Jejak Tradisi Meugang di Aceh, Berawal dari Titah Sultan Iskandar Muda

Konten Media Partner
12 April 2021 12:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Lapak-lapak daging tumbuh di sekitar pasar-pasar tradisional, warga menyerbu membelinya untuk dikonsumsi jelang Ramadan. Perayaan tradisi telah berlangsung sejak zaman Kesultanan Aceh.
Kerbau dan sapi dijual di depan Masjid Raya Baiturrahman, Koetaradja (Banda Aceh-sekarang), untuk disembelih di hari meugang, masa kolonial Belanda, 1906. Foto: Wikipedia/ Tropenmuseum
Membelah kerumunan warga di Pasar Lambaro, Aceh Besar, Dodi bersama anak dan istrinya menyambangi lapak daging. Dia membelinya dua kilogram sebagai menu merayakan meugang. Selain daging, bumbu dan perlengkapan dapur lainnya ikut diboyong untuk persiapan sambut puasa.
ADVERTISEMENT
“Saya membelinya kemarin, harga daging lebih mahal dari hari biasanya,” kata warga Banda Aceh itu kepada acehkini, Senin (12/4/2021). Satu kilogram dibelinya Rp 175 ribu. Harga itu sedikit mahal dibanding hari biasa yang hanya Rp 130 ribu per kilogram.
Dodi mengaku anaknya yang masih 8 tahun belum paham meugang, karena itu dibawa serta untuk mengenalkan budaya tersebut. Ini persis seperti orang tuanya dulu mewariskan tradisi itu kepadanya. “Ini tradisi warisan bagi keluarga di Aceh,” sebutnya.
Pemerhati sejarah Aceh, Tarmizi Abdul Hamid, mengatakan Meugang di Aceh dirayakan selama tiga kali setahun, menjelang Ramadan, menjelang Hari Raya Idul Fitri dan menjelang Hari Raya Idul Adha. Pada saat itu, semua rumah warga Aceh memasak daging sebagai menu makan, tak terkecuali. “Harga mahal pun bukan kendala,” katanya.
ADVERTISEMENT
Meugang di Aceh juga menumbuhkan rasa sosial dan saling membantu. Orang kaya, lembaga, kantor-kantor biasanya akan menyembelih sapi atau kerbau untuk dibagikan kepada fakir miskin.
Riwayat meugang sejak zaman dulu di Aceh, ditulis peneliti Belanda, C. Snouck Hurgronje dalam bukunya ‘The Achehnese’ yang diterbitkan di Leiden pada 1906. Diebutkan, tiga hari jelang bulan Ramadan, warga Aceh menggelar persiapan-persiapan untuk memastikan bekal makanan saat puasa. Salah satu kebiasaan adalah meugang.
“Muncul kebiasaan adat membeli stok daging di setiap gampong (desa) selama tiga hari pertama sebelum permulaan bulan puasa, masyarakat melakukan pesta daging, dan mengawetkan sisanya dengan garam, cuka dan lain-lain untuk persediaan yang diperkirakan bisa bertahan hingga 15 hari,” tulis Snouck.
ADVERTISEMENT
Warga Aceh dulunya juga mengelal sistem meuripee (bersama-sama mengumpulkan uang) untuk membeli sapi atau kerbau, untuk disembelih bersama saat meugang. Sebagian daging dibagikan untuk fakir miskin.
Warga Aceh membeli daging sambut Ramadan. Foto: Suparta/acehkini

Warisan Sultan Iskandar Muda

Dalam sejarah Aceh, meugang pertama kali diperingati saat Sultan Iskandar Muda masih berkuasa memimpin Kesultanan Aceh pada 1607-1636. “Meugang diatur dalam Undang Undang Kerajaan atau disebut Qanun Meukuta Alam Al Asyi,” demikian pernah dikisahkan Badruzzaman Ismail, Sejarawan Aceh kepada acehkini.
Saat itu, Aceh dalam kemajuan dan kemakmuran yang dikenal dan diakui negara luar. Sultan Iskandar Muda memerintahkan para Peutua Gampong untuk mendata seberapa banyak warga miskin. Mereka kemudian mendapat jatah daging dari kerajaan, wujud kepedulian Sultan kepada rakyat. Perintah itu kemudian dituangkan dalam aturan hukum.
ADVERTISEMENT
Kebiasaan terus berlanjut, tahun-tahun selanjutnya berhasil memancing para Ulee Balang dan orang kaya untuk membagi daging di hari meugang. Jatah daging untuk fakir miskin semakin bertambah, kepedulian sesama yang terus terjaga sampai masa perang melawan penjajahan.
Belanda memaklumatkan perang terhadap Aceh 1873, kerajaan tak mampu lagi mengelola meugang, tapi tradisi itu terus berjalan di gampong-gampong. Warga tetap menjalankan kebiasaan itu, yang miskin mendapat bantuan dari yang kaya.
Kata Badruzzaman, meugang bukan sekadar soal makanan. Ada sektor ekonomi yang tumbuh di sana, dimulai dari bergairahnya peternak lembu dan kerbau, sampai pedagang di pasar yang ramai berjualan membuat transaksi ekonomi berjalan sampai lebaran tiba. Daging yang dijual di Aceh pada saat meugang, semuanya produk lokal yang terjamin mutu.
ADVERTISEMENT
Tradisi ini sarat filosofi, membangun rasa sosial saling berbagi. Sampai kini, orang Aceh masih menjaga meugang, menjaga titah Sultan. []