Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.90.0
Konten Media Partner
Bioskop Alternatif Versi Anak Muda Aceh: Keliling Kampung Putar Lakon
7 Januari 2020 11:08 WIB
ADVERTISEMENT
Satu persatu pengunjung mulai mengisi kursi-kursi merah kosong yang tersusun rapi bertingkat-tingkat. Duduk di kursi itu, orang-orang tersebut akan menghadap sebuah layar lebar yang ditempelkan di dinding.
ADVERTISEMENT
Setelah semua kursi terisi penuh, lampu utama tiba-tiba dimatikan. Keadaan tak sepenuhnya gelap, karena di sela-sela antara dinding dan loteng, lampu hias berwarna biru menyala remang-remang. Pandangan orang-orang lalu tertuju ke layar yang mulai memutari lakon gambar hidup. Musik lalu menggema seisi ruangan.
Pemandangan ini dapat kita rasakan ketika sejumlah anak muda Aceh yang tergabung dalam Aceh Menonton menggelar bioskop alternatif di Gedung Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh, Gampong Mulia, Kota Banda Aceh.
"Karena sekarang BPNB sedang direhab, Aceh Menonton pindah ke Ivory Cafe di ruang terbuka," kata Akbar Rafsanjani, Programmer Aceh Menonton kepada acehkini, Selasa (7/1).
Bioskop alternatif ini digelar dua kali dalam sebulan. Setelah bioskop menghilang di Aceh karena tsunami 2004 dan disusul gencarnya penerapan syariat Islam, ini menjadi salah satu cara anak muda di Tanah Rencong agar tetap bisa menikmati tontonan sinema menggunakan layar lebar.
ADVERTISEMENT
Aceh Menonton muncul secara perdana pada Agustus 2018. Komunitas bioskop alternatif ini diprakarsai Muhammad Hendri, mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, asal Aceh.
Menurut Akbar, Aceh Menonton kala itu lahir karena anak muda merasa ruang ekshibisi film di Aceh, sangat kurang. Kekurangan ini terutama ruang tontonan yang memutar karya-karya sineas Aceh. "Ini menggerakkan kawan-kawan untuk mendirikan Aceh Menonton," ujarnya.
Selain tempat penayangan karya film lokal, Aceh Menonton juga menjadi ruang mendiskusikan karya perfilman agar membangun wacana perubahan yang progresif. Dalam perjalanannya, dikarenakan produksi film lokal Aceh minim, Aceh Menonton akhirnya turut memutar film dari luar Aceh, misalnya film nasional Indonesia, Asia Tenggara, dan di belahan benua lainnya.
"Film yang diputar terutama film pendek, mengingat Aceh Menonton masih belum memiliki perangkat yang mampu memutar film panjang bioskop," tutur Akbar.
ADVERTISEMENT
Film yang diputar di bioskop alternatif tersebut berdasarkan pilihan programmer, yang tentunya diambil berdasarkan pengemasan yang menarik untuk didiskusikan. Sebelum diputar, programmer menulis alasan pemilihan film dan diskusi dalam "catatan programmer".
Misalnya, akhir tahun 2019, Aceh Menonton memilih film-film dengan tema sejarah dan penyelamatan benda sejarah. Usai film selesai, penonton diajak untuk berdiskusi dengan menghadirkan komunitas pegiat sejarah.
Adakalanya saat pemutaran film tersebut turut mendatangkan sutradara film. Menurut Akbar, hal itulah membuat bioskop alternatif ini tampil beda dibanding bioskop komersial. "Kami ingin menjadikan film tidak hanya sekadar hiburan, tapi menjadi pengetahuan dan katalis perubahan," imbuhnya.
Bioskop alternatif ini tak hanya digelar di Kota Banda Aceh, melainkan turut diputar di kampung-kampung di Aceh. Melalui bioskop keliling, Aceh Menonton yang bekerjasama dengan Aceh Documentary menayangkan film di kampung-kampung. "Ini sebagai upaya untuk memasyarakatkan film," kata Akbar.
Meski bioskop alternatif sudah berjalan, Akbar masih berharap agar bioskop komersial suatu saat didirikan di Aceh. Menurutnya, bioskop komersial adalah bagian kecil dari ekosistem perfilman yang sangat berpengaruh kepada industri perfilman.
ADVERTISEMENT
"Dengan menonton di bioskop kita belajar untuk menghargai karya film, dengan membayar tiket," sebut Akbar.
Namun, Akbar bilang, bagi masyarakat Aceh frasa bioskop sudah terlanjur negatif sekarang ini. Sehingga ketika mendengar bioskop langsung dikaitkan ke arah maksiat. Permasalahan bioskop komersial belum hadir di Aceh, menurutnya, adalah suatu hal yang jauh dari pemahaman bahwa film sebagai budaya.
"Secara pribadi saya boleh bilang bahwa bioskop itu diperlukan di Aceh, karena pengalaman sinema yang diperoleh dengan menonton film di bioskop itu jelas berbeda dengan menonton film sendiri di PC, tablet, dan telepon pintar," ujarnya.