Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Film Karya Pasutri Asal Aceh Akan Diputar di Peringatan 12 Tahun Tsunami Jepang
10 Maret 2023 21:35 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Pasangan suami istri (pasutri) asal Aceh , Ahmad Ariska dan Shiti Maghfira, menggarap film dokumenter berlatar belakang kisah Tsunami Jepang. Film berjudul '12 Years After 3.11: A Lesson Learned' itu akan diputar pada acara peringatan 12 Tahun Gempa Bumi Besar dan Tsunami Jepang Timur di Balai Arsip Statis dan Tsunami-Arsip Nasional Republik Indonesia (BAST-ANRI) Aceh, besok, Sabtu (11/3/2023).
ADVERTISEMENT
"Selain itu, pada 19 Maret 2023 akan diputar di salah satu daerah terdampak bencana di Kota Kesennuma dan 21 Maret 2023 di Sendai Mediatheque, Kota Sendai, Prefektur Miyagi, Jepang," kata Ahmad Ariska, Jumat (10/3).
Film dokumenter yang disutradai pasutri asal Aceh itu berlatar lokasi di area Tohoku, Jepang, di Prefektur Miyagi dan Iwate. "Dua prefektur ini merupakan lokasi yang paling parah dilanda Gempa Bumi Besar dan Tsunami Jepang Timur pada Maret 2011 silam, selain Prefektur Fukushima," ujarnya.
Alumnus Sekolah Jurnalistik Muharram Journalism Collage (MJC) Aliansi Jurnalis Independen Kota Banda Aceh ini menyebutkan, jika film tersebut mulai dibuat sejak Oktober 2022 dan selesai pada Februari 2023.
Shiti Maghfira menambahkan, film itu berlatar sekolah dasar Okawa di Prefektur Miyagi. Sekolah tersebut dikelilingi pegunungan berhutan lebat dan sungai yang lebar. Sekolah ini terkenal sebagai sekolah dimana banyak anak-anak dan guru menjadi korban pada gempa dan tsunami tahun 2011 lalu.
ADVERTISEMENT
"Sekolah ini berjarak 3,7 kilometer dari laut, berhadapan dengan sungai Kitakami di depannya, dan pegunungan di sisi belakangnya," kata Fira, panggilan Shiti Maghfira, mahasiswi Global Humanities, Tohoku University.
Ia menjelaskan, murid di SD Okawa berjumlah 108 orang dan 11 orang guru. Pada 11 Maret 2011, Jumat pukul 14.46, saat gempa bumi berguncang, hanya terdapat 78 siswa di sekolah. Selebihnya sudah dijemput lebih awal dan ada juga yang libur di hari itu.
Saat gempa terjadi, para guru yang berjumlah 10 orang. Tanpa kehadiran Kepala Sekolah, para guru mengumpulkan 78 siswa dan berbaris sesuai kelasnya di halaman sekolah. 30 menit setelah gempa, peringatan tsunami diumumkan. Tetapi para siswa tidak beranjak kemana pun, mereka tetap berada di halaman sekolah menunggu keputusan para guru.
ADVERTISEMENT
Setelah menunggu sekitar 50 menit, mereka mulai bergerak di menit terakhir sebelum tsunami menerjang. Mereka berlari ke jalan yang mengarah ke sungai. Meskipun mereka tidak dapat melihatnya, tsunami datang dari Sungai Kitakami. Mereka berlari menuju arah datangnya tsunami.
Saat para siswa berbaris dan peringatan tsunami diumumkan, beberapa anak berkata, “Ayo lari.” ada bukit yang mereka daki setiap tahun. Beberapa anak hampir berlari ke sana, tapi mereka tetap harus menunggu keputusan para guru terlebih dahulu dan tidak bergerak.
Dari 78 siswa, kata Fira, 74 orang menjadi korban. 70 siswa meninggal, dan 4 siswa masih dinyatakan hilang. 4 siswa lainnya berhasil selamat karena melarikan diri ke atas bukit. "Seharusnya, mereka dapat melarikan diri ke atas bukit yang ada di belakang sekolah, tapi mereka justru berlari ke arah sungai yang membawa air bah," ujar Fira, mengisahkan alur dari film dokumenter itu.
ADVERTISEMENT
Fira menyebut, kisah SD Okawa merupakan sebuah tragedi yang dapat menjadi pengingat atas konsekuensi yang timbul dari terlambatnya keputusan yang diambil ketika bencana terjadi dan sebagai memori terhadap anak-anak dan para guru yang telah tiada.
"Kisah sekolah itu dapat dijadikan tempat yang bisa kita pelajari untuk masa depan. Penting untuk memiliki pengetahuan dan langkah yang harus diambil saat terjadinya bencana. Sebab kita tidak dapat memprediksi dan menghentikan kapan bencana akan datang," ujarnya.
Ia menambahkan, berbeda dengan kisah SD Okawa, di Kamaishi suatu kota di Prefektur Iwate, sebelum tsunami terjadi, sekira 5 menit setelah gempa para siswa SMP dan SD langsung berlari ke tempat yang lebih tinggi. Tercatat sekitar 800 orang selamat saat itu.
ADVERTISEMENT
"Tujuh tahun setelah tsunami Samudera Hindia, sekolah-sekolah di Kamaishi mulai menerapkan pendidikan kebencanaan. Terbukti pada 2011 silam, banyak warga yang selamat saat gempa bumi besar dan Tsunami Jepang Timur melanda kota Kamaishi," demikian Fira. []