Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Delapan Pejuang dalam Satu Liang, Makam Mereka Tak Pernah Sepi
17 Januari 2023 9:15 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
Satu mobil penumpang memelankan laju setibanya di depan ‘Makam Syahid Lapan’, seorang turun memasukkan lembaran uang ke dalam wadah yang tersedia di sana, Ahad (14/1/2023). Beberapa pengemis terlihat menjulurkan tangan. Beberapa detik kemudian, mobil lainnya berhenti sejenak di tempat para pahlawan Aceh itu bersemayam.
ADVERTISEMENT
Makam itu terletak di Desa Keude Tambue, Kecamatan Simpang Mamplam, Bireuen. Puluhan tahun, saya selalu melihat pemandangan warga bersedekah uang saat melintasi kawasan yang terletak di pinggir jalan nasional Banda Aceh-Medan kilometer 184.
Dana itu digunakan untuk mengurus makam dan sebuah musala di depannya, kerap menjadi tempat singgah pengguna jalan.
‘Makam Syahid Lapan’ berisi delapan jenazah pejuang Aceh yang gugur saat melawan serdadu Belanda. Nama-nama mereka diukir dalam sebuah prasasti beserta sekilas peristiwa syahidnya mereka. Para pejuang itu adalah; Teungku Panglima Prang Rayeuk Jurong Binje, Teungku Muda Lem Mamplam, Teungku Nyak Balee Ishak, Teungku Meureudu Tambue, Teungku Balee Tambue, Apa Syeh Lancok Mamplam, Muhammad Sabi, dan Nyak Ben Matang Salem.
ADVERTISEMENT
Mereka adalah pejuang yang ikut melawan Belanda mempertahankan Bumi Samalanga. Membangun pusat perlawanan di Benteng Batee Iliek, serta ikut menggagalkan beberapa kali upaya marsose Belanda masuk ke sana. Bahkan, Gubernur Militer Belanda di Aceh, Van Heutsz sendiri pernah memimpin ekspedisi ke sana pada 3 Februari 1901, tepat saat ulang tahunnya ke-50.
Paul Van’t Veer dalam bukunya De Atjeh Oorlog (Perang Belanda di Aceh) menuliskan banyak pejuang Aceh dan prajurit Belanda yang menjadi korban dalam agresi ke Samalanga, Bireuen. Tapi, perlawanan tak dapat dipatahkan dan terus terjadi setelahnya.
Awal tahun 1902, delapan pejuang Aceh yang dipimpin Teungku Panglima Prang Rayeuk mengadang marsose Belanda yang patroli di kawasan Simpang Mamplam. Bersenjata parang, dan pedang dengan taktik penguasaan wilayah, berhasil membunuh 24 pasukan Belanda, lalu berusaha mengumpulkan senjata api milik lawan.
ADVERTISEMENT
Sedang asyik mengumpulkan senjata, tiba-tiba bala bantuan datang tanpa mereka sadari, terkepung dan kalah jumlah. Para pejuang itu syahid setelah memberikan perlawanan terakhir. Beberapa bagian tubuh mereka dicincang oleh prajurit Belanda yang marah karena kawannya mati. Mayat mereka ditinggalkan di sana, warga kemudian datang menguburkan mereka dalam satu liang.
Kisah heroik ini kemudian diceritakan turun temurun oleh warga dari generasi ke generasi. Mereka telah tiada, tapi pusaranya tak pernah sepi hingga kini. []