news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kilau Tiram Aceh Sampai ke Negeri Jiran

Konten Media Partner
27 September 2019 8:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tiram dicongkel dari cangkangnya. Foto: Habil Razali/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Tiram dicongkel dari cangkangnya. Foto: Habil Razali/acehkini
ADVERTISEMENT
Matahari nyaris terbenam di kaki langit, namun Samsariyah (52 tahun) masih cekatan membelah cangkang tiram yang dipegang erat di tangan kirinya. Sementara tangan kanannya menggenggam sebilah pisau yang ujungnya lancip, melingkar menyerupai sabit.
ADVERTISEMENT
Di ujung pisau itu, isi tiram dicongkel dari cangkangnya yang keras. Saking kerasnya, Samsariyah menumpukkan cangkang tiram di atas sepotong balok kecil. Sejurus kemudian, ujung pisau ia jatuhkan, cangkah terbelah dua. Di antara belahan itu, daging tiram keluar dengan ukuran sekitar dua sentimeter, putih, berlendir, dan kenyal.
Tiram lalu dilemparkan ke dalam wadah yang terisi air. Manakala isi congkelan tiram mencapai satu gelas kecil, Samsariyah lekas mengambil bungkus plastik. Daging-daging tiram bercampur air diangkat dengan gelas dan dituangkan dalam bungkus plastik. "Satu gelas kecil ini kami jual dengan harga Rp 15 ribu," kata Samsariyah, kepada acehkini, Jumat (20/9).
Dalam sehari, Samsariyah mampu mengumpulkan rata-rata tiram 18 gelas kecil. Jika dihitung, hingga matahari tenggelam, ia memperoleh penghasilan sebesar Rp 270 ribu. "Rata-rata segitu. Tapi kadang tak menentu, misalnya pernah dalam sehari hanya terjual Rp 50 ribu," tutur dia.
ADVERTISEMENT
Samsariyah menjajakan tiram ini di bantaran sungai, di garis batas Alue Naga, Banda Aceh, dengan Gampong Baet, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar. Bungkusan tiram diletakkan di atas meja kayu di bawah lindungan atap daun menyerupai gubuk kecil. Selain tiram, di meja itu pula turut dijajakan kepiting dan jenis kerang lainnya.
Dia tinggal di Gampong Baet, Baitussalam. Sejak kecil, ia telah akrab dengan tiram. Jenis kerang-kerangan yang dijualnya merupakan hasil panen dari sebuah tambak budidaya atau tempat yang disebutnya lahan. Dia memiliki lahan budidaya tiram sepanjang 100 meter dengan lebar sekitar 20 meter.
"Lahan ini peninggalan orang tua. Jadi saya telah diajari secara turun-menurun oleh orang tua untuk budidaya tiram," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Bagi Samsariyah, proses budidaya hingga menjual tiram ialah pekerjaan utama yang telah dilakoni saban hari sejak dulu. Dari hasil penjualan tiram pula, ia dan suami menghidupi kedua anaknya hingga besar dan sekarang masing-masing telah berkeluarga.
Dalam sehari, ia memanen tiram di lahan budidaya minimal sekali atau terkadang dua kali. Cangkang-cangkang tiram diangkat ke dalam keranjang pada pagi hari atau sore hari.
Samsariyah tak ambil pusing soal bibit tiram. Dari proses pencongkelan untuk mengambil daging tiram tadi, cangkang-cangkang dimasukkan ke dalam karung. Cangkang tiram itu ditaburi kembali ke tambak dengan merata dan kembali dipanen pada usia tiga bulan.
Apakah perlu perawatan? "Tidak perlu perawatan. Kita sebarkan saja cangkang ini ke lahan, nanti akan tumbuh sendiri," kata Samsariyah.
Samsariyah, petani tiram di Alue Naga. Foto: Habil Razali/acehkini
Sore itu, seusai membelah cangkang tiram, Samsariyah mengajak acehkini ke lahan budidaya miliknya di Gampong Baet, Baitussalam. Lokasinya berjarak seratus meter dari tempat ia menjajakan tiram. Di sana, Samsariyah menunjukkan lokasi tambak miliknya.
ADVERTISEMENT
Tambak milik Samsariyah berair dangkal. Di dasarnya, ratusan cangkang tiram tersebar di semua sudut. Tambak itu dikelilingi bantaran yang ditumbuhi pohon-pohon bakau.
Selain milik Samsariyah, di lokasi itu juga terdapat tambak tiram milik petani lain. Samsariyah tak menghitung jumlah seluruhnya, tetapi ia menyebut jumlah pemilik tambak tiram itu. "Petani tiram yang punya lahan di sini 50 orang,” jelasnya.
