Konten Media Partner

Kilas Balik Konflik Aceh: Awal Kiprah Tim Pemantau Asing

7 Agustus 2019 16:40 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Parade menjelang penandatanganan kesepakatan damai di Aceh, 7 Agustus 2005. Foto: Adi Warsidi
zoom-in-whitePerbesar
Parade menjelang penandatanganan kesepakatan damai di Aceh, 7 Agustus 2005. Foto: Adi Warsidi
Tahun 2005. Aceh saat itu masih sarat akan konflik dengan potensi kontak senjata yang bisa terjadi kapan saja. Warga masih was-was. Sementara pembangunan pasca-tsunami terus dipacu. Perundingan antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, hampir mencapai kata sepakat.
ADVERTISEMENT
28 Juni 2005, dua hari setelah kontak senjata antara TNI dan GAM di Indrapuri, Aceh Besar, satu per satu utusan dari Uni Eropa dan ASEAN turun dari pesawat Garuda Indonesia di Bandara Sultan Iskandar Muda.
Mereka terbang dari Jakarta setelah mengadakan pertemuan penting dengan Pemerintah Indonesia, terkait misi kemanusiaan dan perdamaian di Aceh. Menteri Informasi dan Komunikasi, Sofyan Djalil, turut serta mendampingi mereka.
Para utusan disambut langsung Plt Gubernur Aceh, Azwar Abubakar; Kapolda Aceh, Irjen Pol Bahrumsyah Kasman; dan Panglima Kodam Iskandar Muda, Supiadin AS. Itulah awal kunjungan satu tim yang bakal menjadi pemantau keamanan di Aceh. Kesepakatan damai pada titik terang.
Mereka yang datang terdiri dari tujuh utusan Uni Eropa, antara lain Pieter Feith dan Kozlowsk Lomez; dan tiga orang utusan dari ASEAN, yakni Adnan Haji Otman, Kamal Naswan, dan Paitoon Saukaco. Selain itu, hadir pula dua utusan dari Crisis Management Initiative (CMI) yang memfasilitasi pertemuan Pemerintah RI dan GAM di Helsinki, Janko Oksanen, dan Juha Cristensen.
ADVERTISEMENT
Tujuan mereka, selain memantau kondisi Aceh menjelang kemungkinan tercapainya kesepakatan damai, juga untuk bertemu dengan tokoh pemerintahan dan masyarakat Aceh, demi menampung aspirasi.
“Pertemuan itu sangat penting, menyelesaikan masalah konflik di Aceh dan perbaikan kehidupan masyarakat pasca-tsunami,” kata Sofyan Djalil saat itu.
“Tim ini ingin melihat dulu kondisi lapangan, kesiapan lapangan, dan apa yang mereka butuhkan nantinya,” sambungnya. Keputusan mengundang mereka untuk menjadi tim monitoring tergantung pemerintah nantinya.
Keesokan harinya, tim dari Uni Eropa, ASEAN, dan CMI mengadakan pertemuan secara tertutup dengan tokoh masyarakat Aceh, pejabat pemerintahan, dan juga TNI/Polri di Pendapa Gubernur Aceh. Pertemuan tanpa dihadiri GAM.
Usai rapat, tak satu pun dari mereka yang mau bicara kepada awak media. Saat tim pemantau mengunjungi Ulee Lheu, Banda Aceh, untuk melihat kondisi pasca-tsunami, para jurnalis juga menyusul ke sana. Namun, tak ada keterangan apa pun yang didapat.
Pieter Feith, belakangan menjadi Ketua Tim Pemantau Perdamaian Aceh. Foto: Adi Warsidi
Tim kembali ke Hotel Cakradonya, Banda Aceh, tempat mereka menginap. Di sana, hanya Sofyan Djalil yang memberikan keterangannya. “Kalau kesepakatan di Helsinki tercapai, perlu tim monitor,” sebut Sofyan singkat.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, para utusan terbang keliling Aceh, mengunjungi Pidie, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara, dan Aceh Selatan dengan helikopter. Di daerah kondisinya juga sama, tak ada dari mereka yang buka mulut tentang perkembangan perundingan, sampai mereka kembali ke negaranya dua hari kemudian.
Hampir sebulan kemudian, 22 Juli 2005, sebuah tim dari Parlemen Uni Eropa kembali ke Aceh, dengan personel yang sedikit berbeda. Tujuannya kali itu hanya untuk mengamati kondisi penyaluran bantuan bencana alam pasca-tsunami. Sebanyak 14 anggota tim itu diketuai oleh Miss Andreas.
Tentang kemungkinan mereka bagian dari Tim Pemantau Asing sebagai hasil kesepakatan Helsinki. “Kita akan pantau semua, soal menjadi pemantau hasil dialog RI-GAM di Helsinki, kami masih menunggu keputusan antara kedua belah pihak pada Agustus 2005 nanti,” kata Andreas kala itu. []
ADVERTISEMENT
Reporter: Adi Warsidi