Jejak Perang di Masjid Tuha, Tempat Ulama Tiro Berjihad Usir Belanda (1)

Konten Media Partner
16 April 2021 11:38 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Di masjid itu, Pahlawan Nasional Teungku Chik Di Tiro menyusun strategi melawan kolonial Belanda. Dari sana pula, semangat perang dikobarkan para ulama sambil menegakkan syiar Islam. Generasi penerus menjaganya sebagai warisan sejarah.
Masjid Tuha Teungku Chik Di Tiro setelah direnovasi besar-besaran. Foto: Suparta/acehkini
Berbentuk limas segi empat, atap bertingkat dua berkelir hitam itu meneduhi Masjid Tuha (tua) Teungku Chik di Tiro. Tidak ada kubah di atasnya. Semua sudut rumah ibadah bersejarah ini berbahan kayu. Mulai dari dinding hingga tiang penyangga. Meski sudah berusia ratusan tahun, belum ada materiel masjid yang lapuk.
ADVERTISEMENT
"Kayu-kayunya masih baru karena memang masjid ini baru saja mendapat renovasi besar-besaran secara menyeluruh," kata Maimun, kepada acehkini, Selasa, (13/4/2021).
"Sumber dananya dari sumbangan masyarakat Tiro," sambung pria paruh baya warga Gampong Meunasah Mancang, Kecamatan Tiro/Truseb, Kabupaten Pidie, Aceh.
Di desa inilah Masjid Tuha Teungku Chik di Tiro berdiri kokoh. Berada di tepi jalan utama Kecamatan Tiro, bangunan masjid berukuran sekitar 10x10 meter ini diapit kantor camat, markas polisi, dan sebuah sekolah.
Saking tuanya, tidak ada yang mengetahui persis usia masjid. Namun, diperkirakan berdiri pada 1206 Hijriah atau 1791 Masehi. Angka ini terdapat di bekas bangunan Dayah Cut atau Dayah Tiro di samping masjid.
Balai pengajian yang tersisa di samping masjid. Foto: Habil Razali/acehkini
Masjid dan dayah ini tergabung dalam satu kompleks, peninggalan Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut. Dia adalah paman sekaligus guru Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman, pahlawan nasional asal Aceh yang berperang melawan Belanda.
ADVERTISEMENT
Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman sosok ulama dan pejuang yang menggairahkan kembali Perang Aceh pada 1881 ketika penyerangan rakyat Aceh terhadap Belanda sempat menurun. Dia adalah kakek Teungku Hasan Muhammad di Tiro atau Hasan Tiro, deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berperang melawan Pemerintah Indonesia.

