Jejak Pemburu di Rimba Leuser, Aceh: Pakai Jerat dan Senapan Bunuh Satwa Liar

Konten Media Partner
21 Desember 2020 11:43 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ranger memperlihatkan jerat satwa liar yang ditemukan di Hutan Leuser. Foto: Habil Razali/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Ranger memperlihatkan jerat satwa liar yang ditemukan di Hutan Leuser. Foto: Habil Razali/acehkini
ADVERTISEMENT
Catok bersiul-siul sambil terus menyusuri jalan setapak di hutan Kawasan Ekosistem Leuser di Kabupaten Aceh Timur, Aceh. Pria berusia 35 tahun ini berulang kali melempar pandangan ke pucuk pohon di sisi kiri dan kanan. Ia langsung menghentikan langkah begitu sayup-sayup terdengar siulan balasan dari burung. Lantas ia mematung menanti burung itu mendekat ke arahnya.
ADVERTISEMENT
"Begitu sudah dekat sekitar 5-10 meter, langsung saya tembak," kata Catok, mengisahkan aktivitasnya beberapa tahun silam, kepada acehkini, Jumat (11/12).
Tembakan Catok tak meleset. Timah panas berkaliber 4,5 milimeter yang meletus dari senapan angin jenis gejluk menembus tubuh burung rangkong. Satwa dilindungi itu pun mendarat ke tanah. Catok bergegas memungutnya. Dengan cepat pula, ia memotong untuk memisahkan antara badan dan moncong rangkong. "Kami cuma mengambil paruhnya saja," ujarnya.
Paruh rangkong satu dari sejumlah incaran pemburu di hutan Kawasan Ekosistem Leuser yang membentang dari Aceh sampai Sumatera Utara. Di antara sasaran lain misalnya harimau, beruang, gajah, dan orang utan. "Menurut catatan kami ini banyak diperdagangkan secara ilegal," kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Agus Ariyanto, Selasa (15/12).
Paruh rangkong hasil sitaan polisi. Foto: Suparta/acehkini
Jejak Catok memburu rangkong dimulai tahun 2012. Kala itu ia menyambut enam pria asal Sumatera Barat yang mendatangi desanya di kaki hutan Leuser di Aceh Timur. Sang tamu mengajak Catok dan dua warga lain masuk ke hutan. "Alasannya mencari landak. Kami menjadi penunjuk jalan," sebutnya.
ADVERTISEMENT
Belakangan Catok baru mengetahui bahwa sang tamu membawa senapan angin jenis gejluk, peralatan yang tak lazim digunakan untuk menangkap landak. Awalnya ia kebingungan sampai kemudian orang yang dituntunnya itu menjelaskan bahwa buruan mereka adalah burung rangkong.
Catok terhitung dua kali memandu mereka masuk dalam rimba. Karena setelahnya, pemburu itu pulang ke Sumatera Barat. Sebelum pergi, pemburu itu mewarisi ilmu memikat rangkong dan juga dua senapan angin kepada Catok dan seorang warga lain. Kelak, bermodal teknik siulan pemikat dan senapan itulah Catok meneruskan tongkat estafet memburu rangkong.
"Saat itu kami tidak punya pekerjaan tetap. Walaupun tahu ilegal, kami tetap memburu. Terlebih karena harganya mahal," ujar Catok.
Hari-hari berikutnya, Catok mulai menyusuri hutan. Meski senapan angin hanya dua unit, tapi anggota tim yang ikut berburu sekitar empat atau lima orang. Tim pemburu ini menapaki jenggala selama 15-20 hari melintasi beberapa kabupaten dengan titik mula berangkat dari Aceh Timur hingga tembus ke Aceh Tengah. Dalam sekali jalan, mereka membunuh paling banyak 19 ekor rangkong.
ADVERTISEMENT
Begitu keluar dari hutan, paruh rangkong hasil buruan langsung dikemas. Barang ilegal itu lalu diselundupkan melalui jasa pengiriman ke alamat penadah di Sumatera Barat. Catok memperoleh jaringan pembeli dari pemburu yang dulu memodalinya senapan. Tarik-ulur transaksi berlangsung melalui telepon. Sebelum paruh rangkong dikirim, tukang tadah sudah mentransfer uang dengan jumlah 50 persen dari harga total ke rekening Catok. Sisa pembayarannya diberikan begitu barang diterima penadah.
Untuk mengemas paruh rangkong, Catok tidak mencampurnya dengan barang lain di dalam dus. Sering kali dia hanya menuliskan nama lain untuk barang yang dikirim atau semacam sandi antara pengirim dan penerima. "Petugas jasa pengiriman tidak pernah mengecek isi di dalamnya," katanya.
Di pasar gelap, paruh rangkong dibeli dengan hitungan per gram. Bila paruhnya lebih berat dari 200 gram, harganya akan dinilai per unit paruh dengan harga berlipat ganda. Biasanya, satu paruh rangkong yang dipasok Catok beratnya sekitar 100-180 gram. "Sekali berburu dengan tim empat orang, itu kami bisa dapat uang lumayan,” ujar Catok. [acehkini tidak mencantumkan harga paruh rangkong yang disebut narasumber, agar tidak memancing perburuan lebih besar]
ADVERTISEMENT
Seiring waktu, Catok sudah jarang memasok barang buruannya ke penadah di Sumatera Barat. Selain karena risiko bila aktivitasnya terendus aparat, Catok juga sudah punya jaringan pembeli di Aceh. Dalam memilih tukang tadah, Catok setidaknya mempertimbangkan dua hal penting: harga tinggi dan keamanannya sendiri.