Salah satunya, Raliyah. Kala itu, perempuan 60 tahun ini mengangkat sekarung cangkang tiram. Dari jalan yang di kedua sisi berdiri rumah-rumah, Raliyah berjalan kaki menuju ke arah tambak miliknya. Di sana, ia menumpahkan cangkang dari karung hingga tersebar di dasar tambak.
"Ini hasil pencongkelan tadi, ditabur kembali. Budidaya tiram di sini tanpa perawatan khusus, kita bisa mendapat hasil maksimal tiga bulan ke depan," kata dia.
ADVERTISEMENT
Kawasan Baet, Alue Naga, dan Tibang menjadi sentra budidaya tiram di Kota Banda Aceh. Selain di tambak, warga juga memungut tiram di muara yang berdekatan dengan laut. Sebuah pemandangan yang telah berlangsung puluhan tahun di sana.
***
Medio September 2019, pengusaha Malaysia, Zaifudin Ramli, mengunjungi Aceh. CEO Kholysa Group Berhard Malaysia ini ingin mengembangkan bisnis dan mengelola pembudidayaan tiram Aceh. Nantinya, hasil panen tiram dari petani dapat diekspor ke negerinya.
Saat dijamu oleh Wakil Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Aceh, Dyah Erti Idawati, di rumah dinas Wakil Gubernur Aceh, Selasa (17/9), Zaifudin menyebut akan membangun ekosistem budidaya tiram bagi para petani tiram di Aceh. Turut hadir dalam pertemuan itu sejumlah kepala perusahaan asal Malaysia lainnya, seperti Zin Ali dari Venture Builder dan Mohd Halim Ibrahim dari Ibraz Group.
ADVERTISEMENT
Konsep ekosistem budidaya tiram yang ditawarkan Zaifudin tentu menguntungkan. Pengusaha Malaysia itu nantinya bakal membantu petani tiram Aceh dari produksi, penjualan, sampai dengan pengiriman ke luar negeri.
Ini tentu membuat tiram milik petani seperti Samsariyah dan Raliyah tak hanya dijual di bantaran sungai, melainkan dipasarkan ke luar negeri. "Barang petani tiram di Aceh bisa kami impor ke Malaysia, untuk memenuhi kebutuhan di sana," kata Zaifudin di hadapan Dyah Idawati.
Keinginan mengimpor tiram Aceh ke Malaysia, menurut Zaifudin, karena tiram Aceh punya nilai jual tinggi di Malaysia. Oleh karena itu, pihaknya berencana membeli tiram dari petani, serta turut memberdayakannya.
Mendengar rencana tersebut, Dyah Erti Idawati sangat senang. Apalagi, selama ini istri Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, kerap mengunjungi petani tiram di sejumlah daerah di Aceh. Menurutnya, petani tiram di Aceh harus sejahtera dan berkecukupan. "Sangat senang ada pengusaha Malaysia yang ingin mendongkrak ekonomi masyarakat," sebut Dyah.
ADVERTISEMENT
"Saya sebagai Wakil Ketua PKK juga terus membina petani tiram agar bisa mendapatkan income yang membaik," sambungnya.
Dyah Erti Idawati saat menjenguk petani tiram di Alue Naga. Foto: Hadi/acehkini
Selama ini, Pemerintah Aceh ikut mengembangkan usaha tiram di Gampong Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. Melalui Dinas Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), Pemerintah Aceh membantu kelompok petani Sinar Naga untuk mengolah tiram menjadi kerupuk tiram dan berbagai produk lainnya. Kerupuk Tiram produksi Sinar Naga pun telah dipasarkan ke beberapa daerah di Indonesia.
Selain Alue Naga, di kabupaten lain di Aceh, petani tiram berpotensi dikembangkan sehingga produktif. Apalagi, sebagian besar kabupaten di Aceh adalah pesisir. Ini sangat mendukung untuk pengembangan budidaya tiram.
***
Kedatangan investor dari Malaysia untuk mengimpor tiram Aceh ini tak terlepas dari peran sosok Teungku Jamaika. Mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini menjadi pengusaha tiram di Aceh sejak tahun 2015. Ia melakukan budidaya tiram di Alue Naga dan Tibang, Kota Banda Aceh.
ADVERTISEMENT
Jamaika menjadi orang yang pertama sekali mengenalkan konsep budidaya tiram dengan Metode Sederhana menggunakan ban bekas. Tiram-tiram akan menempel di ban yang diikatkan di tiang keramba. Dengan teknik itu, petani tiram tak harus merendam lagi untuk mengambil tiram.
