Kala “Sang Presiden” Terjebak Hujan

Konten Media Partner
29 April 2019 15:29 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hasbi Burman, penyair Aceh. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Hasbi Burman, penyair Aceh. Foto: Suparta/acehkini
ADVERTISEMENT
Pria itu tengah duduk sendirian di Cek Yuke pada Sabtu (27/4) siang. Kedua kakinya disilangkan, sementara lengannya berpangku pada sandaran kursi. Saat itu, ia mengenakan kemeja lengan pendek berwarna hijau lumut, dipadu celana kain hitam. Sepatu hitam kasual yang tampak lusuh menempel di kakinya.
ADVERTISEMENT
Ia, Hasbi Burman, penyair kelahiran Calang, Aceh Jaya pada 9 Agustus 1955 silam (Banyak media menulis ia lahir tahun 1944, dan menurut Hasbi itu keliru). Di atas meja di depannya, dua gelas kopi sudah kosong, begitu juga piring tempat menaruh kue. Sepertinya, ia baru saja ditinggal pergi oleh koleganya.
Siang itu, ia menatap jauh ke luar warung dengan perasaan gelisah. Kosong dan tak bergairah. Hujan yang baru saja mengguyur kawasan kota seperti memusnahkan harapannya. Lalu, sebuah tepukan di pundak menyadarkan penyair gaek itu dari lamunan. Seutas senyum segera terlukis di matanya.
Si pemilik tepukan itu kemudian duduk dan menghadap Hasbi. Mereka bercakap-cakap sebentar. Ia merogoh sesuatu dari saku, dan menyerahkannya kepada Hasbi. Hasbi menerima dua lembar uang lima ribuan itu dengan riang. Setelah itu, ia bergegas menuju rak nasi di sudut depan warung. Ketika kembali, tangannya menjinjing kantong plastik berisi nasi bungkus, dan duduk di tempat semula. Matanya masih terus melihat keluar. Hujan kian deras saja.
ADVERTISEMENT
“Hujan belum juga reda,” katanya, pelan. “Saya tidak bisa ke warung kopi stasiun.” Pria 64 tahun itu terbiasa menyebut “Sekber”, warung kopi tongkrongan wartawan di seputaran Masjid Raya Baiturrahman, dengan warkop stasiun. Dulunya, ketika Kutaraja (nama Banda Aceh tempoe doeloe) dalam pendudukan penjajah Belanda, di kawasan itu memang pernah menjadi stasiun kereta api.
Penampilan Hasbi Burman yang sebagian rambutnya memutih. Foto: Suparta/acehkini
Beberapa kali Hasbi mondar-mandir, keluar masuk warung, dengan perasaan gelisah. Hujan pada siang itu membuat geraknya terbatas. Ke mana-mana, ia memang lebih sering berjalan kaki. Ia jarang sekali menggunakan mobil labi-labi (sudako) untuk bepergian. “Ia masih kuat. Karena ke mana-mana jalan kaki,” kata Azhari Aiyub, suatu ketika.
Bagi Hasbi, Azhari adalah sang penyelamat. Penulis yang beberapa waktu lalu merilis novel Kura-kura Berjanggut itu mengasuh rubrik budaya di harian Serambi Indonesia, sebuah koran lokal dari group Kompas Gramedia. Hasbi kerap mengirim puisinya untuk dimuat di rubrik budaya edisi minggu. Namun, tidak setiap minggu puisinya bisa dimuat. "Tidak enak juga dengan penulis lain," kata Azhari, beralasan.
ADVERTISEMENT
Puisi kiriman Hasbi kerap dimuat pada waktu tertentu saja. Biasanya menjelang meugang, ketika mau lebaran atau momen spesial lainnya. Bagi Azhari, begitulah cara dia membantu seniman yang pernah dilabeli “Presiden Rex” oleh Harian Kompas itu. "Asik kita baca kalau dia nulis puisi tentang alam," kata penyair yang memperoleh Free Word Award dari Belanda itu.
Jabatan “Presiden Rex” yang disandang penyair yang kini berusia 64 tahun itu ditasbihkan oleh Harian Kompas. Hasbi bercerita, ketika Don Sapdono datang ke Aceh, mereka bertemu di Rex Peunayong, sebuah pusat jajanan terkenal di Banda Aceh. Hasbi sudah 9 tahun menjadi tukang parkir di sana. “Ini semua gara-gara tulisan Bre Redana di Kompas,” kata Hasbi, kepada Acehkini, Sabtu (27/4) siang. Bre Redana adalah nama pena Don Sapdono, jurnalis Kompas. Sejak saat itu, gelar “presiden rex” segera melekat padanya.
