Kisah Aceh Mengimpor Senjata Pembunuh Jenderal Kohler (20)

Konten Media Partner
5 Januari 2022 10:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Dalam sejarah perang kolonial Belanda di Aceh, meriam dan senapan telah menjadi senjata modern para pejuang selain senjata tradisional seperti rencong dan pedang. Kesultanan Aceh memperoleh senapan setelah mengimpornya dari Pulau Pinang, Malaysia yang saat itu berada di bawah kekuasaan Inggris.
Senapan impor milik pejuang Aceh, koleksi Museum Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Menghadapi perang melawan Belanda, Kesultanan Aceh telah bersiap jauh hari sebelumnya, bahkan ikut mengimpor senjata api, seperti senapan atau seunampang, pistol dan sejenis bedil yang disebut keumurai dengan moncong yang besar.
ADVERTISEMENT
Belanda telah menduduki sebagian besar nusantara lebih dua abad, diyakini menjadi ancaman bagi kedaulatan Aceh. Pada masa Sultan Alaidin Mansur Syah (1857-1870), penjajah mulai berusaha mencaplok Siak (Riau) yang berada dalam kekuasaan Aceh. Sultan Siak dibujuk untuk mengakui Belanda dan melepaskan diri dari Kesultanan Aceh.
Muchtaruddin Ibrahim dalam Riwayat Hidup dan Perjuangan Tuanku Hasyim Banta Muda (1977) menjelaskan, untuk menghadapi serangan Belanda, Sultan Aceh Alaidin Mansur Syah meminta Tuanku Hasyim Banta Muda memperkuat benteng pertahanan di Pulai Kampai, bagian timur Aceh (kini wilayah Sumatera Utara). Tuanku Hasyim Banta Muda mengimpor 15.000 pucuk senapan dan mesiu dari luar negeri, senjata-senjata itu didatangkan ke Aceh melalui Pulau Pinang (Malaysia).
Pengadaan senjata secara besar-besaran oleh Kerajaan Aceh itu juga ditulis EB Kielstra dalam Eschrijving Van Den Atjeh Oorlog (1883): Dalam menghadapi kemungkinan agresi Belanda, Aceh mengimpor 5.000 peti mesiu dan 1.349 peti senapan dari Pulau Pinang sejak Agustus 1872 hingga Maret 1873.
ADVERTISEMENT
Ali Hasjmy dalam buku Hikayat Prang Sabi Menjiwai Perang Aceh Lawan Belanda (1971) menuliskan, Kesultanan Aceh juga membentuk kabinet perang, Sultan menunjuk Tuanku Hasyim Banta Muda sebagai Wazirul Harb (Menteri Peperangan) merangkap Panglima Besar Angkatan Perang dengan pangkat Jenderal Tentara Aceh.
Kemudian Tuanku Mahmud Banta Kecil diangkat sebagai Wazirul Mizan Wazirul Dakhiliyah-Wazirul Kharijiah (Menteri Kehakiman merangkap Menteri Dalam dan Luar negeri) merangkap Wakil Kepala Pemerintahan. Sementara satu lagi Said Abdullah Teungku Di Meulek diangkat sebagai Wazir Rama Setia (Sekretaris Negara) merangkap Wakil Panglima Besar Angkatan Perang dengan pangkat Letnan Jenderal Tentara Aceh.
Kabinet perang ini dilantik oleh Sultan pada Minggu 1 Muharram 1290 Hijriah (1873 Masehi). Mereka dilantik dan disumpahkan di dalam Masjid Istana Baiturrahim. Upacara pengambilan sumpah dipimpin oleh Kadhi Mu’adhdham Syeh Marhaban bin Haji Lambhuk.
Senapan impor milik pejuang Aceh koleksi Museum Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Untuk membantu biaya perang, para petinggi kerajaan Aceh menyumbangkan hartanya. Saat itu, Wazir Rama Setia/Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Aceh, Letnan Jendral Said Abdullah Teungku Di Meulek menyumbang 16 kilogram emas dan 4.700 riyal untuk biaya perang.
ADVERTISEMENT
Sumbangan itu diberikan pada bulan Rabiul Awal 1290 Hijriah (1873 Masehi) itu kemudian dicatat dalam Sarakata Risalah Sedekah bertulis tangan huruf Arab, yang kemudian menjadi dokumen kerajaan.

