Damai GAM-RI di Aceh 16 Tahun Silam Disebut Jadi Model Perdamaian Dunia

Konten Media Partner
15 Agustus 2021 12:14 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peringatan setahun damai di Aceh, 15 Agustus 2006. Foto: Adi Warsidi
zoom-in-whitePerbesar
Peringatan setahun damai di Aceh, 15 Agustus 2006. Foto: Adi Warsidi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Republik Indonesia kini usianya sudah 16 tahun sejak ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Kesepakatan damai yang lebih dikenal dengan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki ini disebut menjadi model penyelesaian konflik sejumlah negara.
ADVERTISEMENT
"Banyak negara di dunia dan khusus di Asia Tenggara yang menjadikan referensi Mou Helsinki sebagai tolok ukur mereka berdamai untuk menyelesaikan semua persoalan," kata Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA) Fakhrurrazi Yusuf, Minggu (15/8).
Fakhrurrazi mengatakan hal itu dalam sambutan peringatan 16 tahun Hari Damai Aceh di gedung Serbaguna Stadion Harapan Bangsa, Kota Banda Aceh. Tema yang diambil yaitu Menjadi Bingkai Perdamaian Dunia. Peringatan itu berlangsung secara sederhana dengan menerapkan protokol kesehatan.
Asisten Administrasi Umum Sekretariat Daerah Aceh Iskandar AP yang membacakan sambutan Gubernur Aceh Nova Iriansyah mengatakan perdamaian Aceh adalah hasil perjuangan yang sangat melelahkan.
"Perdamaian ini menjadi fondasi menggapai kehidupan lebih baik dan bermartabat," kata Iskandar. Dia mengajak masyarakat Aceh untuk mengisi perdamaian dengan amalan kebaikan.
ADVERTISEMENT
Selama 16 tahun perdamaian, kata Iskandar, Aceh telah banyak kemajuan di berbagai sektor pembangunan baik ekonomi, pendidikan, infrastruktur, dan sektor penting lainnya. "Perdamaian benar-benar menjadi fondasi dalam menyukseskan pembangunan menuju Aceh bermartabat," tuturnya.
Menurut Iskandar, perdamaian Aceh yang berlanjut setelah konflik mendapat perhatian dan menjadi model beberapa negara di Asia Tenggara. Misalnya perwakilan dari Myanmar dan Filipina yang berkunjung ke Aceh untuk mempelajari penyelesaian konflik dan upaya merawat damai pascakonflik.
"Bahkan tak sedikit para peneliti dunia menjadikan Aceh sebagai laboratorium dalam melakukan riset dan studi kajian terkait konflik dan perdamaian. Keberhasilan ini tentu harus dipertahankan sehingga Aceh di masa mendatang benar benar menjadi bingkai perdamaian dunia," kata Iskandar.[]
Artikel berkaitan lainnya dapat dibaca di topik Kilas Balik Konflik Aceh
Adv Pemerintah Aceh.