Konten Media Partner

Jejak Kesetaraan Gender di Tanah Syariat: Pekerja Perempuan dan Kisah Empat Ratu

8 Oktober 2022 22:21 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ratusan tahun silam, Aceh tampaknya telah menganut apa yang kemudian disebut kesetaraan gender. Nilai-nilai kesetaraan itu dianut teguh kesultanan sehingga menempatkan perempuan setara dengan laki-laki.
Masjid Raya Baiturrahman, landmark Aceh. Foto: Ahmad Ariska/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Masjid Raya Baiturrahman, landmark Aceh. Foto: Ahmad Ariska/acehkini
Dewi telah berbilang tahun buka lapak di sudut jalan itu. Jaraknya sepelemparan batu dari Masjid Raya Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Aceh. Perempuan 30 tahun tersebut menjual ranup–sebutan untuk sirih di Aceh.
ADVERTISEMENT
Dia tidak ingat lagi persisnya kapan mulai mencari rezeki lewat jualan sirih. Yang pasti, ia memulainya secara mandiri usai tsunami. Bencana besar itu melanda Aceh pada 26 Desember 2004. Sebelum itu, Dewi jadi asisten ibunya yang lebih dulu jualan di sana sejak puluhan tahun silam.
Lapak ranup Dewi terpaut beberapa meter saja dari ibunya yang masih setia berjualan. Di sebelah kiri masjid yang menjadi ikonik Tanah Syariat itu, lapak Dewi dan ibunya terletak satu baris bersama belasan lapak lain. Tak semua penjualnya perempuan, ada juga laki-laki.
Perempuan penjual ranup (sirih) di dekat Masjid Raya Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Aceh. Foto: Habil Razali/acehkini
Beberapa pekan ini penjualan ranup turun. Menurut Dewi, situasinya lebih parah bila dibanding pada saat puncak pandemi pada 2020 dan 2021 lalu. "Sekarang agak sepi. Dulu laku Rp 300 ribu sehari, kini Rp 150 ribu," katanya, Jumat (7/10) malam.
ADVERTISEMENT
Lapak-lapak ranup di sana buka sejak pukul 9 pagi dan tutup menjelang tengah malam sekitar pukul 23.00. Waktu tutup sekarang ini tak lagi jadi soal. Tapi, medio 2015 lalu, ini bisa jadi lain. Sebab kala itu, Pemerintah Kota Banda Aceh berlakukan jam malam bagi perempuan. Batasnya pukul 11 malam.
Saat aturan itu dijalankan, Dewi sudah jualan di sana. "Kami apa boleh buat, diam saja saat itu," ujarnya. Hanya kala itu ia minta pelanggannya yang pesan ranup dan hendak ambil malam hari agar lekas datang sebelum lapak tutup.
Kebijakan yang tuai kontroversi seperti itu bukan saja di Banda Aceh. Bireuen menerapkan juga pada 2018 lewat surat edaran bupati. Yang bikin heboh saat itu adalah poin larangan duduk semeja antara laki-laki dan perempuan bukan muhrim di restoran dan warung kopi.
ADVERTISEMENT
Adapun pramusaji perempuan dilarang bekerja di atas pukul 21.00 WIB. Surat bersifat imbauan itu dikeluhkan para perempuan pedagang di Bireuen. Meski tak dicabut, nasib surat itu kini mulai terabaikan.
Agustus 2022, Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Singkil keluarkan tausiyah yang isinya serupa dengan di Bireuen. Judulnya Standardisasi Warung Kopi/Cafe dan Restoran Sesuai Syariat Islam. "Pramusaji wanita tidak dibenarkan bekerja di atas pukul 21.00 WIB," demikian salah satu poinnya.
Lantas seberapa banyak pekerja perempuan di Aceh? Meski tak menyebut detail jenis pekerjaan, tapi Data Badan Pusat Statistik (BPS) lewat Aceh dalam Angka 2021 menunjukkan angkatan kerja perempuan di Aceh terus bertambah tiap tahun. Awalnya 544 ribu orang pada 2005, jadi 955 ribu pada 2020.
ADVERTISEMENT
Kisah Kesetaraan dari Empat Ratu
Ratusan tahun silam, Aceh tampaknya telah menganut apa yang kemudian disebut kesetaraan gender. Kesultanan Aceh Darussalam pernah dipimpin empat ratu: Sultanah Safiatuddin Tajul Alam (masa pemerintahan 1641-1675 Masehi), Sultanah Naqiatuddin Nurul Alam (1675-1678), Sultanah Zaqiatuddin Inayat Syah (1678-1688), dan Sultanah Zainatuddin Kamalat Syah (1688-1699).
Ali Hasjmy menulis dalam bukunya 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu (1977) bahwa undang-undang dasar Kesultanan Aceh adalah Qanun Meukuta Alam Al-Asyi. Dasar negara itu merujuk ke Al-Qur'an, hadis, ijmak ulama, dan qiyas. Karena Islam fondasi kesultanan, kedudukan wanita Aceh saat itu juga sesuai Islam.
"Menurut pandangan Islam, bahwa hak dan kewajiban pria dengan wanita sama dalam masyarakat bangsa dan dalam masyarakat dunia. Kalaupun ada berlebih dan berkurang, semata-mata terletak pada nilai takwanya," tulis Ali Hasjmy.
Suasana Pasar Peunayong di Kota Banda Aceh, Senin (14/9). Foto: Suparta/acehkini
Nilai-nilai kesetaraan itu dianut teguh kesultanan sehingga menempatkan perempuan setara dengan laki-laki. "Karena itu adalah suatu hal yang Iogis kalau sejarah telah mencatat sejumlah nama wanita yang telah memainkan peranan yang amat penting di tanah Aceh sejak zaman Kerajaan Islam Perlak sampai kepada Kerajaan Aceh Darussalam."
ADVERTISEMENT
Pemerhati Sejarah Aceh, Tarmizi Abdul Hamid, juga mengatakan hal senada. Menurutnya, masalah gender antara perempuan dan laki-laki dipraktikkan Aceh sejak ratusan tahun lalu. "Artinya di Aceh gender itu hal-hal yang biasa dan tidak ada sekat kedua jenis ini," ujarnya, Sabtu (8/10).
Tak cuma pemimpin pemerintah, perempuan Aceh juga jadi pejuang yang memimpin pertempuran–tongkat komando perang yang kerap dipegang laki-laki. Misalnya Cut Nyak Dhien, Cut Mutia, dan Laksamana Keumalahayati.
"Kesetaraan gender di Aceh sudah dilakukan orang Aceh masa lalu. Kalau sekarang diselaraskan bagaimana bentuknya tentu dengan kaidah-kaidah dan etika yang berlaku dalam syariat Islam," kata Tarmizi.