Konten Media Partner

Doa Orang Gila, Cara Orang Aceh Menertawakan Kesedihan

20 Februari 2021 9:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Buku Doa Orang Gila. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Buku Doa Orang Gila. Foto: Suparta/acehkini
ADVERTISEMENT
Awal tahun 2021 ini, sebuah buku baru terbit di Banda Aceh dengan judul ‘menggelitik’, Doa Orang Gila dan Hal-hal Tak Terduga di Aceh. Dari judulnya saja, jelas tersirat bahwa penulis ingin membawa kita untuk melupakan sejenak kesedihan, dengan cara menertawakan diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Tapi, sebagian cerita yang ditulis bukanlah perkara kocak dan sepele. Ada beberapa bagian tulisan menunjukkan betapa seriusnya masalah yang terjadi ketika Aceh berkubang dalam konflik berkepanjangan. Dalam tulisan Blang Malu, Kisah Pilu Musim Konflik (hal. 107), misalnya, ada kisah dua pengendara saling membuntuti di jalanan sepi. Masing-masing mereka saling menduga-duga: orang yang membuntutinya adalah aparat keamanan, satu lagi berpikir gerilyawan GAM.
Kita bisa merasakan betapa mencekamnya kondisi saat itu: masing-masing mereka mengira bakal menjadi korban. Apalagi, di ruas jalan tersebut, masyarakat sering mendapati mayat korban penculikan, dibuang di sana. Lalu, ketika tiba di tempat yang lebih ‘aman’, keduanya berhenti dan terjadilah dialog yang kini terkesan lucu. Rupanya, mereka saling kejar-kejaran di jalanan agar selalu berdekatan. Itu jauh lebih aman daripada berkendara sendirian.
ADVERTISEMENT
Meski kini kita menganggap kisah tersebut tampak lucu, tapi pada masa itu, kejadian tersebut benar-benar serius. Mereka pasti merasa sangat takut. Salah-salah, nyawa bisa menjadi taruhannya.
Suasana tak kalah mencekam dapat juga dibaca dalam tulisan Kisah Perempuan yang Dipotong Payudaranya (hal. 145). Dua aktivis yang masih muda datang ke basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh Besar yang baru saja didatangi aparat. Saat malam tiba, listrik padam, dan mereka terpaksa tidur dalam gelap bersama beberapa anggota GAM. Tidak dapat dibayangkan apa yang terjadi jika aparat kembali datang ke sana dan menyerbu rumah tempat mereka menginap.
ADVERTISEMENT
Di luar cerita-cerita mencekam, buku yang berisi 33 tulisan ini juga memuat beberapa kisah lucu. Dalam tulisan Sakit Lele dan Humor Orang Aceh (hal 26), kita diajak untuk menertawakan kekonyolan orang Aceh karena keterbatasan bahasa. Kendala bahasa atau salah jawab bisa berakibat fatal. Tidak sedikit orang Aceh yang mendapatkan bogem mentah aparat karena salah ucap atau salah jawab. Apa yang menimpa anggota regu jaga seperti dalam tulisan Sisa Batu Masa Konflik (hal. 65), yang disuruh merayap di sawah becek, murni karena kendala bahasa.
Buku dapat diperoleh di Gramedia, dan Bandar Publishing, penerbit di Aceh.
Buku setebal 152 halaman berisi rekaman dan cerita tentang dinamika perjalanan Aceh saat dibalut konflik berkepanjangan. Ada banyak kisah menarik yang dipaparkan di dalam buku jurnalis Aceh ini, di antaranya tentang kisah masa perang dan dampaknya bagi masyarakat kecil. Buku ini dibagi ke dalam tiga bagian, di mana masing-masing bagian berisi 11 tulisan yang dapat dibaca sendiri-sendiri. Melalui kisah-kisah yang ditulisnya, penulis seakan hendak berseru: mari menertawakan kesedihan.
ADVERTISEMENT
Di dalam bukunya, Taufik memaparkan ada banyak kisah sedih dan lucu yang terjadi ketika Aceh berkubang dalam balutan konflik. Kisah-kisah itu, katanya, diingat dan diceritakan, dengan nuansa berbeda-beda.
“Kisah sedih, misalnya, sekali pun diceritakan dengan riang-gembira, tetap saja menyisakan luka. Sementara kisah lucu, menjadi tidak lucu ketika kisah itu terjadi atau saat diceritakan. Dan, oleh orang Aceh, kedua ‘jenis kisah’ itu sama-sama dinikmati dengan kadar yang seimbang,” tulisnya.
Penulis dengan kejeliannya mengangkat beberapa kejadian miris menjadi bacaan yang enak dibaca. Belum lagi, ketika kisah-kisah tersebut dikemas dengan judul yang sedikit ‘gila’. Hanya saja, seperti kata Fachry Ali, andai buku karya Taufik Al Mubarak ini berisi hasil observasi sedikit lebih mendalam, ia mengusulkan dalam judulnya ada kata “etnografi baru” masyarakat Aceh.
ADVERTISEMENT
Pun begitu, katanya, “dengan cerita-cerita unik yang ditampilkan di sini sudah cukup memadai sebagai sebuah rekaman perubahan sikap masyarakat Aceh pasca Gerakan Aceh Merdeka (GAM).” Menurutnya, gerakan yang dimulai pada pertengahan 1970-an dan berakhir melalui Perjanjian Helsinki pada 2005 memang telah menjadi variabel independen yang mempengaruhi bagaimana masyarakat Aceh “mengoreksi” definisi diri, bahkan juga bagaimana “menertawakan” diri sendiri. Dan buku ini penuh cerita tentang itu semua.
Sebagian kisah yang ditulis Taufik, lanjutnya, hanya lahir dalam sistem ingatan kolektif di bawah pengaruh GAM ini. “Seperti terlihat dalam tulisan Sisa Batuk Masa Konflik di dalam buku ini, menjadi cerita pahit kepada masyarakat. Akan tetapi, cerita yang sama juga berfungsi sebagai alat menertawakan diri sendiri,” ulas kolumnis Tempo, tersebut.
ADVERTISEMENT
Lewat kisah-kisah yang dipaparkannya, sang penulis seakan sedang mengajak kita semua untuk menangis dan tertawa secara seimbang. Kita diajak untuk merenung, “apa yang salah dengan Aceh ini?”
Setelah 15 tahun usia perdamaian dan ketika Aceh terbebas dari balutan konflik, kita tidak boleh lagi terlena dengan apa yang sudah terjadi. Orang Aceh harus membebaskan diri dari tawanan masa lalu. Saatnya merayakan kegembiraan. Lupakan apa yang sudah terjadi dan mulailah menjalani hidup dengan normal, seperti layaknya orang hidup pada umumnya.
Tidak ada gading yang tak retak, demikian juga dengan buku ini. Misalnya, pembagian buku ini menjadi tiga bagian sama sekali tidak signifikan. Pembagian itu terkesan pemaksaan, karena berdasarkan tulisan-tulisan yang ada di dalam setiap bab, masing-masing tulisan tidaklah satu tema. Lagi pula, pemberian nama setiap bagian itu tidak mencerminkan keseluruhan tema tulisan.
ADVERTISEMENT
Pun begitu, buku Doa Orang Gila dan Hal-hal Tak Terduga di Aceh sangat layak untuk dibaca. Buku ini dapat menjadi medium untuk menertawakan diri sendiri, di tengah situasi pandemi COVID-19 yang tidak menentu ini. []