Konten Media Partner

Kala Mantan Marsose Menjenguk Kerkhof (3)

2 Maret 2019 18:58 WIB
clock
Diperbarui 21 Maret 2019 0:02 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nisan di dalam Kerkhof Petjut. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Nisan di dalam Kerkhof Petjut. Foto: Suparta/acehkini
ADVERTISEMENT
Tidak sulit menemukan Kerkhof Petjut. Lokasinya berada di tengah kota dan hanya sepelemparan batu dari Museum Tsunami. Dari Masjid Raya Baiturrahman, kuburan yang mulai dibangun permanen sekitar tahun 1893 itu hanya berjarak satu kilometer atau 10 menit dengan berjalan kaki. Kerkhof dibuka setiap hari, dari pukul 08.00 hingga pukul 18.00 WIB. Meski dekat dengan Lapangan Blang Padang, tidak banyak warga Banda Aceh yang tertarik mengunjungi tempat ini.
ADVERTISEMENT
“Pukul 18.00 kami tutup pintu pagar,” kata Nur Habibah. Kalau ada pengunjung yang ingin masuk, mereka bisa membuka sendiri pintunya. Selama ini, katanya, jarang ada yang berkunjung malam hari ke kuburan. “Kan kuburan, mana ada yang mau datang malam-malam,” tambahnya. Pintu pagar itu baru digembok total pukul 20.00.
Nisan di Kerkhof. Foto: Suparta/acehkini
Pada Senin (25/2) sore, hanya ada enam orang di areal makam, termasuk Ampon Bit dan seorang pengurus dari Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda (Baperis) yang sedang merehab makam. Beberapa pengunjung terlihat berswafoto di areal makam. Gapura yang berisi nama-nama prajurit menjadi lokasi favorit mereka selain nisan Mayor JHR Kohler.
Kerkhof Petjut sudah jauh berubah. Sejumlah nisan yang dulu hancur karena gempa dan tsunami 26 Desember 2004 sudah dipugar kembali. Memang, ada sejumlah nisan dibiarkan terbengkalai, rusak dan tidak dicat sama sekali. Umumnya menimpa nisan yang tidak memiliki nama dan berada jauh dari pintu masuk dan berada di sudut. Di beberapa batu nisan, simbol-simbol kuno seperti bintang David atau simbol Free Mason sudah tidak terbaca lagi, tergerus oleh waktu.
Salah satu sudut di komplek Kerkhof Petjut. Foto: Suparta/acehkini
Rerumputan di areal makam sudah dipotong rapi. Keluarga Nur Habibah, misalnya, kebagian tugas membersihkan areal yang berada di sisi sebelah kiri. Sementara sisi lain ditangani langsung oleh petugas dari Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala. “Kami hanya kebagian satu blok itu saja,” ujar Kak Nur menunjuk areal sisi kiri makam.
ADVERTISEMENT
Upaya merawat dan memugar Kerkhof Petjut tak lepas dari andil Johann Brendgen (1903-1985), seorang bekas Kolonel Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau KNIL (Koninklijke Nederlands-Indische Leger). Tahun 1970-an, Brendgen yang sudah pensiun dari dinas kemiliteran, datang ke Aceh. Itu adalah kunjungan pertamanya setelah Indonesia merdeka tahun 1945 (Belanda baru mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949 atau setelah Konferensi Meja Bundar). Sebagai prajurit yang lama bertugas di Korps Marechaussee (Marsose), ia rindu pada Aceh. Brendgen muda pernah dikirim ke Aceh, ketika Belanda masih berperang melawan pejuang Aceh.
Tiba di Banda Aceh, hati Brendgen begitu terpukul. Sebagai mantan pasukan Marsose, ia cukup kecewa melihat kondisi Kerkhof Petjut, kuburan teman-temannya di masa perang. Pemakaman militer itu terlihat begitu buruk. Banyak kuburan sudah hancur dan sejumlah batu nisan tidak lagi berada di tempatnya. Ia sedih melihat situs bersejarah itu berubah menjadi padang rumput dan menjadi tempat gembala kambing dan kandang ayam.
ADVERTISEMENT
Berbagai upaya dilakukan seperti menjalin kerja-sama dengan Pemerintah di Aceh, dan mencari donor dari Belanda. Ia ingin memugar makam mantan teman-temannya, para pasukan Marsose, yang pernah berperang di Aceh. Memang, tak semua yang dikuburkan di situ prajurit Belanda, tapi ada dari Bugis, Jawa, Batak, Ambon dan Manado. Itu, misalnya, bisa diperiksa pada daftar nama di pagar gapura.
Makam JHR Kohler. Foto: Suparta/acehkini
Dukungan dari pihak berwenang di Aceh dan bantuan dari negeri Belanda, Kolonel Brendgen pun mulai memugar Kerkhof Petjut. Dan, pada tahun 1976, lahirlah Stichting Petjut-Fonds atau Yayasan Dana Petjut. Salah satu tujuan lembaga ini adalah pemulihan dan pemeliharaan kuburan Petjut.