Mendidik Ulama Mengobarkan Perang

Lebih dari satu abad silam, ketika Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut memimpin Dayah Tiro, kawasan ini menjadi tempat ulama dan pejuang Aceh semisal pahlawan nasional Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman belajar dan mengajar ilmu agama.
Lukisan Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman, pahlawan nasional asal Aceh
Ismail Jakub dalam buku Tgk Tjhik di Tiro Hidup dan Perjuangannya (1960) menulis, kaum uleebalang dan ulama Pidie seluruhnya menaruh hormat kepada kepala ulama Tiro yang bergelar Teungku Chik di Tiro. Sebab, Tiro telah menjadi pusat pimpinan agama dan tempat murid-murid agama menuntut ilmu dari seluruh Aceh sejak puluhan tahun. "Kepala ulama Tiro masa itu adalah Teungku Chik Dayah Cut," tulisnya.
ADVERTISEMENT
Pada 1880, ketika pasukan Belanda dipimpin Jenderal Karen van der Heyden telah menaklukkan daerah Aceh Besar, pejuang Aceh yang bersembunyi di kaki Gunung Seulawah datang berkumpul di Gunung Biram, Lamtamot. Mereka memikirkan langkah yang harus diambil: menyerah atau melawan. Hasil pertemuan itu adalah mereka meminta bantuan dengan mengirim utusan ke daerah Pidie.
Ketika utusan Gunung Biram tiba di Pidie, mereka mendapat kesan dari ulama dan uleebalang Pidie bahwa pusat pimpinan ulama Pidie adalah di Tiro. Mereka kemudian menemui Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut. "Kepadanyalah utusan Gunung Biram menyampaikan amanat yang dibawanya itu," tulis Ismail Jakub.
Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut bergembira menyambut utusan Gunung Biram. Selain mengajari ilmu agama dan ilmu-ilmu lain, pada saat itu Tiro juga menjadi tempat membuat senjata rencong, tombak, dan pedang on jok (pedang daun enau).
ADVERTISEMENT
Setelah kedatangan utusan Gunung Biram, ulama Tiro menggelar rapat dua kali di Dayah Krueng dan Daya Lampoh Raja. Hasil pertemuan itu menyepakati bahwa ulama Tiro harus segera membantu perjuangan di Aceh Besar. Namun, utusan Gunung Biram meminta seorang pemimpin dari Tiro, karena semangat perlawanan di sana sudah luntur sehingga membutuhkan pemimpin yang dapat membangkit kembali semangat mengusir Belanda. Pemimpin itu juga harus ikut ke medan perang.
Makam Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut di dekat masjid tuha. Foto: Habil Razali/acehkini
Orang-orang yang hadir dalam rapat itu tidak ada yang ingin mengemukakan diri menjadi sosok pemimpin perlawanan terhadap Belanda di Aceh Besar. Tiba-tiba, Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut mengatakan bahwa keponakannya, Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman yang baru pulang dari Mekkah, hendak berbicara. Dia mengatakan bersedia memimpin perang di Aceh Besar.
ADVERTISEMENT
Ismail Jakub menulis, perang Aceh melawan Belanda sudah mereda pada 1880, ketika Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman bersedia menjadi panglima perang. Pada saat itu pejuang Aceh tidak lagi berpikir merebut tanah airnya yang direbut Belanda. Namun, Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman membangkitkan kembali semangat perang dan jihad itu pada 1881.
Saat perang kembali bergelora, Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut memulangkan semua santri di Dayah Tiro yang berasal dari seluruh Aceh. Dia berpesan kepada santrinya agar meneruskan Prang Sabi di daerahnya masing-masing. Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut juga menjadi penyokong Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman.
Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut meninggal pada 6 Rabiul Awal 1305 Hijriah atau 1887 Masehi. Dia dimakamkan di Meunasah Mancang, Tiro. Setelah meninggal tersebut, Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman secara resmi menyandang gelar Teungku Chik di Tiro.
ADVERTISEMENT
"Dalam adat ulama Tiro, hanya seorang yang bergelar Teungku Chik. Selama Teungku Chik Dayah Cut masih hidup, maka Teungku Syekh Saman belum dapat dipanggil Teungku Chik, kalaupun ada hanya sebutan beberapa orang," tulis Ismail Jakub.
Ali Hasjmy dalam buku Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agressi Belanda (1977) menulis bahwa Dayah Tiro juga menjadi tempat Teungku Muhammad Pante Kulu atau Teungku Chik Pante Kulu, ulama dan pejuang penulis Hikayat Prang Sabi, belajar ilmu agama.
"Pemuda Muhammad melanjutkan pelajarannya pada Dayah Tiro yang dipimpin Teungku Haji Chik Muhammad Amin Dayah Cut…," tulis Ali Hasjmy.
Makam Tgk Chik Pante Kulu di Kuta Cot Glie, Aceh Besar. Foto: Suparta/acehkini
Teungku Chik Pante Kulu kemudian belajar sembari menunaikan ibadah haji ke Makkah atas izin Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut. Dalam perjalanan pulang dari Makkah ke Aceh, Teungku Chik Pante Kulu menuliskan Hikayat Prang Sabi.
ADVERTISEMENT
Menurut Ismail Jakub dalam buku Tgk Tjhik di Tiro Hidup dan Perjuangannya (1960), Teungku Pante Kulu menyerahkan naskah Hikayat Prang Sabi kepada Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman bermula atas suruhan Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut.
"Dalam keadaan sedang menyiapkan diri, datang pula kiriman Teungku Chik Dayah Cut, yaitu Teungku Haji Muhammad Pante Kulu, yang termasyhur ahli seni, pengarang syair, dan bersuara merdu," tulis Ismail.
Muhammad Ibrahim dan kawan-kawan dalam buku Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh (1991) menulis, Dayah Tiro mulanya terdiri dari dua dayah, yaitu Dayah Tiro yang dipimpin Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut dan Dayah Tiro Cumbok dipimpin Teungku Ubet. Kedua dayah ini dibatasi aliran sungai Krueng Tiro.
ADVERTISEMENT
Ali Hasjmy dalam buku Semangat Merdeka (1985) menyebut Dayah Tiro satu di antara pusat pendidikan yang sudah terkenal sejak Kesultanan Aceh Darussalam. Selain Dayah Tiro, juga ada Dayah Tanoh Abei, Dayah Indrapuri, Dayah Lam Birah, Dayah Krueng Kale, Dayah Lam Nyong, Dayah Rumpet, Dayah Teupin Raya, dan Dayah Samalanga. [bersambung]