Perburuan Marak di Hutan Leuser

Aktivitas perburuan satwa liar masif di Kawasan Ekosistem Leuser, terlihat dengan penemuan jerat dan kamp atau pondok pemburu oleh tim patroli ranger Forum Konservasi Leuser (FKL) bersama pemerintah. Pada 2017, tercatat ada 729 kasus perburuan dengan jumlah jerat yang dimusnahkan mencapai 814 unit, jumlah kamp 191 unit, dan pemburu 65 orang.
Kasus perburuan menurun pada 2018 menjadi 613 kasus. Namun, jerat yang ditemukan justru meningkat yaitu 843 unit. Sedangkan pondok pemburu 176 unit dan pemburu yang terpantau 38 orang. Penurunan yang lebih drastis terjadi tahun 2019, di mana kasusnya hanya 275 dengan jerat yang dimusnahkan 288 unit, kamp pemburu 120 unit, dan pemburu 18 orang.
ADVERTISEMENT
Wilayah paling banyak ditemukan perangkap satwa, yaitu Kabupaten Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Selatan, dan Aceh Tenggara.
Jerat-jerat yang dipasang itu mengincar satwa liar, seperti badak, harimau, dan gajah. Direktur FKL, Muhammad Isa, mengatakan pemasangan jerat berisiko besar terhadap semua satwa. "Semua yang terperangkap kemungkinan besar mati," katanya, Rabu (16/12).
Patroli ranger di Hutan Leuser. Foto: Habil Razali/acehkini
Ranger FKL kerap bersemuka dengan pemasang jerat atau kamp yang ditinggalkan mereka di tengah hutan. Bila berpapasan dengan pemburu, tim ranger akan membujuknya supaya keluar dari hutan. "Karena kami tidak berwenang untuk menindak, paling kami lapor ke polisi," ujar Isa.
Seperti Catok yang awalnya terkena rayuan pemburu dari Sumatera Barat, Isa menyebut sebagian besar pemburu satwa liar di Leuser berasal dari provinsi lain. "Misalnya Riau dan Sumatera Barat," tuturnya. Ini terungkap karena ranger FKL acap bertemu pemburu dari dua provinsi itu. Meski kadang ranger juga berjumpa dengan pemburu lokal Aceh.
ADVERTISEMENT
Namun, Kepala Subdit IV Tipidter Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh, AKBP Muliadi, menyatakan mayoritas pemburu dan penadah satwa liar di hutan Aceh adalah warga sekitar hutan. "Pengungkapan kasus yang kami lakukan (tersangka) mayoritas penduduk setempat," katanya, Kamis (17/12).
Modusnya, pemburu masuk ke hutan begitu mendapat pesanan satwa tertentu. Hasil buruan itu lalu disuplai ke tukang tadah. Beberapa kasus yang diusut Polda Aceh, barang buruan itu dipasok ke Medan, Sumatera Utara dan Riau. "Hasil pengungkapan ditemukan seperti itu," ujar Muliadi.
Kasus perburuan satwa liar dilindungi yang ditangani Polda Aceh pada 2019 tercatat 9 kasus. Polisi menangkap sedikitnya 17 tersangka dan menyita 223 barang bukti berupa paruh rangkong, sisik tenggiling, kulit dan tulang harimau, beruang madu, caling gajah betina, dan duri landak.
ADVERTISEMENT
Pada 2020, kasusnya menurun menjadi 7 dan aparat menangkap 4 tersangka. Kecuali orang utan, jenis barang bukti yang disita lainnya hampir serupa dengan tahun lalu. Jumlahnya mencapai 147.
Untuk mencegah perburuan, Polda Aceh mengajak masyarakat menyadari alasan penting melestarikan satwa liar di Aceh. "Satwa liar bukan milik masyarakat Aceh, melainkan masyarakat dunia," tutur Muliadi.
Langkah serupa juga diterapkan BKSDA Aceh. Meski di luar kawasan konservasi, lembaga ini turut menerapkan penyadartahuan masyarakat mengenai pentingnya keberadaan satwa liar bagi ekosistem kehidupan. "Sehingga siapapun harus menjaga dan mempertahankannya," sebut Agus, Kepala BKSDA Aceh.
Di sisi lain, selain patroli di hutan Leuser, FKL bekerja sama dengan pemerintah mendirikan pos pemantauan di sejumlah titik yang dicurigai jalur pemburu keluar-masuk hutan. "FKL saat ini mengelola 2 pos penelitian, 13 pos restorasi, dan sejumlah pos pengamanan," tutur Isa.
Kulit harimau hasil sitaan polisi. Foto: Suparta/acehkini
Isa menilai bila pemerintah serius memberantas perburuan, sudah seharusnya meningkatkan penegakan hukum. Langkah ini juga sepihak dengan keinginan Muliadi agar masyarakat mendorong kasus kejahatan lingkungan terutama perburuan satwa liar dikategorikan extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa.
ADVERTISEMENT
"Kalau ini tidak ditangani dengan upaya luar biasa maka dikhawatirkan anak cucu kita hanya melihat harimau, gajah, dan badak di lukisan," sebut Muliadi.
"Satwa liar yang paling terancam sekarang adalah gajah, selain akibat perburuan juga karena kehilangan habitat. Kalau di Sumatera, Aceh lah yang memiliki hutan harapan terakhir tempat satwa kunci badak, harimau, gajah, dan orang utan hidup bersama," ujar Isa.
Sementara itu, meski masih lihai bercerita mengenai cara menangkap rangkong, Catok mengaku sudah insaf menjadi pemburu sejak medio 2016. Sebabnya karena mendapat pekerjaan tetap yang tak melanggar hukum. Catok menyesal bila mengingat perbuatannya di masa lalu. "Dulu saya sudah banyak membunuh rangkong," kata mantan pemburu yang tak ingin nama aslinya itu ditulis. []
ADVERTISEMENT