‘Mr Bean’ yang Lahir di Geumpang
Oktober tahun lalu, Robbert Jan Nix mengunjungi Aceh untuk kesekian kalinya. Ia sudah menganggap Aceh sebagai kampung keduanya setelah Belanda. Selama di Banda Aceh, Nix sering menghabiskan waktu di kuburan Petjut, komplek pemakaman militer Belanda terbesar di nusantara.
ADVERTISEMENT
Di Banda Aceh, Ketua Yayasan Dana Petjut itu sering menginap di Paviliun Seulawah. Hotel yang kini berganti nama menjadi Grand Arabia Hotel itu hanya berjarak ratusan meter dari Kerkhof. Untuk sampai di kuburan, Nix hanya perlu menyeberang Lapangan Blang Padang. Cuma butuh 5 menit berjalan kaki.
“Jalannya cepat sekali,” kata Kak Nur tentang sosok tinggi semampai itu. Meski usia Nix tidak muda lagi, ia masih kuat berjalan. Ia bahkan tidak mau diantar menggunakan mobil atau sepeda motor kembali ke penginapan.
Robbert Jan Nix. Foto: petjut-fonds.nl
Menurut Kak Nur, tiap melihat Nix, ia terbayang pada sosok aktor kelahiran Inggris, Rowan Atkinson. Nix pria yang murah senyum dan suka bergurau. “Dia orangnya lucu. Mirip Mr Bean,” kenangnya. Nur mengaku Nix selalu berbicara dengan mereka tiap datang ke Aceh. “Dia sering tanya apa yang bisa dibantu,” cerita wanita yang sejak 1980-an sudah menetap di kompek Kerkhof Petjut.
ADVERTISEMENT
Nix menyukai hampir semua jenis masakan Aceh, seperti Kuah Pliek U, Kuah Beulangong, Asam Pedas dan juga Soto. Itu diketahui Nur setelah pria Belanda itu dijamu makan. “Dia suka dengan kuah pliek u,” kata Nur. Suatu kali, ketika dihidangkan Soto, Nix langsung meminta dibuatkan resepnya. “Apa pun masakan yang saya hidangkan, dia minta ditulis resepnya.”
Sejumlah resep masakan Aceh sudah dikantongi Nix. Kepada Nur, ia mengaku senang memasak. Saat di Belanda, katanya, dia sering memasak masakan Aceh. “Mungkin dia sedang kangen Aceh,” ujar Nur yang turut diiyakan oleh suaminya.
Siapa sebenarnya Robbert Jan Nix? Laman petjut-fonds.nl menulis, Nix merupakan anak seorang perwira Korps Polisi Militer dari Royal Dutch Indies Army Timur. Sewaktu perang Aceh-Belanda, ayah Nix adalah seorang perwira di Korps Marechaussee dari Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Ia sempat bertugas di pedalaman Pidie.
Kuburan Belanda. Foto: Suparta/acehkini
Nix merupakan anak paling tua dari delapan bersaudara. Ia lahir di Geumpang, sebuah Kecamatan di Kabupaten Pidie pada tahun 1940, atau dua tahun sebelum Jepang mendarat di Aceh. Ia bahkan sempat merasakan hidup di bawah pendudukan Jepang. Ia meninggalkan Indonesia pada akhir tahun 1950 setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) yang mengakhiri masa kekuasaan Belanda di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Saya melihat tanda pengenal Nix. Dia lahir di Aceh,” kata Nur Habibah. Pun begitu, meski lahir di Aceh, Nix sama sekali tidak bisa berbahasa Aceh. Ia hanya mengerti sedikit bahasa Indonesia.
Seusai menyelesaikan pendidikan di Kota Amersfoort, Nix mendaftar Akademi Militer Kerajaan di Breda, mengikuti jejak ayahnya berkarir di dinas kemiliteran. Di akademi inilah dia dilatih menjadi seorang perwira di kavaleri. Dia pensiun dari dinas militer dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel.
Ia bergabung dengan Yayasan Dana Petjut setelah tak lagi aktif di dinas militer. Ia menjabat sebagai ketua yayasan itu sejak Oktober 2004. Nix masih tercatat sebagai ketua yayasan hingga kini. Yayasan Dana Petjut ini dikenal sebagai nirlaba atau bagian dari Algemeen Nut Beogende Instelling (ANBI).
Simbol di batu nisan Komplek Kerkhof Petjut. Foto: Suparta/acehkini
Nur pernah mendengar kalau Nix akan melepaskan jabatan sebagai Ketua Yayasan saat berkunjung ke Aceh lagi nanti. Ia mengaku sudah tua dan tidak sekuat dulu lagi. Namun, sepertinya ada alasan lain Nix ingin pensiun dari Petjut. Dia kehilangan sahabat karibnya, Rusdi Sufi, yang disebutnya baik dan penyayang itu. Ahli sejarah yang selama ini dikenal sebagai perwakilan Nix di Aceh itu menghembuskan nafas terakhir pada Selasa, 27 November 2018.
ADVERTISEMENT
“Istirahatlah dengan lembut Pak Rusdi, di bumi yang sangat kamu cintai,” tulis RJ Nix dalam sebuah tulisan mengenang sahabat yang membantunya merawat Petjut, kuburan militer Belanda terbesar di Nusantara. [selesai]
Reporter: Taufik Al Mubarak