Konten Media Partner

Kilas Balik Konflik Aceh: Tugas Berat Militer Asing

21 Agustus 2019 11:43 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Seremonial upacara penyerahan senjata GAM terakhir ke Tim AMM, 21 Desember 2005. Foto: Adi Warsidi
zoom-in-whitePerbesar
Seremonial upacara penyerahan senjata GAM terakhir ke Tim AMM, 21 Desember 2005. Foto: Adi Warsidi
Ribuan warga memadati halaman Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Senin, 15 Agustus 2005. Bersama mereka, sekitar 80 warga asing berbaur di sana, memakai kaos putih, dengan tulisan AMM di bagian lengannya.
ADVERTISEMENT
Mereka tergabung dalam Tim Pemantau Awal (Initial Monitoring Privance/IMP). Tugasnya, melakukan persiapan bagi Misi Pemantauan Aceh (Aceh Monitoring Mission(AMM) untuk memastikan proses perdamaian berlangsung baik.
Di Masjid Raya Baiturrahman, mata tim IMP dan warga tertuju pada beberapa televisi yang terpasang ditambah satu layar besar. Siaran televisi swasta secara langsung merekam suasana penandatanganan Damai Aceh dari Helsinki, Finlandia, tepat pukul 15.00 WIB atau pukul 11.00 waktu Helsinki.
Senin malam, usai Damai Aceh disepakati, AMM hadir memberikan keterangan pers resmi. Ketua AMM, Pieter Feith, langsung, memimpin pertemuan dengan wartawan di Media Center Infokom, Banda Aceh. Selain Pieter, juga hadir beberapa anggota tim pemantau lainnya.
Saat itu, Pieter menyebutkan, dalam melaksanakan tugasnya mengawasi perdamaian Aceh, ia akan selalu menghormati integritas wilayah Republik Indonesia. Dia mengatakan, secara resmi, AMM akan memulai tugas secara formal terhitung 15 September 2005.
ADVERTISEMENT
AMM mempunyai sekitar 250 orang personel tanpa senjata. Kantor pusat mereka di Banda Aceh. Selain itu, ada kantor wilayah di Sigli, Bireuen, Lhokseumawe, Langsa, Tapak Tuan, Blang Pidie, Meulaboh, Lamno, Kutacane dan Takengon. Ada juga sebuah kantor logistik di Medan.
“Senjata dari GAM juga akan dikumpulkan di daerah-daerah itu,” sebut Pieter.
Selain itu, misi perdamaian Aceh juga diemban oleh negara-negara Uni Eropa dan lima negara di ASEAN. Hal ini, menurutnya, akan memberikan keleluasaan yang baik dalam bertugas damai di Aceh. “Saya optimis konflik Aceh akan berakhir,” sebutnya.
15 September 2005, Tim AMM resmi bekerja penuh, membangun kantor di seluruh wilayah Aceh. Sebagian anggota tim itu adalah perwira militer. Tapi, sesuai dengan kesepakatan di Helsinki, dilarang menyandang senjata. Tim bebas bergerak ke mana saja. Meski keamanan tim itu menjadi tanggung jawab pemerintah, mereka berwenang menolak pengawalan polisi.
ADVERTISEMENT
Personelnya sarat pengalaman. Pieter Feith, sang komando, sudah malang melintang di area perang, kenyang asap mesin di berbagai daerah konflik. Dia pernah menjadi penasehat politik NATO bagi Komandan Pasukan Perdamaian PBB (IFOR) di Bosnia and Herzegovina. Dia juga pernah terjun mengakhiri perang antara Makedonia dan Tentara Pembebasan Albania, NLA.
Memantau proses damai, Pieter Feith (Kanan) bersama mantan Perdana Menteri GAM, Malik Mahmud. Foto: Adi Warsidi
Latar belakang perwira militer asal ASEAN juga sama. Misalnya, Letnan Kolonel Abdurrahman bin Abdul Majid (49 tahun) dari Tentara Kerajaan Malaysia. Abdurrahman pernah aktif di pasukan penjaga perdamaian PBB di Bosnia dan lama bertugas di Sierra Leone, Afrika.
Bedanya, kata Abdurrahman, di Aceh, ia bertugas tanpa senjata. ”Afrika medannya jauh lebih sulit,” ujarnya kala itu. Malaysia mengirimkan enam perwira di dalam tim pemantau Aceh.
