DPR Aceh Bakal Revisi Qanun Lembaga Wali Nanggroe: Ubah Pasal Masa Jabatan

Konten Media Partner
3 September 2021 16:37 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wali Nanggroe Tgk Malik Mahmud Al-Haythar (kanan) memberikan selamat kepada anggota DPR Aceh yang dilantik pada Senin (30/9/2019). Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Wali Nanggroe Tgk Malik Mahmud Al-Haythar (kanan) memberikan selamat kepada anggota DPR Aceh yang dilantik pada Senin (30/9/2019). Foto: Suparta/acehkini
ADVERTISEMENT
Panitia Khusus Lembaga Wali Nanggroe Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh mengusulkan revisi ketiga atas Qanun Nomor 8/2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe. Salah satu poin usulan mengubah pasal mengatur masa jabatan Wali Nanggroe.
ADVERTISEMENT
Usulan ini disampaikan dalam sidang paripurna di Gedung DPR Aceh, Jalan Teungku Daud Beureu-eh, Kota Banda Aceh, Kamis (2/9). Revisi qanun itu satu dari tujuh rancangan qanun yang ditetapkan sebagai usulan inisiatif DPR Aceh untuk dibahas bersama Pemerintah Aceh.
Sejak disahkan pada 2012, Qanun Aceh tentang Lembaga Wali Nanggroe sudah mengalami dua kali revisi. Perubahan pertama dilakukan pada 2013 dan kedua pada 2019. Revisi ketiga pada tahun ini dilakukan bertujuan menguatkan Lembaga Wali Nanggroe.
Juru Bicara Panitia Khusus Lembaga Wali Nanggroe DPR Aceh, Saiful Bahri alias Pon Yaya, pada saat menyampaikan pandangan pengusul revisi mengatakan, setidaknya ada tujuh alasan revisi qanun harus dilakukan. Salah satunya menyangkut periodesasi jabatan Wali Nanggroe.
Juru Bicara Panitia Khusus Lembaga Wali Nanggroe DPR Aceh, Saiful Bahri alias Pon Yaya (kanan). Foto: Instagram/@dahlansabena
"Hendaknya dalam Rancangan Qanun Wali Nanggroe, periodesasi jabatan Wali Nanggroe tidak dibatasi dalam dua periode jabatan karena jabatan ini tidak mewakili jabatan di pemerintahan dan atau mempunyai kewenangan keuangan/anggaran dan atau kewenangan eksekutorial, serta tidak termasuk dalam lingkup tugas eksekutif, legislatif, dan yudikatif," kata Saiful Bahri.
ADVERTISEMENT
Penghapusan batasan masa jabatan Wali Nanggroe karena kedudukannya yang mulia, individual, serta independen. "Sehingga tidak mudah mencari figur yang tepat dan dapat dihormati semua pihak baik di tingkat Aceh, tingkat nasional, maupun internasional," ujarnya.
Perubahan itu juga mencegah dualisme dan duplikasi kewenangan mengenai dinul-Islam. Dalam revisi, persoalan agama Islam akan diserahkan kepada Majelis Permusyawatan Ulama (MPU) Aceh, tapi tetap ada koordinatif dan konsultatif antarlembaga itu.
Saiful Bahri mengatakan kewenangan Wali Nanggroe sebagai pemimpin adat akan diperkuat dalam qanun revisi sehingga berdampak dalam kehidupan masyarakat Aceh, sebagaimana peran Wali menjaga kekayaan khazanah dan perdamaian Aceh.
"Dalam hal adat ini Wali Nanggroe sebaiknya diberi kewenangan yang cukup untuk bisa memanggil dan memberikan nasehat dan atau pendapatnya terhadap sebuah masalah yang ada dalam masyarakat Aceh, baik untuk lembaga/organisasi Pemerintahan Aceh, maupun lembaga/organisasi vertikal yang ada di Aceh (melindungi Wali Nanggroe dari aspek pencemaran nama baik)," ujar Saiful.
ADVERTISEMENT
Lembaga Wali Nanggroe juga harus memiliki kewenangan menggali atau membentuk suprastruktur/infrastruktur adat Aceh, meliputi semua potensi adat yang bisa dilaksanakan, seperti peradilan dan tanah adat. Saiful menyebut revisi qanun akan memperjelas dualisme kewenangan adat antara Lembaga Wali Nanggroe dan Majelis Adat Aceh, misalnya dalam memberikan gelar kehormatan dan adat.
Saiful menambahkan, revisi qanun akan menyentuh soal keuangan Lembaga Wali Nanggroe yang kelak tidak terikat lagi dengan Peraturan Gubernur Aceh. Sedangkan syarat menjadi calon Wali Nanggroe kelak harus orang yang menguasai dinamika politik dan sosial masyarakat Aceh, nasional, dan dunia.
Revisi qanun juga bakal memberi penegasan soal bendera dan lambang Lembaga Wali Nanggroe yang dapat dikenali sebagai ciri khusus dan istimewa dalam kedudukannya sebagai representasi rakyat Aceh yang personal dan independen.
ADVERTISEMENT
Peran Wali Nanggroe dalam kekhususan dan keistimewaan Aceh juga diperkuat. Revisi qanun berencana membentuk sebuah forum koordinasi dan konsultasi sesama lembaga independen dan otonom di Aceh selain Lembaga Wali Nanggroe, seperti MAA, MPU, MPD, Baitul Mal, dan Mahkamah Syar'iyah Aceh. Wali Nanggroe ditetapkan sebagai pemimpin forum itu.
"Mungkin Aceh bisa punya Musyawarah Pimpinan Rakyat Aceh yang dilakukan secara periodik satu bulan, tiga bulan dan atau enam bulan sekali, atau jika ada hal mendesak menyangkut nasib rakyat Aceh yang perlu dimusyawarahkan dan disuarakan secara bersama," kata Saiful.
Lembaga Wali Nanggroe bersifat istimewa dan khusus di Aceh didirikan atas amanat butir nota kesepahaman (MoU) Helsinki yang ditandatangani pada 2005 untuk mengakhiri konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka dan Republik Indonesia selama hampir 30 tahun. Kini Wali Nanggroe dijabat Teungku Malik Mahmud Al-Haythar, mantan Perdana Menteri GAM.
ADVERTISEMENT