Konten Media Partner

Kisah 21 September, Gubernur Aceh Memimpin Pemberontakan

21 September 2021 21:53 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Aceh tak hanya dikenal sebagai daerah modal bagi republik, tapi juga daerah perang usai merdeka bersama Indonesia. Dan pemberontakan pertama dipimpin oleh Gubernur Aceh sendiri, Tgk Muhammad Daud Beureueh.
Tgk Muhammad Daud Beureueh (tengah) bersedia menghentikan pemberontakan. Dok. istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Tgk Muhammad Daud Beureueh (tengah) bersedia menghentikan pemberontakan. Dok. istimewa
Usai Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Aceh menyatakan kesediaannya untuk bergabung dengan republik. Menyatakan mendukung sepenuhnya Presiden Soekarno sebagai pemimpin.
ADVERTISEMENT
Belanda sudah benar-benar pergi dari Aceh, tapi belum sepenuhnya angkat kaki dari republik. Perang masih terjadi dalam agresi militer Belanda pertama dan kedua. Rakyat Aceh bersama seluruh rakyat Indonesia terus menggelorakan semangat mempertahankan kedaulatan.
Sejak proklamasi, Aceh menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia sebagai sebuah keresidenan dari Provinsi Sumatera Utara. Bersamaan dengan pembentukan keresidenan Aceh, berdasarkan Surat Ketetapan Gubernur Sumatera Utara Nomor 1/X tanggal 3 Oktober 1945 diangkat Teuku Nyak Arief sebagai Residen.
Menghadapi agresi militer Belanda pada 1947, Keresidenan Aceh, Langkat dan Tanah Karo ditetapkan menjadi Daerah militer yang berkedudukan di Kutaraja (Banda Aceh-sekarang) dengan Gubernur Militer Teungku (Tgk) Muhammad Daud Beureueh. Aceh menjadi daerah modal dalam perjuangan melawan Belanda yang menginginkan kembali Indonesia. Bahkan, rakyatnya ikut menyumbang emas dan uang untuk membeli pesawat yang menjadi cikal bakal Garuda Indonesia.
ADVERTISEMENT
HM Kaoy Syah dalam bukunya 'Keistimewaan Aceh dalam Lintasan Sejarah', menuliskan, ketika Sjarifuddin Prawiranegara menjadi wakil Perdana Menteri, wilayah Aceh pisah dari Provinsi Sumatera Utara dan selanjutnya ditingkatkan statusnya menjadi Provinsi Aceh. Tgk Muhammad Daud Beureueh yang sebelumnya sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo diangkat menjadi Gubernur Aceh. Ini tercatat dalam Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 8/Des/WKPM/1949 tentang Pembentukan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Status Aceh sebagai provinsi tak bertahan lama setelah Republik Indonesia Serikat dihapus dan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 5 Tahun 1950, Provinsi Aceh kembali menjadi Keresidenan sebagaimana halnya pada awal kemerdekaan. Gelojak muncul.
ADVERTISEMENT
Pada 23 Januari 1951, berbagai kebijakan diambil pemerintah pusat seiring dengan turunnya status Aceh. Di bawah Kabinet Mohammad Natsir, Divisi X TNI di Aceh ikut dibubarkan. Pergolakan politik terus terjadi di Aceh, rakyat terus menuntut Tgk Daud Beureueh untuk berjuang mengembalikan kewibawaan Aceh.
Menghadapi gejolak, Natsir berkunjung ke Aceh sekitar Februari 1951 bertemu langsung dengan Tgk Daud Beureueh. Mereka berbicara dari hati ke hati. Tgk Daud teguh pada pendiriannya menuntut status Aceh dikembalikan sebagai provinsi, tetapi Natsir bersikeras pada kewajibannya menjalankan konstitusi.
Kepada Tgk Daud Beureueh, Perdana Menteri Mohammad Natsir menyatakan: jika Aceh tetap pada tuntutannya, hanya terbuka dua alternatif, yaitu: jika ia memilih menegakkan wibawa pemerintah maka akan menundukkan Aceh dengan kekerasan senjata.
ADVERTISEMENT
Tetapi Natsir mengaku tak mungkin melaksanakan itu, maka dia berjanji pada alternatif kedua: memperjuangkan perubahan status administrasi daerah Aceh sebagaimana yang dikendaki rakyat Aceh secara konstitusional. Sejarah berkata lain, kabinet Natsir jatuh pada 27 April 1951.
Makam Tgk Daud Beureueh di samping masjid, Beureunun, Pidie. Foto: Adi Warsidi
Setelah itu, gundukan kekecewaan rakyat Aceh semakin memuncak terhadap pemerintah Soekarno. Tgk Daud Bereueh, masih sempat menghadap Soekarno, tapi patah arang.