ADVERTISEMENT
Tahun 1976 atau pada tahun Hasan Tiro memproklamirkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Hasbi sudah merantau ke Banda Aceh. Untuk menopang hidup, ia nyambi menjadi tukang parkir jalanan. “Awalnya saya jadi tukang parkir di Jalan Perdagangan,” ceritanya. Oleh seorang kenalannya, ia dikasih lapak parkir di Rex yang berada di Peunayong, satu kawasan Chinatown di Banda Aceh.
Rex adalah tempat nongkrong paling prestise kala itu. Tempatnya terbuka, luas dan tidak memiliki pembatas, di kiri-kanan. Kursi dan meja dijejalkan memenuhi areal yang luasnya dua kali lipat lapangan voli. Pusat jajanan ini letaknya sangat strategis karena dikelilingi oleh hotel bertarif murah, pusat perbelanjaan dan juga berada di pusat kota. Saat Hasbi menjadi tukang parkir di sana, minuman keras masih bebas dijual.
Hasbi Burman di Warung Kopi Cek Yuke. Foto: Taufik Al Mubarak/acehkini
Ia berhenti menjadi tukang parkir pada tahun 1988. Itu pun bukan karena keinginannya. “Lapak parkir saya diambil alih orang lain,” sebutnya. Orang itu, awalnya ‘dipinjamkan’ lapak oleh Hasbi untuk sekadar cari uang makan. Lalu, karena merasa bisa mendapatkan uang dengan mudah sebagai tukang parkir, ia menyingkirkan Hasbi.
ADVERTISEMENT
“Ia bahkan menjelekkan saya, ‘kenapa kasih lapak ke Pak Hasbi, tiap hari ia asik baca koran saja,’” ceritanya. Menurut Hasbi, ia kehilangan lapak parkir karena andil orang ketiga, sebuah istilah yang membuatnya trauma. Sepanjang hidupnya, ia selalu berhadapan dengan orang ketiga. “Saya menikah dan bercerai karena orang ketiga. Saya kehilangan pekerjaan sebagai tukang parkir juga karena orang ketiga,” katanya, lirih.
Hingga kini, ia begitu trauma dengan orang ketiga. “Bagi saya, orang ketiga itu sebuah kewaspadaan.” Ini membantunya untuk lebih berhati-hati. Bahkan, ia begitu menyukai menonton sinetron orang ketiga. Saking seringnya menonton sinetron orang ketiga, anaknya sampai mengomel. “Dibilang saya sudah seperti anak milenial.” Padahal, ia tertarik menyimak kehidupan tokoh utama di sinetron itu yang kerap diganggu oleh orang ketiga.
ADVERTISEMENT
Di masa mudanya, Hasbi berperawakan tinggi besar, berambut panjang dan berkumis tebal. Kini, seiring usianya yang sudah lanjut, sisa-sisa kegagahan itu kian memudar. Otot-ototnya sudah menghilang, berganti dengan kulit yang agak mengkerut. Begitu pula kumisnya tidak lagi tebal dan sudah berwarna perak. Sebagian rambutnya sudah memutih. Sebagai presiden, ia sudah tidak segagah di masa muda.
Di usianya yang kian senja, sang presiden masih produktif menulis puisi. Ia menggunakan handphone Nokia jadul untuk mengetik dan mengirim puisi. Puisi itu ia kirimkan ke Azhari, redaktur budaya Serambi Indonesia, melalui layanan pesan singkat (SMS). “Aku minta dia mengirim puisi melalui SMS saja,” kata Azhari. Agar format penulisannya tidak kacau, Azhari meminta Hasbi membubuhkan tanda 'titik' sebagai pengganti spasi dan baris. Cara pengiriman puisi via SMS, kata Azhari, hanya berlaku untuk sang presiden saja.
ADVERTISEMENT
Acehkini sempat menggodanya untuk menulis beberapa bait puisi. Ia menolaknya dengan halus. Katanya, puisi itu tidak hadir seperti surat cinta. “Puisi itu bukan surat cinta,” kata seniman yang kerap berpindah-pindah dari satu warung kopi ke warung kopi lain. Untuk menulis sebait puisi, sebutnya, seorang seniman butuh ilham, hal yang membedakan seorang nabi dan seniman. “Nabi mendapatkan wahyu, sementara seniman dikasih ilham,” lanjutnya.
Contoh kiriman puisi dari Hasbi Burman. Foto: Taufik Al Mubarak/acehkini
Minggu lalu, tiga puisinya baru saja dimuat di koran lokal. Ia mengaku menulis puisi bukan semata-mata untuk cari uang. “Puisi adalah saya,” katanya. “Saya tidak mencari makan lewat puisi,” katanya, tegas.
Dan, ketika hujan mulai reda, ia bergegas, menyusuri jalanan di tepi Krueng Aceh. Tubuh ringkih “Sang Presiden” itu menghilang saat berada di ujung jalan. []
ADVERTISEMENT
Taufik Al Mubarak