Kilas Balik Kehidupan Mantan Kombatan GAM saat Konflik Aceh (1)

Konten Media Partner
9 Agustus 2019 9:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Parade pasukan TNI di Aceh, 16 Agustus 2005. Foto. Adi Warsidi
zoom-in-whitePerbesar
Parade pasukan TNI di Aceh, 16 Agustus 2005. Foto. Adi Warsidi
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) semakin eksis pasca-dicabutnya status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, pada 7 Agustus 1998. Status itu telah melekat sejak 1989. Di sisi lain, keinginan Aceh untuk menentukan nasib sendiri semakin bergema dengan lahirnya berbagai organisasi perlawanan rakyat di Aceh, umumnya dikomandoi mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Muncul organisasi seperti KARMA, Farmidia, SMUR, FPDRA, SPURA, PERAK, dan HANTAM. Isunya, selain gelar jajak pendapat alias referendum, juga anti-militer dan semacamnya. Referendum didengungkan sepanjang 1999 sampai 2002, dipilih elemen sipil Aceh untuk merespons konflik bersenjata antara TNI/Polri dan GAM yang tidak kunjung reda. Kampanye lebih luas, bahkan dilakukan bersama-sama dengan wilayah Provinsi Timor Timur (sekarang Negara Timor Leste).
Organisasi HANTAM misalnya, dengan mengusung isu anti militerisme berhasil membuat sebuah aksi spektakuler pada tahun 2002. Aksi paling fenomenal, karena mereka menuntut cease-fire antara Pemerintah Republik Indonesia dan GAM. Selain itu HANTAM dalam aksinya mengusung empat bendera: bendera Merah Putih, bendera GAM, bendera Referendum, dan bendera Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Beberapa mahasiswa ditangkap, diperiksa, kemudian dilepaskan lagi.
ADVERTISEMENT
Dalam masa-masa itu, dialog-dialog terus dilanjutkan antara GAM dan RI untuk mencari jalan aman. Hasilnya mulai tampak. Upaya dialog perlu gencatan senjata. Kesepakatan mulai dirintis sejak Januari 2000, yang kemudian melahirkan 'Jeda Kemanusiaan' yang ditandatangani pada 12 Mei 2000. Keamanan saat 'jeda' ini, naik-turun.
Situasi relatif baik setelah pihak GAM dan pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian damai (Cessation of Hostilities Agreement–CoHA) pada 9 Desember 2002 di Jenewa, Swiss. Kendati bentrok terus berlanjut, tetapi tidak sebanyak dulu. Komite Keamanan Bersama, yang terdiri dari tiga pihak; Indonesia, GAM, dan Henry Dunant Centre (HDC) sebagai penengah pun dibentuk. Komite itu terkenal dengan nama Joint Security Committee (JSC). Komite diketuai oleh Thanongsuk Tuvinum, perwira tinggi asal Thailand.
ADVERTISEMENT
Pada 9 Februari 2003, perjanjian damai memasuki tahap penting dan kritis. Kedua pihak telah sepakat untuk melucuti senjata masing-masing hingga lima bulan ke depan. Pelucutan senjata akan diawasi oleh komite bersama tersebut. Masalahnya, proses perundingan gagal.
Pada Mei 2003, CoHA dinyatakan gagal dan tidak dilanjutkan. Para juru runding GAM ditangkap dan dipenjara. Darurat Militer kemudian diumumkan pada 19 Mei 2003. Puluhan ribu personel TNI/Polri dikirim kembali ke Aceh, untuk menumpas GAM.
Bendera GAM ditemukan usai kontak senjata di Ujong Pancu, Aceh Besar, Juni 2005. Foto: Adi Warsidi
Darurat militer memengaruhi kehidupan para kombatan. Mereka yang sempat leluasa bergerak di kampung-kampung usai status DOM dicabut, menyusun strategi. Mereka mendapat perintah membenahi kembali markas di hutan.
***
Salah satu mantan kombatan GAM Aceh Besar, Irwansyah alias Tgk Muchsalmina, menceritakan kisahnya kepada acehkini.
ADVERTISEMENT
Saat ini, Irwansyah adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), juga memimpin Tim Kampanye Daerah (TKD) Aceh untuk calon Presiden/Wakil Presiden, Joko Widodo-Ma’ruf Amin, pada Pemilu 2019.
“Setelah darurat militer ditetapkan, Panglima GAM, Muzakir Manaf, memerintahkan para anggota untuk kembali membenahi markas-markas di hutan,” kisah Irwansyah.
Selain itu, gerilyawan diminta terus memberikan perlawanan yang seimbang, menghadapi gempuran aparat pemerintah. Kontak senjata makin sering terjadi di Aceh.
Irwansyah tergabung dalam Komando Daerah 26 Aceh Rayeuk, menempati markas di sekitar hutan Siron, Aceh Besar. Aparat TNI semakin meningkatkan operasi. Bulan pertama dan kedua, belum ada serangan yang berarti ke markas-markas GAM, hanya razia yang intensif di kota. Jaringan logistik GAM juga belum terganggu, masih mudah diambil oleh pasukan ke perkampungan.
ADVERTISEMENT
“Mau pesan makanan apa saja masih mudah dibeli. Saya juga masih mudah menerima wartawan, baik dalam maupun luar negeri,” kisahnya.
Potongan senjata GAM masa konflik di Museum Perdamaian, Kantor Kesbang Linmas Aceh. Foto: Adi Warsidi
Beberapa anggota yang memakai laptop. Jika baterai habis mereka turun gunung untuk mengisi energi. Masalah berat justru ketika beberapa anggota mulai terserang penyakit malaria. Makanan bergizi juga sulit didapat. Pasukan mengatasinya dengan berolahraga secara rutin dan rajin mengonsumsi dedaunan dan sayur-mayur yang mudah didapat di sekitar markas.
Markas sama sekali tak nyaman, hanya gubuk kecil yang dibangun serba darurat. Tempat tidur dibuat dari kayu kecil yang disusun dengan ikatan rotan. Rumput-rumput kering menjadi alas. Satu ranjang rumput kering itu digunakan untuk 4 orang. Lalu dipasangi kelambu untuk menghindari serangan nyamuk. Suara binatang malam menjadi musik penghibur.
ADVERTISEMENT
Mereka masih leluasa memasak di malam hari, tanpa khawatir diketahui pasukan pemerintah di awal-awal penerapan status darurat militer. Menu daging rusa kerap menjadi santapan setiap hari saat di hutan, itu pun jika beruntung.
Irwansyah selalu menganjurkan rekannya untuk terus siaga dan berjaga seperti ilmu gerilya yang pernah mereka pelajari. Di titik-titik tertentu, mereka bergantian untuk berjaga setiap tiga jam sekali pada siang dan malam, hingga pagi menjelang.
Di desa-desa yang menjadi jalur keluar-masuk pasukan GAM, warga menjadi informan untuk melaporkan pergerakan pasukan pemerintah menggunakan radio Handy Talky (HT). Sehingga setiap perkembangan kondisi keamanan dapat diketahui dengan mudah. Informan terlatih dengan bahasa-bahasa sandi agar musuh tak mendeteksi. Di sebagian daerah, para informan ini dikenal dengan sebutan “aneuk itek”. [bersambung]
ADVERTISEMENT
Reporter: Adi Warsidi