Jalan Panjang Jamblang, Buah India di Jalanan Aceh (1)

Konten Media Partner
11 Juli 2019 11:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Penjual buah jamblang di kawasan Jembatan Pante Pirak, Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Penjual buah jamblang di kawasan Jembatan Pante Pirak, Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Aisyah tidak tidur lagi selepas salat subuh. Ia menuju dapur menyiapkan sarapan pagi, sesaat kemudian bergegas. Saban hari setelah sarapan, ada beberapa orang datang ke rumahnya, mengantar buah-buahan.
ADVERTISEMENT
Setelah tidak berjualan di Pasar Atjeh, pascatsunami 2004 silam, Aisyah menjadi penjual buah serabutan. Buah apa pun tergantung musim. Kebanyakan berasal dari Krueng Raya, Aceh Besar, tempat tinggalnya. Saat ini, dia menjadi pengepul jamblang atau Jambe Kleng dalam bahasa Aceh.
Pohon jamblang paling banyak ditemukan di kawasan Krueng Raya. Konon di situlah bibit itu pertama sekali ditanam oleh pengikut Raja Harsya, yang melarikan diri dari India setelah kerajaannya ditaklukkan Bangsa Huna sekitar tahun 604 Masehi. Para pelarian meminta perlindungan kepada orang Aceh, sambil menyebarkan Hindu.
Mereka ikut membangun benteng Indrapatra di situs Kerajaan Lamuri, sekitar wilayah Krueng Raya, masih dapat terlihat bekasnya hingga kini. Benteng di atas bukit dengan pohon jamblang dan kelapa di sekitarnya, menjadi penanda wilayah segitiga kerajaan Hindu di Aceh masa silam. Selain Indrapatra, ada Indrapuri dan Indrapurwa di kawasan Ujong Pancu, Aceh Besar.
Pohon jamblang di Aceh Besar. Foto: Khiththati/acehkini
Kembali ke Aisyah, ia terus berjualan jamblang di trotoar depan Kampus Ekonomi Universitas Syiah Kuala, Darussalam.
ADVERTISEMENT
“Saat tsunami dulu, saya berada di Peunayong, Alhamdulillah masih selamat dan hari itu juga pulang ke kampung jalan kaki,” katanya sambil tersenyum.
Perempuan itu kini tinggal dengan anak bungsu dan suami, sedangkan dua anak lainnya sudah berkeluarga. Mereka dulunya keluarga nelayan, namun semenjak sang suami tidak kuat lagi melaut, kebutuhan hidup bergantung pada hasil berjualan.
“Saya tidak pernah menolak jika ada yang datang ke rumah mengantarkan buah untuk dijual, walaupun saya tidak mempunyai modal besar,” ujar Aisyah kepada acehkini.
Kendati demikian, dia bisa saja mencari sendiri barang yang diperdagangkan, seperti jamblang yang tumbuh subur di bukit-bukit tak bertuan di sekitar hutan kampungnya. Namun Aisyah lebih suka menunggu di rumah dan membelinya.
ADVERTISEMENT
“Saya tidak bisa manjat, jadi mungkin nanti membutuhkan waktu yang lama,” kata Aisyah sambil tertawa.
Aisyah, berjualan jamblang di lingkungan kampus Darussalam. Foto: Khiththati/acehkini
Selasa pagi (9/7), Aisyah ditawari jamblang dengan jumlah yang lebih banyak dari biasanya. Jelang pukul 10 pagi, dia dijemput labi-labi (angkot) dari Krueng Raya menuju lapaknya berjualan, di kawasan Darussalam, Banda Aceh. Jaraknya sekitar 35 kilometer.
Tidak banyak peralatan yang dibawa untuk berjualan. Hanya ada beberapa kotak kardus dan plastik. Terkadang ia membawa payung, namun kerap rusak saat angin kencang. Sama seperti puluhan pedagang lainnya, Aisyah berteduh di bawah pohon. Saat bayangan pohon bergeser, mereka juga pindah menghindari terik matahari.
