Jejak Rohingya di Aceh: Bersujud di Tanah Seusai Ditarik Kapal Perang (2)

Konten Media Partner
29 Juli 2022 11:04 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Sebulan mengarungi laut, para pengungsi Rohingya diselamatkan ke daratan Aceh. Meraka umumnya pelarian dari kamp Kutabalong, Bangladesh. Mencari negara penampung untuk kehidupan lebih layak.
Penyelamatan kapal Rohingya di pelabuhan Krueng Geukuh, Lhokseumawe, Desember 2021. Foto: dok. Yayasan Geutanyoe
Satu persatu pengungsi Rohingya turun dari kapal kayu setelah bersandar di Pelabuhan Krueng Geukuh, Lhokseumawe, Kamis tengah malam, 30 Desember 2021. Lafal syukur terdengar, sebagian bersujud di tanah dengan sisa tenaga. Aparat keamanan dan relawan berbagai lembaga kemanusiaan membantu membimbing untuk dikumpulkan dan didata di area pelabuhan.
ADVERTISEMENT
Total 105 pengungsi; 8 pria, 50 wanita dan 47 anak-anak. Demi kemanusiaan, Pemerintah Indonesia sepakat mendaratkan mereka, lalu ditarik TNI Angkatan Laut dengan Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) Parang-647.
Keberadaan etnis Rohingya telah terlihat para nelayan Aceh sejak Minggu siang, 26 Desember 2021, terombang-ambing sekitar 70 mil dari daratan Peudada, Kabupaten Bireuen. Perahu kayu milik pengungsi tak layak lagi, mesin rusak dan bocor usai sebulan lebih berada di lautan.
Nelayan melaporkan kondisi itu kepada pihak terkait, hingga membantu menambatkan perahu pada salah satu rumpon warga. Empat hari di sana, pemerintah daerah bersama warga, aparat keamanan memasok makanan dan kebutuhan lainnya, sambil menunggu kebijakan lanjut; ditarik atau dikembalikan ke laut.
Proses evakuasi di Pelabuhan Krueng Geukuh berjalan lancar sampai Jumat dini hari. Para pengungsi diperiksa kesehatan sebelum diangkut ke lokasi penampungan sementara untuk menjalani karantina, kompleks Balai Latihan Kerja (BLK) Desa Meunasah Mee Kandang, Muara Dua, Lhokseumawe. Lokasi pernah dipakai untuk menampung para pengungsi Rohingya yang terdampar
ADVERTISEMENT

Pengungsi Rohingya: Kami Bersyukur Masih Hidup

Hari-hari selanjutnya dijalani para pencari suaka di bawah pengawasan pemerintah. Berbagai lembaga kemanusiaan bahu-membahu menyalurkan bantuan, dari kebutuhan hidup, pelatihan skill sampai layanan konseling psikologi.
“Kami berterima kasih kepada seluruh warga, lembaga kemanusiaan dan pemerintah yang telah membantu kami. Saya belajar mengenai Aceh di sini,” kata Nur Amin (33 tahun), salah seorang pengungsi di BLK Lhokseumawe.
Kepada Tim Yayasan Geutanyoe, Amin berkisah tentang jalan panjang yang dilalui mengarungi lautan hingga berada di Aceh. Sekitar sebulan 105 pengungsi bertarung hidup di laut dengan kapal kayu.
Mereka terusir dari tanah lahir karena perang, meninggalkan pekerjaan seperti nelayan dan berdagang untuk menjadi warga tak bernegara di sebuah kamp kawasan Kutabalong, Bangladesh. Para pengungsi di sana selalu ingin keluar mencari negara asing yang menerima.
ADVERTISEMENT
Kehidupan di kamp disebut Amin seperti penjara, tidak bisa bekerja dengan bantuan terbatas. Mereka juga tak boleh kembali ke kampung sendiri.
Saat Samudera Hindia terlihat ramah, Amin dan rombongannya bergerak dengan kapal kayu dari Bangladesh. Wilayah Indonesia bukanlah tujuan. “Rencana kami ke negara ketiga, ingin ke Eropa, Amerika, Australia dan Kanada. Harapannya setelah tinggal tiga tahun akan mendapat id card (identitas kewarganegaraan),” katanya.
Pengungsi Rohingya yang diselamatkan di tengah laut, Desember 2021. Foto: dok. Yayasan Geutanyoe
Senada dengan Amin, seorang pengungsi perempuan Hazera Khatun (27 tahun) mengakui banyak masalah yang didapat di kamp Bangladesh, terutama untuk meraih kehidupan yang lebih layak.
Hal ini yang memaksanya ikut rombongan mencari negara lain, menumpangi kapal kayu melawan ombak, badai, terik matahari dan hujan, hingga membawanya ke Aceh. “Saya bersyukur masih diberikan kesempatan hidup,” kisahnya.
ADVERTISEMENT
Sepanjang perjalanan, Hazera mengakui para pengungsi saling menjaga. Tidak ditemui adanya kekerasan terhadap perempuan maupun pelecehan seksual. Aman saja termasuk di kamp Lhokseumawe.
Harapannya, ingin pergi ke negara ketiga yang menerima mereka. “Ingin hidup damai.”
***
Muhammad Siras (40 tahun) tak kuasa menahan haru saat perahu yang ditumpangi bersama rombongan pencari suaka dari Rohingya lainnya terdampar di pantai Desa Alue Buya Pasie, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, Ahad subuh, 6 Maret 2022.
Berjumlah 114 orang, mereka pertama kali ditolong penduduk setempat dan ditampung di meunasah desa. Selanjutnya, pemerintah dan lembaga kemanusiaan mengurus mereka, sampai dipindahkan ke tempat penampungan di Kota Pekanbaru, Riau, pada 17 dan 19 Mei 2022.
Siras telah 5 tahun menjadi penghuni kamp Bangladesh bersama istri dan anak-anaknya. Mereka minggat ke negara tetangga setelah kampung halamannya dibakar. Alasannya, mencari penghidupan yang lebih baik karena tidak ada penghasilan dan tidak bisa lagi bekerja di daerahnya.
ADVERTISEMENT
Kamp di Kutabalong, Bangladesh digambarkan sebagai rumah-rumah dari plastik, serba kekurangan dan minim makanan. Di sana, para imigran juga tidak bisa bekerja.
Kondisi ini memaksa Siras ikut rombongan dengan kapal kayu untuk keluar Bangladesh. Istri dan anaknya tidak dibawa serta. “Kami berada di lautan selama 25 hari, tujuannya ke Thailand dan Malaysia, akhirnya terbawa ke Indonesia,” katanya.
Saat perahu mereka terdampar di Aceh, Siras mengakui penerimaan warga sangat baik. Mereka langsung diarahkan ke meunasah desa, diberikan berbagai kebutuhan makanan dan minuman.
Apa harapan Siras selanjutnya? “Saya menunggu kesempatan untuk menuju ke negara ketiga dan berkumpul kembali dengan istri dan anak-anak.” [bersambung]
Note: Sebagian materi tulisan telah dibukukan dengan judul ‘Aceh Muliakan Rohingya’ ditulis oleh jurnalis acehkini difasilitasi Yayasan Geutanyoe.
ADVERTISEMENT