Konten Media Partner

Kisah Abdul Hadi bersama GAM: Bergabung karena Dipukul Aparat (1)

27 Agustus 2019 12:23 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Abdul Hadi bersama pasukannya, sebagian telah meninggal saat konflik Aceh. Dok. Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Abdul Hadi bersama pasukannya, sebagian telah meninggal saat konflik Aceh. Dok. Pribadi.
Perkenalkan, namanya Abdul Hadi. Dulu, di kalangan angkatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), ia dipanggil Dek Cut--sapaan untuk perempuan di Aceh. Kenapa ia dipanggil begitu? Sebab, rambut panjang pria itu mencapai bahu.
ADVERTISEMENT
Karena rambutnya pula, di pasukan lain, ia dikenal Adi Gondrong. "Kalau di radio saya enggak mau mengaku Dek Cut, hahaha," kata pria yang kini berusia 38 tahun itu kepada acehkini, Selasa (27/8).
Sebelum tahun 2005, Abdul Hadi sehari-hari memanggul senjata di rimba Aceh. Ia menentang Pemerintah Indonesia demi memperjuangkan kemerdekaan Aceh. Namun, setelah Damai Aceh pada 15 Agustus 2005, Abdul Hadi saban hari menenteng kamera dan menikmati keindahan tanah Aceh melalui bidikan lensa.
Semasa bergerilya, Abdul Hadi bukan sekadar pasukan biasa. Pemuda berpostur ramping itu menjadi salah satu anggota pasukan lapis pertama yang mengawal Panglima GAM, Muzakkir Manaf alias Mualem. Ke mana pun Mualem bergerak di hutan, Abdul Hadi merupakan salah satu sosok yang membentenginya dari serbuan musuh.
ADVERTISEMENT
Masuk GAM bukanlah cita-cita Abdul Hadi. Pun, bukan pula bersebab dendam. Apalagi tak seorang pun keluarga dekatnya yang berada di kalangan GAM. Semua itu berawal dari penangkapannya oleh aparat saat Aceh berstatus Daerah Operasi Militer (DOM). Selama ditahan, Abdul Hadi mengalami siksaan hingga mengalami luka.
Abdul Hadi dilahirkan di Desa Meunasah Mee, Kemukiman Kandang, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe, Aceh, pada 28 Maret 1979. Usai menamatkan SMA Muhammadiyah di Kota Lhokseumawe tahun 1998, ia tak melanjutkan kuliah dan tak pula bekerja.
Hingga pada suatu hari, ia bermain ke sebuah rumah di Desa Meunasah Baro, Kemukiman Kandang. Di rumah tersebut, ia bertemu dengan pemuda lain yang sibuk mencetak bendera Bintang Bulan. Bendera berlatar merah dengan dua garis putih dan satu garis hitam di kedua sisinya, serta bintang bulan di bagian tengah itu merupakan milik GAM.
ADVERTISEMENT
"Karena sering konflik di kampung dan aparat biasanya mencari laki-laki, maka saya hampir setiap hari tinggal di rumah tempat mencetak bendera tersebut, yang juga dijadikan markas," tutur Abdul Hadi.
Belakangan, eskalasi konflik semakin memanas. Warga di sejumlah desa di Kemukiman Kandang disuruh mengungsi ke sebuah masjid di Gampong Meunasah Manyang. Beberapa hari setelah pengungsian warga besar-besaran itu, ada seruan dari GAM untuk mogok jalan massal. Istilah mogok jalan adalah seruan kepada masyarakat agar tidak melakukan aktivitas di luar rumah.
Abdul Hadi dengan senjata saat konflik Aceh. Dok. Pribadi.
Mogok melahirkan sebuah insiden, hilangnya seorang polisi yang bertugas di kawasan itu. Esoknya, aparat yang mengetahui seorang anggotanya hilang mengepung seluruh desa di Kemukiman Kandang, terutama masjid yang jadi tempat pengungsian warga di Gampong Meunasah Manyang.
ADVERTISEMENT
Dari pengepungan itu, polisi menangkap 86 orang laki-laki tua dan muda yang berada di pengungsian atau di sekitar masjid. Salah seorang yang ditangkap pada hari itu adalah Abdul Hadi, seorang pemuda yang baru saja menamatkan SMA.
"Dua hari setelah ditangkap, datang keuchik (kepala desa) beberapa desa yang warganya ditangkap, untuk membuat perjanjian agar semua warga yang ditahan adalah sipil dan segera dilepaskan," ujar dia.
Dua hari ditahan, Abdul Hadi sering mengalami penyiksaan hingga mengalami luka. Setelah dilepaskan, Abdul Hadi kembali ke pengungsian di masjid. Di sana, luka di tubuh Hadi diobati oleh warga dengan obat tradisional.
Beberapa hari kemudian, ia mulai merasa tak nyaman berada di pengungsian, sehingga ia kembali ke rumah yang dijadikan markas tempat mencetak bendera. Namun, setiba di markas, ia mendapat arahan dari pasukan GAM agar ‘pindah’ ke markas sebenarnya di hutan. Arahan tersebut, menurut Hadi, merupakan sebuah pinangan untuk bergabung dengan GAM.
ADVERTISEMENT
Abdul Hadi tak pikir panjang. Ia bersedia untuk dipindahkan. Mengingat selama berada di kampung, pemuda sepertinya selalu dalam kondisi tak aman. Jika aparat melakukan operasi razia memburu GAM ke kampung-kampung, pemuda seperti Hadi pasti dicurigai anggota GAM. Andai tak ditangkap, minimal kena tendangan sepatu lars.
"Yang dipilih untuk pindah ke hutan berdasarkan kelayakan. Kelayakan ini dinilai berdasarkan kesetiaan kepada Nanggroe dan status kenyamanan di gampong karena diburu aparat. Bukan karena hebat. Untuk apa hebat kalau tidak setia," ujar dia.
Proses pemindahan pun rupanya berlangsung tak sebentar. Abdul Hadi harus pindah-pindah markas di perkampungan sekitar sebulan, hingga menginjakkan kaki pertama kalinya di Markas Leupon Siren, kawasan pegunungan Gampong Leupon Siren, di Kecamatan Tanah Luas, Aceh Utara.
ADVERTISEMENT
"Leupon Siren adalah Markas Komando Wilayah Pasee. Semua anggota GAM yang baru bergabung di Wilayah Pasee (Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe) yang ingin bergerilya masuk lewat markas ini," kata Hadi.
Di Markas Leupon Siren, semua calon pasukan GAM diberi latihan peraturan baris-berbaris dan dasar-dasar militer. Jika dinilai sudah mumpuni untuk bergerilya, barulah pasukan GAM dipindahkan ke markas-markas kecil yang tersebar di tengah rimba.
Abdul Hadi mengikuti masa pelatihan dasar tersebut selama dua bulan. Latihannya tak kunjung usai karena ia sering diberikan tugas mencetak bendera. Bulan ketiga di hutan, ia mulai berpindah-pindah markas. [bersambung]
Reporter: Habil Razali