Pemberontakan DI TII Aceh

Tepat 21 September 1953, Tgk Daud Beureueh memukul gong pemberontakan, setelah kongres ulama di Titeue, satu kecamatan di Pidie. Di sana, Gubernur Aceh dengan tekad bulat menyatakan Aceh menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia, mengikuti jejak Kartosoewirjo di Jawa Barat. Dikenal dengan nama Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Perlawanan bersenjata dimulai. Bersama Beureueh, sejumlah pasukan TNI dan polisi yang kecewa terhadap republik bergabung menjadi Tentara Islam Indonesia (TII). Sehari setelah proklamasi itu, mereka menguasai sebagian besar daerah Pidie. Pertempuran demi pertempuran terjadi.
ADVERTISEMENT
Kesepakatan gencatan senjata sempat terjadi pada 8 April 1957 setelah perjanjian yang dikenal sebagai Ikrar Lamteh. Isinya, meletakkan senjata, dan kesepakatan lain antara pemerintah lokal dan DI/TII untuk mengutamakan kepentingan rakyat, dan daerah Aceh di atas kepentingan kelompok. Gencatan senjata ini sempat berjalan sampai 1959.
Saat gencatan senjata, muncul perbedaan pandangan di kubu DI/TII. Satu kubu dinamakan Dewan Revolusi di bawah pimpinan Ayah Gani dan Hasan Saleh, adalah kelompok moderat yang dapat menerima konsesi yang disetujui pusat, yaitu mengembalikan status Provinsi Aceh dengan otonomi luas dan istimewa.
Di pihak lain adalah kubu Tgk Daud Beureueh dan Hasan Ali. Mereka berpendapat bahwa provinsi dan otonomi luas saja belum cukup. Mereka menghendaki pelaksanaan unsur syariat Islam sesuai janji dan komitmen Presiden Soekarno saat datang ke Aceh pada 1948.
ADVERTISEMENT
Di masa gencatan senjata, Wakil Perdana Menteri Indonesia, Mr Hardi memimpin misi pemerintah ke Aceh pada Mei 1959. Dia bertemu dengan kubu Dewan Revolusi, membicarakan perundingan. Akhirnya pada 26 Mei 1959, dikeluarkan Keputusan Perdana Menteri RI Nomor 1/Missi/1959 tentang status Daerah Istimewa Aceh.
Status itu tidak membuat Tgk Daud Bereueh berhenti memberontak. Beliau masih ragu, hingga meminta Hasan Ali membatalkan gencatan senjata dan memulai lagi serangan gerilya besar-besaran.
Pada akhir 1961, Di ujung masa pemberontakannya, Tgk Daud Beureueh bergabung dengan Republik Persatuan Indonesia, bersama PRRI dan Permesta. Bersama itu pula, nama Negara Bagian Aceh/NII diubah menjadi Republik Islam Aceh (RIA).
Saat Sjamaun Gaharu digantikan Kolonel Mohammad Jasin menjadi Komandan Daerah Militer (Kodam) Aceh, Jasin berhasil mendekati Tgk Daud Beureueh dengan rasa hormat, dan terus-menerus menyerukan agar pemimpin pemberontak itu mau turun gunung. Sejak 1961, surat menyurat keduanya terus berlangsung. Bahkan Jasin berani bertemu langsung dengan Tgk Daud Beureueh, untuk berdialog empat mata.
ADVERTISEMENT
9 Mei 1962, Dengan berbagai bujukan dan jalan Kolonel panjang Jasin, akhirnya Tgk Daud Beureueh luluh. Beliau bersedia turun gunung, beserta pasukan setianya yang dipimpin oleh Teungku Ilyas Leube. Daerah Aceh telah kembali seperti semula, bahkan berstatus istimewa dalam bidang agama, pendididikan dan adat. []