Jejak Rohingya di Aceh: Nelayan Menolong dengan Khawatir (3)

Konten Media Partner
30 Juli 2022 17:34 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Nelayan dan warga Aceh di wilayah pesisir menjadi yang pertama dalam memberikan pertolongan kepada para pengungsi Rohingya yang terombang-ambing di lautan maupun terdampar di pantai. Mereka menolong tanpa pamrih, dipicu kesamaan nasib atas dasar kemanusiaan. Tapi, nelayan masih khawatir
Kapal nelayan menolong kapal pengungsi Rohingya di perairan Lancok, Aceh Utara, Juni 2020. Foto: Zikri M untuk acehkini
Kabar itu diperoleh Badruddin Yunus dari nelayan lewat radio komunikasi. "Ada Rohingya di laut," kata nelayan kepada Panglima Laot Bireuen itu. Nelayan melihat kapal kayu milik pengungsi Rohingya terombang-ambing sekitar 70 mil dari daratan Peudada, Kabupaten Bireuen, pada Minggu siang, 26 Desember 2021.
ADVERTISEMENT
Kapal tersebut tidak layak lagi: bocor dan mesin rusak. Kapal memuat 105 pengungsi Rohingya, sebagian besar anak-anak dan perempuan. Nelayan mengikat kapal itu di rumpon, sembari menanti arahan lanjutan dari Panglima Laot.
Di daratan, Badruddin Yunus menghubungi pihak terkait dari pemerintah, seperti Polisi Air dan Udara serta Angkatan Laut. Kepada Panglima Laot, pemerintah melarang nelayan menarik kapal pengungsi Rohingya ke darat. Badruddin patuh arahan dan memerintah nelayan yang dekat kapal Rohingya tetap mengawalnya.
Pemerintah daerah bersama warga, serta aparat keamanan memasok makanan dan kebutuhan lainnya, sambil menunggu kebijakan lanjut: ditarik atau dikembalikan ke laut.
Badruddin Yunus dan nelayan lain sejatinya gelisah karena tidak sesuai dengan hukum adat laot Aceh. Dalam hukum adat, setiap ada barang hanyut, manusia, atau apa saja di laut yang butuh pertolongan wajib segera diselamatkan. Nelayan akan kena sanksi bila tidak patuh.
ADVERTISEMENT
Namun, ini masalah dilematik bagi Badruddin Yunus dan nelayan lainnya. "Tidak ditarik ke darat kami melanggar hukum adat, kami tarik melanggar hukum negara," kata Badruddin Yunus.
Panglima Laot Bireuen Badruddin mencari solusi dengan menghubungi sejumlah orang yang dianggap dekat dengan pemerintah pusat. Ia menceritakan situasi di lapangan. Namun upaya tersebut butuh waktu berhari-hari hingga berbuah hasil.
Setelah beberapa hari tertambat di rumpon nelayan, kapal pengungsi Rohingya itu baru diizinkan mendarat oleh Pemerintah Indonesia pada Rabu, 29 Desember 2021. Mendapat kabar ini, Badruddin memerintahkan nelayan segera menariknya ke darat, tapi dicegah Angkatan Laut.
"Permintaan dari Angkatan Laut agar penarikan dilakukan oleh mereka saja. Kami menghargai mereka sehingga menyuruh nelayan di sana pulang bila kapal Angkatan Laut sudah mendekat," ujar Badruddin.
ADVERTISEMENT
Kapal Rohingya tersebut ditarik Angkatan Laut ke Pelabuhan Krueng Geukueh, Kota Lhokseumawe. 105 orang pengungsi Rohingya turun ke darat pada Jumat dini hari, 31 Desember 2021. Mereka langsung dibawa ke Balai Latihan Kerja (BLK) Gampong Meunasah Mee Kandang, Muara Dua, Lhokseumawe.
Menurut Badruddin, hukum adat laut di Aceh sudah jelas mengatur kewajiban nelayan menolong siapapun yang butuh pertolongan di laut, bukan saja Rohingya. Namun ia dan nelayan Aceh lainnya memandang hukum adat seperti bertentangan dengan hukum negara, dipicu oleh isu-isu perdagangan manusia, penyelundupan manusia, terkait politik internasional, keamanan dan pertahanan dalam menjaga kedaulatan Republik Indonesia.
Hal itu menjadi kekhawatiran Badruddin dan nelayan lain saat menolong pengungsi Rohingya. "Dalam beberapa kesempatan saya selalu meminta payung hukum negara untuk Panglima Laot dalam menolong orang di laut sesuai hukum adat. Jangan sampai niat menolong, tapi kemudian diproses hukum," katanya.
ADVERTISEMENT
Wakil Sekretaris Jenderal Panglima Laot Aceh, Miftachuddin Cut Adek, ikut merasakan kekhawatiran yang sama. Karenanya, ketika mendapatkan kabar dari Badruddin dan nelayan di Bireuen tentang adanya pencari suaka yang patut ditolong, dia selalu meminta untuk bersabar sambil menunggu kebijakan pemerintah.
