Data Fakta Tsunami Aceh: Kecepatan Seperti Jet, Kota-kota Hilang di Peta

Konten Media Partner
27 Desember 2021 12:42 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Masjid Rahmatillah Lampuuk dari kejauhan, tersisa dari sapuan tsunami Aceh, diabadikan 7 Februari 2005. Foto: Adi Warsidi
zoom-in-whitePerbesar
Masjid Rahmatillah Lampuuk dari kejauhan, tersisa dari sapuan tsunami Aceh, diabadikan 7 Februari 2005. Foto: Adi Warsidi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
17 tahun silam atau Minggu 26 Desember 2004 pukul 07.58 WIB, gempa 9,2 magnitudo melanda Aceh dengan pusat di sekitar Samudera Hindia dekat Kepulauan Simeulu atau 149 kilometer selatan Meulaboh, ibukota Kabupaten Aceh Barat, dengan kedalaman 20-30 kilometer.
ADVERTISEMENT
Seperempat jam selanjutnya, air laut surut. Setengah jam kemudian, air menggunung di tengah laut, menerjang pantai. Kecepatannya diperkirakan 800 kilometer per jam atau setara dengan kecepatan pesawat jet.
Radius 4 kilometer lebih pesisir pantai barat Aceh rata ombak gergasi yang tinggi maksimalnya mencapai 14 meter. Kota-kota pesisir Aceh ‘tenggelam’ dengan puing. Banda Aceh, pesisir Aceh Besar, Calang, Meulaboh, sempat hilang dari peta satelit tergenang air hitam pekat. Bagian pesisir lain Aceh tak separah kota-kota itu.
Saat bencana tsunami terjadi, Aceh masih dilanda konflik bersenjata antara Pemerintah Indonesia dengan gerakan Aceh Merdeka (GAM). Aceh berstatus Darurat Sipil.
Sehari setelah bencana, pemerintah menetapkannya sebagai hari berkabung nasional dan darurat kemanusiaan. Pada 30 Desember 2004, Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana dan Pengungsi (Bakornas PBP) dibentuk dan dipimpin Wakil Presiden Indonesian, Jusuf Kalla. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), Alwi Shihab ditunjuk sebagai ketua harian dan berkantor di Pendopo Gubernur Aceh.
ADVERTISEMENT
Seminggu Aceh lumpuh total, gelap-gulita. Informasi tak tentu, pengungsi membludak, mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Tangis dan air mata tak terbendung. Relawan dari seluruh pelosok Indonesia dan penjuru dunia berbondong ke Aceh mengirimkan bantuan. Gempa masih sering mengguncang dalam hitungan ribuan kali setelahnya.
Evakuasi mayat di Banda Aceh. Dok. acehkita
Terbesar pada 28 Maret 2005, yang membuat Pulau Nias dan Pulau Simeulue kembali porak-poranda. Kerusakan bertambah besar dan korban kembali berguguran.
***
Pemerintah mencatat, korban tsunami Aceh yang terdata sebanyak 129.775 orang meninggal dunia, 36.786 orang hilang. Belakangan korban meninggal dunia di Aceh disebut lebih dari 200 ribu orang.
Sebanyak setengah juta orang menjadi pengungsi di tenda-tenda, selanjutnya di barak-barak. Dari segi materil, 120.000 rumah rusak atau hancur, 800 kilometer jalan dan 2.260 jembatan rusak atau musnah, 693 fasilitas kesehatan (rumah sakit, Puskesmas, Pos Imunisasi, dan klinik) rusak atau hancur dan 2.224 gedung sekolah rusak atau hancur.
ADVERTISEMENT
Kerugiannya ditaksir lebih dari Rp 42 triliun, sebagaimana diumumkan oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan, Sri Mulyani Indrawati pada 19 Januari 2005. Belakangan kerugian tercatat sekitar Rp 60 triliun.
Tsunami membuka pintu Aceh bagi siapa saja. Status darurat sipil tenggelam sendirinya. Ribuan relawan asing masuk. Perlahan Aceh mulai membangun kembali kehidupannya. Darurat sipil pun dicabut. Kemudian status Aceh diganti dengan tertib sipil sejak 19 Mei 2005, ketika Aceh sedang membangun pasca-tsunami. Kontak senjata masih terjadi di daerah pedalaman, meski skalanya sudah kecil.
Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sepakat damai pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Kesepakatan itu dikenal dengan MoU Helsinki. Aceh kemudian dibangun kembali dalam suasana damai di atas puing-puing tsunami. []
ADVERTISEMENT