Selain jamblang, dia juga menjual buah lainnya seperti timun, dan sirsak dari hasil kebun warga.
ADVERTISEMENT
“Kalau sedang musim ada juga Buah Koh, mungkin kalian menyebutnya lingge, tapi buah itu sudah agak jarang sekarang, kalau ada langsung habis,” ujarnya.
Buah Koh atau lingge, sering dipakai pada pembuatan rujak Aceh. Banyak yang mengenalnya dengan nama buah batok. Uniknya, buah ini juga didapatkan di India.
Jamblang alias Jambe Kleng dibelinya Rp 30 ribu satu are (takaran 1,5 liter). Jika pembeli ramai, Aisyah mengaku mampu menghabiskan lebih dari lima are. Lebih menguntungkan sedikit daripada penjualan buah lainnya. Satu wadah plastik kecil dijual seharga Rp 5.000.
“Walaupun untungnya tidak banyak, tapi kalau dicari rezeki itu pasti ada,” kata Aisyah.
Membeli jamblang di kawasan Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Jamble kleng paling disukai para mahasiswa dan warga Aceh, dari sejumlah buah lain yang dijualnya. Jamblang yang dijual oleh Aisyah dan penjual lain sudah dilengkapi dengan garam dan Pliek U (patarana) sebagai cocolan. Racikan bumbu ini dibungkus secara terpisah karena tidak semua suka dengan rasanya.
ADVERTISEMENT
“Kamu pasti tertawa kalau saya cerita terkadang juga menjual biji jamblang. Ada sebuah toko obat pengobatan herbal di Peunayong yang memesannya,” paparnya.
Awalnya, Aisyah dianggap aneh oleh warga kampungnya karena mencari biji. Tapi ternyata bijinya pun mendatangkan uang.
“Per kilogram, mereka (pihak toko obat) membayarnya Rp 200 ribu. Saya tidak tahu diolah menjadi apa biji itu,” ujarnya.
Aisyah duduk di jalur pedestrian Darussalam hingga menjelang magrib. Mereka nantinya akan dijemput labi-labi.
“Terkadang laku semua terkadang juga tinggal, namanya juga jualan. Tapi saya senang di sini, banyak mahasiswa dan dosen-dosen yang singgah kadang kalanya cerita, jadi saya ada teman bicara,” ujarnya.
Aisyah bercerita, ada beberapa penjual buah musiman di sini. Berjualan menjelang siang. Berada di lapak yang sama setiap harinya. Peralatan jualan ditata saat datang dan diangkut kembali saat pulang. Kebanyakan dari mereka datang dari kawasan Krueng Raya, penghasil jamblang terbaik Aceh.
ADVERTISEMENT
Selain di Darusaalam, banyak penjual menggelar jamblang di kawasan jembatan Pante Pirak, Pasar Atjeh, kawasan jalan Lampineung Banda Aceh, maupun di tempat-tempat ramai lainnya. Perilaku penjual jamblang di Banda Aceh, sama persis dengan India, negeri tempat pohon itu berasal.
Penjual jamblang di pasar Sarojini Nagar, Delhi, India. Foto: Khiththati/acehkini
Aisyah tak paham asal-usuI Jamblang dari India. “Saya tidak tahu, waktu kecil saya sudah ada pohonnya. Dapat berguna sebagai obat juga tidak tahu, hanya menjual saja,” katanya.
Kendati pohon itu tumbuh di sebagian besar wilayah Aceh, tapi jamblang dari pegunungan Krueng Raya dikenal enak dan disukai.
“Buahnya lebih besar dan enak menurut saya. Bahkan terkadang saya juga mengirimnya ke rumah keluarga di (kabupaten) Bireuen, dan mereka suka pesan lagi,” kata Nora, salah satu penyuka jambe kleng. [bersambung]
ADVERTISEMENT
Reporter: Khiththati