ADVERTISEMENT
Tugas mereka berat. Mengawasi proses amnesti dan kembalinya gerilyawan ke masyarakat, kemudian juga proses demobilisasi 3.000 tentara GAM dan memusnahkan 840 pucuk senjata gerilyawan. Pada saat yang sama, mereka memantau proses penarikan TNI dan Brimob nonorganik dari Aceh.
Setelah proses relokasi, sesuai dengan perjanjian, pasukan TNI dan Brimob yang bertahan masing-masing 14.700 dan 9.100 personel. Proses ini dilakukan empat tahap hingga 31 Desember 2005.
***
Sampai dengan akhir Desember 2005, tak ada kendala berarti dalam kerja-kerja AMM. Persoalan senjata GAM dan penarikan pasukan TNI/Polisi selesai, tugas AMM semakin ringan. Awal Januari 2006, AMM memulangkan 40 personel. Mereka umumnya adalah perwira militer di negaranya.
Pemulangan besar-besaran terjadi pada 15 Maret 2006. Sebanyak 125 staf AMM kembali ke negaranya, setelah enam bulan lebih bertugas di Aceh. Salah satu personel yang kembali ke Thailand adalah Principal Deputy Head of Mission AMM, Letnan Jenderal Nipat Thonglek.
ADVERTISEMENT
Sebelum pergi, Nipat Thonglek menyebutkan misi mereka di Aceh telah diselesaikan sebagian. Sebanyak 85 anggota AMM yang tinggal di Aceh terus menyelesaikan misi perdamaian sampai 15 Juni. “Saya sangat bahagia bisa diberikan kesempatan bekerja untuk kedamaian di Aceh,” sebutnya.
Dia mengakui, masih banyak yang harus tetap dikawal dalam proses damai, seperti pembuatan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA), proses reintegrasi dan amnesti. Menurutnya, pihak Pemerintah Thailand sangat bangga bisa menjadi bagian dalam menjaga proses damai dan menjadi bagian dari Uni Eropa, sehingga bisa memberikan kontribusi untuk orang Aceh.
“Anggota AMM yang tinggal akan menjaga hal tersebut dan saya percaya semua akan berjalan lancar,” sebut Thonglek kala itu.
Tim AMM memeriksa senjata GAM. Dok. Adi Warsidi
Mandat AMM seharusnya berakhir 15 Juni 2006. Tapi kemudian terpaksa diperpanjang lagi menyusul molornya Pemerintah Indonesia menyiapkan Undang Undang Pemerintahan Aceh.
ADVERTISEMENT
Artinya, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh mundur juga. Sebanyak 85 personel AMM menunggu sambil terus memantau, sampai kemudian Pilkada Aceh pertama usai konflik sukses dilaksanakan, 11 Desember 2006.
Empat hari setelah pilkada, bendera turun satu-satu di area kampus Universitas Syiah Kuala, Darusalam. Personel AMM pulang seluruhnya, Pieter Feith salah satu yang terakhir. “Saya optimis perdamaian ini akan berlangsung terus, meski tanpa kami,” sebut Pieter Feith dalam konferensi pers terakhirnya di Aceh.
Penilaiannya, damai telah berjalan pada jalurnya dan sudah positif. Pemerintah Indonesia dan GAM telah mulai berkomunikasi langsung, tanpa melalui AMM. Pieter berjanji akan memperjuangkan semua masalah yang tercantum dalam MoU, yang selama ini belum terealisasi, misalnya soal Pengadilan HAM dan Reintegrasi.
ADVERTISEMENT
Selama berada di Aceh, AMM telah mengadakan sebanyak 44 kali Pertemuan Komisi Pengaturan Keamanan (COSA). Rutin dilaksanakan selama mereka memantau perdamaian Aceh yang dicapai setelah MoU Helsinki ditandatangani. Pertemuan tersebut bertujuan untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah-masalah yang muncul selama perdamaian di Aceh.
Melalui cara ini, AMM selalu mampu mengatasi dan mengukur kemajuan berbagai langkah dalam implementasi Nota Kesepakatan (MoU) serta menfasilitasi penyelesaian setiap persoalan. Keputusan-keputusan dalam pertemuan COSA di setiap tingkat selalu diambil secara mufakat, di mana cara ini terbukti sangat berguna untuk membangun kepercayaan antara pihak RI maupun GAM.
Sebuah pesan dititipkan Pieter Feith kala meninggalkan Bumi Serambi Makkah:
[]
Reporter: Adi Warsidi
ADVERTISEMENT