Nasib Tragis Jenderal Kohler

Senjata-senjata impor itulah yang digunakan para pejuang Aceh dalam banyak peperangan melawan Belanda, yang mengumumkan perang dengan Kesultanan Aceh pada 26 Maret 1873.
Paul van ‘t Veer dalam De Atjeh-Oorlog (1969) menggambarkan, sebulan setelah maklumat perang, Senin, 6 April 1973, Belanda mendaratkan pasukannya di Pante Ceureumen, Ulee Lheue di bawah pimpinan Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf (JHR) Kohler. Ini adalah agresi militer pertama Belanda ke Aceh, mengerahkan enam kapal perang dengan kekuatan 168 orang perwira yang terdiri dari 140 orang Eropa, serta 28 orang Bumiputera, 3.198 pasukan yang 1.098 di antaranya orang-orang Eropa. Sisanya 2.100 orang tentara dari Bumi Putera, yakni tentara bayaran Belanda dari Jawa.
ADVERTISEMENT
Pasukan itu juga diperkuat dengan 31 ekor kuda perwira, 149 kuda pasukan, 1.000 orang pekerja dengan 50 orang mandor, 220 wanita Jawa yang masing-masing ditempatkan 8 orang untuk satu kompi tentara Belanda, serta 300 pria dari Jawa untuk pelayan para perwira. Dalam penyerangan perdana Belanda ke Aceh itu, Kohler dibantu oleh Kolonel E.C van Daalen, Wakil Panglima merangkap Komandan Infanteri.
Ragam senjata pejuang Aceh dalam perang melawan Belanda. Dok. KITLV
Begitu mendarat, pasukan Belanda langsung digempur oleh pasukan Aceh yang dipimpin Tuanku Hasyim Banta Muda. Perang sengit pun terjadi. Setelah bertempur dengan susah payah, pada 10 April 1873, Belanda dapat merebut Masjid Raya. Akan tetapi karena tekanan-tekanan dari pejuang Aceh yang dipimpin Tuanku Hasyim Banta Muda bersama Tgk Imuem Lueng Bata, Belanda pun harus meninggalkan Masjid Raya Baiturrahman, mundur ke barak di Ulee Lheu.
ADVERTISEMENT
Pada pukul 04.00 Waktu Aceh, 14 April 1873, pihak Belanda berusaha merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman dan berhasil menduduki sekitar pukul 07.00, saat tentara Aceh mundur. Dalam suasana mengundurkan diri, pejuang Aceh mencari tempat persembunyian untuk mencari kesempatan menyerang secara tiba-tiba terhadap pasukan Belanda.
Pemimpin ekspedisi militer Belanda, JRH Kohler setelah mendapat laporan tentang pendudukan masjid, berangkat dari markasnya di bivak sawah (persawahan antara Lampaseh dan Punge) menuju ke masjid untuk melakukan inspeksi pasukan. Pukul 09.00, dia memasuki areal masjid.
Hal itu diketahui oleh pejuang Aceh, mereka memperhatikan dengan cermat. Salah seorang sniper menembak Kohler, mengenai bagian kiri atas tubuh jenderal itu tembus ke belakang, Mayor Jenderal JRH Kohler mati. Belanda selanjutnya mundur dan gagal dalam agresi pertama.
ADVERTISEMENT
Senapan-senapan yang dipakai dalam pertempuran itu adalah impor dari Pulau Pinang, yang telah disiapkan jauh-jauh hari untuk menghadapi perang. Salah satunya berhasil membunuh Jenderal Kohler, yang kemudian berpusara di Kerkhof Peucut (Petjut), Kompleks Perkuburan Militer Belanda di Aceh.
Makam Mayor Jenderal JHR Kohler. Foto: Suparta/acehkini
Awalnya, jasad Kohler usai tertempak sempat dibawa ke Singapura, lalu ke Batavia (Jakarta) untuk dimakamkan di Tanah Abang. Saat lokasi perkuburan digusur untuk pembangunan tahun 1976, kerangka Kohler sempat terkatung-katung di kedutaan besar Belanda selama 2 tahun. Selanjutnya Pemerintah Aceh di bawah Gubernur Muzakir Walad mengusulkan untuk penguburan kembali kerangka Kohler di Aceh. Maka pada 19 Mei 1978, dimakamkan di Kerkhof Peucut disaksikan oleh salah satu mantan pasukan marsose Belanda dan pihak kedutaan. []
ADVERTISEMENT