Konten Media Partner

Jalan Hidup Perempuan dalam Kisah Prof Eka: Pilih Keluarga atau Pendidikan?

28 Juni 2020 13:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Prof Eka Srimulyani saat melakukan penelitian di India. Foto: Khiththati/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Prof Eka Srimulyani saat melakukan penelitian di India. Foto: Khiththati/acehkini
ADVERTISEMENT
Menjadi seorang perempuan berdaya dan berjaya bukanlah hal yang mudah, bahkan mungkin sekadar mimpi bagi kebanyakan perempuan muda Indonesia. Adat dan budaya patiarki mengharuskan perempuan memilih antara keluarga dan karir.
ADVERTISEMENT
Namun lewat buku ‘Berjuang untuk Seimbang: Catatan Sederhana tentang Keluarga dan Kerja’ karya Prof. Eka Srimulyani seolah menunjukkan satu model baru. Bahwa keluarga dan pekerjaan bagi perempuan dapat dilakukan secara bersamaan dengan konsep seimbang.
“Ada seorang perempuan yang bertanya kepada saya tentang dua pilihan, antara menikah atau melanjutkan pendidikan. Jawaban saya saat itu, kenapa tidak memilih keduanya,” kata Guru Besar UIN Ar-Raniry, Banda Aceh ini.
Prof Eka mengatakan hampir kebanyakan perempuan lebih memilih keluarga, bila disandingkan dengan pekerjaan. “Padahal, masih ada negosiasi dan adaptasi guna mewujudkan keduanya dalam pilihan,” katanya saat peluncuran dan diskusi buku ‘Berjuang untuk Seimbang’, via Zoom yang dilakukan Sabtu (27/6), pukul 10.00 WIB.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, ketidakyakinan diri sendirilah yang harus dilawan agar perempuan dapat meraih keduanya. Pada akhirnya ia mengatakan, mungkin saja, buku tersebut hadir bukan untuk menjawab pertanyaan pembaca, namun hadir untuk menitipkan harapan-harapan.
Buku 'Berjuang untuk Seimbang'. Dok. Bandar Publishing
Buku ‘Berjuang untuk Seimbang’ terbitan Bandar Publishing adalah buku motivasi yang ditulis Prof. Eka Srimulyani berdasarkan pengalaman pribadi sebagai seorang perempuan, istri, ibu, dan Guru Besar. Buku yang berisi tentang perjuangannya selama melakoni banyak peran dalam menjalani hidup.
Doktor Sher Banu A.L Khan, dari NUS Singapore berkesempatan menjadi narasumber dalam acara diskusi buku tersebut. Ia menanggapi buku Eka dalam kacamata sejarah, sebagai peneliti Sejarah Aceh abad ke-17. “Daya kepemimpinan Sultanah Aceh itu terletak pada kelembutannya. Seorang pegawai Belanda mengatakan, kepemimpinan Sultanah adalah lembut, namun sangat menakjubkan. Lebih bersandarkan pada ketakwaan daripada kekuatan fisik,” kata penulis buku Sultanah Aceh ini.
ADVERTISEMENT
Ia menjelaskan, walaupun Eka bukan Sultanah, dan konteks Aceh hari ini agak berbeda dengan abad ke-17, namun banyak pembelajaran yang ia dapatkan dari sejarah yang mirip dengan sikap dan kelembutan Eka selaku Guru Besar UIN Ar-Raniry. “Bila membaca buku Eka, saya bak terpukul dengan ciri-ciri Eka sebagai pemimpin, guru besar, dan ibu bagi anak-anaknya. Dia memiliki kejujuran, keluhuran diri, kesediaan belajar, semangat dan tekat, serta iman yang kuat kepada Allah SWT.”
Prof Eka Srimulyani saat berada di Korea Selatan. Foto: Khiththati/acehkini
Menurutnya, konsep keseimbangan yang Eka bagikan kepada pembaca merupakan zahir dan batin yaitu keseimbangan internal dan eksternal. Perpaduan antara kerja keras dan teliti, memimpin dengan hati, bukan dengan ego dan kesombongan.
“Konsep lainnya dalam buku itu yang sangat menginspirasi saya, pembelajaran seumur hidup yang Eka sampaikan. Ini seperti nasihat dan petunjuk untuk mengajarkan kami semua, supaya tidak punya sikap sudah pandai. Karena perjalanan lebih penting daripada destinas. Menunjukkan bahwa penghidupan itu bukan sesuatu yang sempurna, melainkan pembelajaran seumur hidup,” katanya.
ADVERTISEMENT
Sher Banu mengapresiasi keberanian Eka yang bersedia membagikan persoalan hidupnya pada publik dalam buku tersebut. Ia berharap lewat buku bergenre motivasi ini, perjalanan dan perjuangan perempuan Aceh untuk berdaya dan berjaya dari masa Sultanah bisa tetap berlanjut.
Diskusi buku ini juga menghadirkan dua profesor lainnya sebagai narasumber, yaitu Prof. Yusni Saby dan Alyasa Abu Bakar dari UIN Ar-Raniry.
Prof Yusni menilai buku ‘Berjuang untuk Seimbang’ bukan berisi cerita sukses tetapi sebuah kisah kisah perjuangan; sebuah proses dan dinamika, cerita suka dan duka, serta perjuangan mewujudkan misi belajar sampai akhir.
“Dan perjuangan itu belum berakhir, mungkin juga tidak akan pernah berakhir,” komentar Prof Yusni Saby tentang buku tersebut. [] Desi Badrina
ADVERTISEMENT