami 17 tahun lalu, Nek Aisyah bersama anak perempuannya sedang berada di Pasar Lamno untuk berbelanja. Air laut tak menyentuh pasar itu. Dia selamat bersama satu anak perempuan dan satu anak laki-lakinya. Sementara suami dan anak laki-lakinya yang lain menjadi korban.
ADVERTISEMENT
Air tsunami surut, Nek Aisyah kembali ke Mukhan. Yang dilihatnya adalah puing-puing dan mayat. Tak ada lagi tapak rumahya dulu. Mulailah hidupnya mengungsi dari tenda, ke shelter sampai rumah bantuan siap dibangun.
Rumah bantuan miliknya diakui lebih bagus dari rumahnya dulu. Type 45 permanen, dengan dua kamar tidur plus kamar mandi dan dapur. "Rumah saya dulu hanya semi permanen dan sangat sederhana,” kisah Nek Aisyah.
Pemerintah Arab Saudi membangun rumah bagi korban tsunami di Desa Mukhan dalam satu kompleks berjumlah 167 rumah dilengkapi sebuah masjid. Semuanya tertata rapi.
Kantor Desa Mukhan, Aceh Jaya. Foto: Adi Warsidi/acehkini
Desa Mukhan kini jauh lebih baik, dihuni sekitar 500-an jiwa atau 140 KK. Permukiman itu berada sekitar 72 kilometer dari Calang, Ibu Kota Aceh Jaya.
ADVERTISEMENT
Usai ramah tamah, aku mengajaknya berfoto, lalu pamit sambil menyalami kembali Nek Aisyah. Matanya berlinang, “terima kasih pak, neusaweu saweu lom kamoe menye di sinoe (terima kasih pak, kunjungi lagi kami di sini),” katanya melepas kami. []