Di sisi lain, dia terus membangun koordinasi dengan dinas (kelautan dan perikanan), polisi, TNI AL, termasuk menghubungi berbagai lembaga pemerintah di pusat dan UNHCR. Informasi ke media terus diberikan dengan harapan para pengungsi cepat tertangani.
Koordinasi seperti itu selalu dibangun jejaring Panglima Laot dan nelayan, bukan hanya saat menemukan manusia perahu di laut, tetapi juga saat melihat adanya kapal asing yang mencuri ikan di wilayah laut Indonesia.
***
Membantu siapa saja yang membutuhkan pertolongan di laut adalah kearifan lokal bagi seluruh nelayan Aceh sejak dulu. Ini sesuai dengan hukum adat laot yang selalu dipatuhi.
ADVERTISEMENT
Miftachuddin Cut Adek, menyebutkan pihaknya telah merumuskan kembali aturan tersebut dalam Pokok-Pokok Aturan Kelembagaan Adat Laot Aceh, tercantum dalam Pasal 40 ayat (2): “Setiap nelayan yang melihat, mengetahui atau menyaksikan ada nelayan atau siapa saja yang mengalami kesulitan, kecelakaan atau gangguan di laut, maka wajib baginya untuk melakukan pertolongan.”
“Jika kemudian ada nelayan yang membantu Rohingya, memberikan makanan dan pertolongan, itu dasarnya. Tentunya melalui koordinasi dengan pihak-pihak terkait. Kebijakan selanjutnya adalah kewenangan pemerintah,” katanya.
Panglima Laot dan jajarannya paham jika Aceh dan Indonesia bukanlah tujuan etnis Rohingya. Mereka hanya terbawa angin atau hanyut ke wilayah Aceh, seringkali karena kapal yang mereka tumpangi telah rusak atau tak bisa lagi berlayar secara normal.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa kasus, kapal pengungsi terdampar di pantai atau karam di dekat pantai Aceh, yang menarik simpati warga untuk bahu-membahu memberi pertolongan pertama.
Sikap nelayan dan warga di pesisir Aceh yang begitu memuliakan pengungsi Rohingya, bukan hal mengejutkan. Memuliakan tamu adalah budaya Aceh yang telah terbentuk sejak zaman kesultanan. “Masyarakat Aceh telah terbiasa seperti ini, menolong bahkan memberi makan,” kata Miftach.
Dan kapan pun Rohingya terdampar serta butuh bantuan di daratan, masyarakat Aceh sudah siap. “Mungkin satu sampai tiga hari sangat siap membantu.”

Eksistensi Nelayan dan Panglima Laot Aceh

Nelayan Aceh punya sejarah panjang dalam kiprahnya di dunia sejak lama. Keberadaannya membentuk tradisi dan sosial budaya yang kuat, sebagian punah dan sebagian lagi bertahan hingga kini. Tradisi yang bertahan di antaranya adalah eksistensi Panglima Laot, dan perintah bagi nelayan untuk membantu siapa pun yang mengalami kesulitan di lautan, termasuk para pengungsi dari Rohingya.
ADVERTISEMENT
Kejayaan nelayan Aceh pernah dituliskan Tome Pires pada tahun 1520, saat mengunjungi Aceh yang disebut Achei dalam buku Suma Oriental-nya, dia menemukan kemajuan yang tak disangka saat berada di Samudera Pasai sebagai kota pelabuhan. Dia menulis lengkap di catatannya tentang bandar yang ramai, penduduk kota, perdagangan, uang, pajak dan mata pencaharian. Kala itu, penduduk lebih banyak yang menjadi nelayan dan pedagang dibandingkan bertani dan pemburu. Nakhoda juga disebut berperan penting dalam kehidupan nelayan Pasai.
Catatan Tome Pires tentang nelayan diperkuat Sir James Lancaster, yang dikirim Ratu Inggris, Elizabeth I untuk memimpin armada laut Inggris, Red Dragon berlayar menuju kawasan timur raya, membuka jalur perdagangan rempah-rempah. Lancaster tiba di Aceh pada 6 Juni 1602 dan disambut Laksamana Keumala Hayati, tangan kanan Sultan Aceh saat itu, Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil.
ADVERTISEMENT
Sat itu Lancester berkata, “kami membuang sauh di teluk, beberapa orang negeri itu naik ke kapal kami dari perahu mereka yang lebih dari yang pernah kami lihat sampai saat itu. Dengan cadik di kedua sisinya sehingga mereka tidak mudah tenggelam bila gelombang tinggi.” (Denys Lombard, 2006)
Kisah-kisah kejayaan nelayan dan laut Aceh banyak disaksikan dan ditulis oleh pengarung Samudera sejak lampau. Kekuatan armada laut dan kelihaian nelayan Aceh dalam perdagangan itulah yang menjadi andalan kesultanan Aceh, yang kemudian disegani oleh bangsa-bangsa besar di Dunia.