Soal keinginan pengusaha asal Malaysia, menurut Jamaika, Zaifudin sebelumnya menghubungi dirinya untuk rencana impor tiram Aceh. Bukti keseriusan atas rencana itu, mereka mengunjungi keramba tiram di Alue Naga dan Tibang. Selepas itu, mereka baru menjumpai Dyah Idawati selaku pihak Pemerintah Aceh untuk mengungkapkan keinginan itu secara resmi.
Apakah pengusaha tiram di Aceh mendukung keinginan pengusaha Malaysia itu? "Kami mendukung. Semoga lebih banyak lagi orang atau investor yang membeli tiram Aceh. Mudah-mudahan mereka betul dan serius. Dan kita harus undang yang lain agar datang juga ke sini," kata Jamaika kepada acehkini, Minggu (22/9).
Raliyah, petani tiram. Foto: Habil Razali/acehkini
Menurut Jamaika, selama ini sering mengirim tiram dari Alue Naga ke Jakarta. Apalagi sekarang, salah satu restoran di Jakarta sudah bekerja sama dengan Jamaika untuk menjadi pelanggan tetap tiram. Dari pengalaman ini, ia tak ambil pusing soal pengiriman ke Malaysia.
ADVERTISEMENT
"Kalau sudah di-frozen (dibekukan dengan es) tiram ini bisa tahan lama. Sebulan juga enggak apa-apa, tidak bermasalah," tutur dia.
Soal kualitas, tiram Aceh tak perlu diragukan. Dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan (FKP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Ichsan Rusydi, telah melakukan penelitian terhadap tiram di Alue Naga. Hasilnya, tiram di sana lebih bagus karena kadar logam sangat rendah. Ini membuat tiram Aceh berkualitas baik dan aman dikonsumsi.
"Tiram Aceh sangat bermutu karena didukung dari keberadaan lingkungan yang belum tercemar limbah industri," kata Ichsan.
Menurut Ichsan, Aceh yang minim pabrik industri sangat berdampak baik terhadap kualitas tiram. Ini berbeda dengan daerah yang banyak industri, seperti Pulau Jawa. Sesuai penelitiannya, tiram di beberapa daerah di Pulau Jawa tidak aman bagi kesehatan jika dikonsumsi. Ini dikarenakan tiram di sana diperkirakan sudah tercemar limbah industri yang dibuang ke laut.
ADVERTISEMENT
"Kalau kita lihat, akibat limbah itu, tiram pun mengandung logam berat yang sangat tinggi. Dan itu tidak aman dikonsumsi," ujarnya.
Di Alue Naga, sebut Ichsan, FKP telah melakukan uji kompetensi terhadap 120 petani tiram dari empat kelompok. Hasil uji kompetensi itu, petani tiram tersebut telah diberikan sertifikasi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) di Jakarta.
"Makanya jika orang Malaysia atau investor masuk ke Aceh karena ingin membudidayakan tiram, kita merespons bagus dan kita apresiasi. Pemerintah sudah saatnya menjadikan tiram sebagai komoditi unggulan," ujarnya.
***
Kerang dan tiram yang dijual di Alue Naga, Banda Aceh. Foto: Hadi/acehkini
Cangkang-cangkang tiram terus ditabur Raliyah ke dasar tambak dan akan dipanennya tiga bulan ke depan. Menurut dia, tiram dari tambaknya pernah dibawa ke Jakarta, Semarang, dan Malaysia. Tetapi itu bagai muncul gerhana yang tak tentu ada dalam setiap bulan.
ADVERTISEMENT
Pengakuan Raliyah, dia tak melakukan ekspor ke Negeri Jiran. “Tetapi ada yang pesan banyak, misalnya Rp 200 ribu, katanya untuk dibawa ke Malaysia," ujarnya.
Soal rencana pengusaha Malaysia untuk memberdayakan petani tiram dan membelinya, Raliyah mendukung penuh. "Oh, sangat senang kami, itu yang kami harapkan. Tiram kami dikirim ke luar negeri. Kami menyambut baik jika ada yang seperti itu, sehingga tidak susah-susah menjajakan lagi di bantaran sungai," tutur dia.
Suara bahagia juga dilontarkan Samsariyah. Malah ia menyarankan acehkini untuk mendata nama-nama dari 50 petani tiram di Gampong Baet.
"Kalau ada yang minta kirim ke Malaysia, kami siap di sini. Berapa kilogram pun diminta kami siap sediakan. Kalau harus dibuat kelompok, kami segera buat kelompok petani tiram," ujar Samsariyah dengan wajah tersenyum.
ADVERTISEMENT
"Ini kabar baru bagi kami. Dan kami sangat menyambut baik," katanya. []
Reporter: Habil Razali