Kenangan Bersama Ria Irawan, Artis Pertama ke Aceh Usai Tsunami

Konten Media Partner
7 Januari 2020 9:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ria Irawan. Foto: Maria Gabrielle Putrinda/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ria Irawan. Foto: Maria Gabrielle Putrinda/kumparan
Bencana Tsunami lewat 4 hari, kala Evi Narti Zein (saat ini komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh) melihat tiga orang celingak-celinguk di Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar. Mereka kebingungan di tengah padatnya relawan, TNI/Polri dan orang-orang yang berdatangan ke Aceh. Sebagian membawa bantuan, sebagian pulang kampung, lainnya ingin berkontribusi membantu.
ADVERTISEMENT
Evi mengenal dua perempuan sebagai Ria Irawan dan Nurul Arifin. “Satu lagi cowok, saya lupa namanya,” kisahnya kepada ku, Senin (6/1/2020). Mereka menjadi artis pertama yang datang ke Aceh usai tsunami.
Saat itu, Evi bertugas berjaga-jaga di bandara memandu para pendatang yang kebingungan hendak kemana. Evi dan sejumlah kawan lainnya telah membuka posko di kawasan Montasik, Aceh Besar, wilayah tak terjangkau tsunami.
Evi mendekat, mengenalkan diri dan mereka sepakat untuk menuju ke Posko Montasik dengan mobil pick up yang disopiri adiknya, sebagian barang bantuan telah ada di mobil untuk didistribusikan kepada pengungsi. “Saya tidak ingat lagi persisnya, sore harinya kami bawa dia ke Posko Forum LSM,” kata Evi.
ADVERTISEMENT
Posko Forum LSM yang dimaksud terletak di kawasan Lambhuk, Banda Aceh. Sebuah rumah tempat lembaga itu berkantor, aman dari tsunami.
Korban tsunami Aceh, antre bantuan. Dok. acehkita/Dhandy
Posko Forum LSM dibuka pada hari ketiga tsunami, aku ikut membantu bersama kawan-kawan aktivis. Komando dipegang Direktur Katahati Institute, Teuku Ardiansyah. Koordinator Forum LSM saat itu, Taf Haikal dalam kondisi berduka, anak dan istrinya menjadi korban tsunami. Risman A Rachman, aktivis Aceh yang sebelumnya tinggal di Jakarta, telah bergabung. Juga beberapa lainnya.
Aku menginap di sana sejak malam ketiga tsunami, setelah tempat tinggal ikut terimbas bencana. Kendali dipegang oleh kami yang tak kehilangan keluarga inti. Bantuan mulai datang ke sana dari penggalangan kawan-kawan di Jakarta, beras, baju-baju bekas, kebutuhan rumah tangga dan lainnya. (bagian ini akan kutulis selanjutnya)
ADVERTISEMENT
Jelang malam tahun baru, dua tamu telah bergabung di Forum LSM. Satu kukenal sebagai Nurul Arifin, satu lagi tidak terlalu kukenali, tapi familiar. Belakangan, seorang kawan memberitahukan, Ria Irawan. Mereka dibawa dari Posko Montasik oleh Iqbal Farabi dengan mobil jeep terbukanya. Di sana juga telah ada Raihan Diani, aktivis perempuan yang juga baru pulang dari Jakarta.
Malam tahun 2005, kami duduk melingkar di halaman kantor Forum LSM. Ria Irawan dan Nurul mendengar kisah kami tentang bencana, saat air datang, sampai mayat-mayat yang masing bergelimpangan. Ria dan Nurul lebih banyak diam.
Aku memanggil keduanya mbak, ikut menceritakan peristiwa yang kualami langsung saat bencana. Tentang berlari menghindari air, mengangkat mayat-mayat, dan tak mandi selama tiga hari. Saat canda dan kami tertawa, mereka ikut tertawa.
ADVERTISEMENT
“Kami datang untuk melihat langsung bencana, kawan-kawan sedang menggalang bantuan dan solidaritas,” begitu kira-kira kata kata Ria saat itu. Aku tak ingat persis ucapannya.
Sisa bangunan tsunami di Ulee Lheu, 4 Agustus 2005. Foto: Adi Warsidi
Kami di posko sepakat untuk mengajaknya besok menyisir beberapa lokasi bencana, sambil membawa bantuan beras dan lainnya. Bincang-bincang berlangsung sampai pergantian tahun, selanjutnya Ria dan Nurul meninggalkan Forum LSM. Aku dan sebagian aktivis menginap di sana.
Tepat tahun baru, 1 Januari 2005, mereka datang kembali. Keliling sambil menyalurkan bantuan telah disiapkan. Aku, Dedek (relawan bagian logistik) serta beberapa lainnya menemani Nurul Arifin menyisir kawasan dari Lambhuk ke kawasan Ujong Batee, Aceh Besar. Sepanjang jalan wilayah itu, rata akibat bencana.
Aku lupa dengan siapa Ria pergi, sampai Evi memberitahukannya. “Ria Irawan ikut bersama kami, melihat kondisi sampai ke arah Lhoong, Aceh Besar,” kisahnya mengingatkan.
ADVERTISEMENT
“Sepanjang jalan, dia (Ria) lebih banyak diam, menyaksikan kehancuran dan mayat-mayat yang masih bergelimpangan,” kata Evi.
***
Seminggu setelah kedatangannya, Ria dan Nurul kembali ke Jakarta untuk menggalang solidaritas sesama artis membantu tsunami Aceh. “Aku sempat bertemu kembali dengannya beberapa tahun setelah tsunami, sambil memberi tahu tentang perkembangan Aceh,” jelas Evi Narti.
Baginya, Ria adalah artis yang sangat peduli kemanusiaan terutama saat tsunami Aceh, ramah dan mudah bergaul. “Dulunya, dia betah lama-lama ngobrol dan ramah,” kenang Evi.
Raihan Diani, aktivis yang sempat menemani Ria Irawan saat tsunami di Aceh juga berpendapat sama. “Dia termasuk artis yang pertama datang setelah tsunami, dan itu sudah cukup untuk mengetahui sejauh mana Ria Irawan peduli kemanusiaan,” katanya.
ADVERTISEMENT
Raihan mengakui tak sempat lagi bertemu Ria sesudahnya, sampai kemudian Ria dipanggil Yang Maha Kuasa. “Sedih juga ketika mendengar Ria meninggal.”
Selamat jalan Mbak Ria Irawan. []