Nelayan Aceh terus tumbuh dan berkembang dalam masa ke masa. Kisah kejayaan perlahan memudar sejak kolonial Belanda menguasai sebagian wilayah pelabuhan Aceh. Dominasi kapitalis menjadikan nelayan terpuruk dari sisi ekonomi, sosial dan budaya.
ADVERTISEMENT
Sibuk mengusir penjajah, membuat kehidupan semakin terpuruk dalam membangun kapasitas dirinya. Sampai Indonesia Merdeka, 17 Agustus 1945, kehidupan warga di pesisir masing compang-camping. Prioritas pembangunan umumnya bergeser dari laut ke darat, dari maritim ke agraris.
Berbagai tantangan yang muncul di kehidupan nelayan tak menghancurkan sistem sosial budaya masyarakat pesisir. Sebuah warisan yang masih terjaga hingga kini adalah Panglima Laot, sebuah struktur adat di kalangan nelayan Aceh, bertugas memimpin persekutuan adat yang mengelola hukum adat laut.
Nelayan Aceh membantu pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh Utara. Foto: dok. Yayasan Geutanyoe
Keberadaan Panglima Laot dengan segala perangkatnya di wilayah-wilayah seluruh Aceh, disebutkan telah dikenal sejak lama. Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar (1537 – 1571) telah meletakkan dasar hukum tentang kehidupan bernegara termasuk kehidupan di laut yang tertulis dalam Qanun Syaraj Al-Asyi.
ADVERTISEMENT
Qanun itu kemudian disempurnakan pada masa Sultan Iskandar Muda yang memimpin Aceh pada kurun 1607 – 1636. Keberadaan lembaga adat Panglima Laot dituliskan dalam sebuah Qanun yang kerap dikenal sebagai Qanun Meukuta Alam Al-Asyi.
Sejak Indonesia merdeka, eksistensi Panglima Laot diakui pemerintah sebagai masyarakat adat kendati belum masuk dalam hukum positif. Panglima laot kerap dilibatkan dalam mengatur kebijakan berkaitan nelayan dan laut. Hal itu tersirat dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang ketentuan pokok-pokok Agraria. Pasal 1 disebutkan; Hak menguasai dari negara (atas bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) pelaksanaan dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
ADVERTISEMENT
Perlahan, Panglima Laot terus mendapat pengakuan negara. Dalam Peraturan Pemerintah Daerah (Perda) Provinsi Aceh, Nomor 2 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat, disebutkan keberadaan Panglima Laot sebagai pemimpin adat laot. Selanjutnya juga diadopsi kembali dalam Perda Nomor 7 Tahun 2000, Pasal 1 ayat 14 disebutkan; Panglima Laot adalah orang yang memimpin adat istiadat dan kebiasaan yang berlaku di bidang penangkapan ikan dan penyelesaian sengketa.
Setelah berakhirnya konflik Aceh pada 15 Agustus 2005, eksistensi Panglima Laot semakin kuat. Lembaga ini disebutkan dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Panglima Laot dimasukkan dalam pasal 98, selanjutnya kewenangannya diatur dalam qanun.
Secara umum, fungsi Panglima Laot di antaranya adalah; pemimpin pelaksanaan kehidupan adat dan hukum adat laot, penghubung antara nelayan dan pemerintah, menampung aspirasi nelayan, dan penegak hukum adat laot.
ADVERTISEMENT
Secara garis besar adat laot dibagi dalam empat bagian, yaitu; adat sosial di laut, adat pemeliharaan lingkungan, adat kenduri laot dan adat barang hanyut. (Syamsuddin Daud, 2014)
Pada 20 Juli 2016, Panglima Laot Kabupaten/Kota dan Panglima Laot Lhok seluruh Aceh menggelar Duek Pakat Raya ke-4 di Banda Aceh. Lembaga ini menghasilkan Pokok-Pokok Aturan Kelembagaan Adat Laot Aceh, yang terdiri dari 11 bab dan 64 pasal. Kebijakan itu aturan lembaga, sanksi adat dan sejumlah ketentuan adat lainnya yang mengatur kehidupan nelayan.
Salah satu bagian penting dalam kebijakan tersebut adalah bagian ‘Adat Sosial di Laot’, pada pasal 40, sebagai berikut:
(1) Jika nelayan mengalami musibah di laut, maka nelayan lhok setempat berkewajiban mencari dan memberi pertolongan sekurang-kurangnya 3 hari;
ADVERTISEMENT
(2) Setiap nelayan yang melihat, mengetahui atau menyaksikan ada nelayan atau siapa saja yang mengalami kesulitan, kecelakaan atau gangguan di laut, maka wajib baginya untuk melakukan pertolongan
(3) Setiap nelayan yang melihat dan menemukan barang hanyut atau benda lainnya yang berharga di wilayah laut dan pantai wajib melaporkan kepada Panglima Laot Lhok setempat atau pihak berwajib, dan untuk selanjutnya pihak Panglima Laot mengumumkannya dan apabila dalam waktu yang ditentukan tidak ada pemiliknya maka barang tersebut akan diserahkan pada Pihak berwajib. []