Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Kisah Aktivis Aceh yang Dipenjara dan 'Dibebaskan' Tsunami (1)
15 November 2019 11:38 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
ADVERTISEMENT
Jelang 15 tahun tsunami pada 26 Desember 2019 mendatang, M. Falevi Kirani tak bisa membebaskan ingatannya pada peristiwa yang hampir merenggut nyawanya. Dia merasakan langsung bencana itu, saat masih menjadi penghuni penjara Keudah, Banda Aceh.
ADVERTISEMENT
Falevi sedang membaca buku 'Hari-hari Terakhir Che Guevara' ketika gempa berkekuatan 9,1 SR mengguncang Aceh pada Minggu pagi, 26 Desember 2004.
Ia baru saja larut ketika membaca bagian sang revolusioner itu dieksekusi mati oleh regu tembak. Falevi tak bisa melupakan sebait kalimat yang meluncur dari mulut pengagum Simon Bolivar itu, “Tembaklah aku, kau hanya membunuh seorang laki-laki,” ucap Che, sesaat sebelum ditembak.
Buku itu masih dalam kondisi terbuka dan tak sempat diletakkan di tempat semula. Gempa dengan kekuatan super dahsyat pada pagi itu mengagetkan siapa pun, membuat orang lupa pada apa yang seharusnya dilakukan. Falevi dan para tahanan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Keudah, Kutaraja, Banda Aceh berhamburan keluar. Mereka memenuhi lapangan tengah penjara.
ADVERTISEMENT
Kekuatan gempa itu membuat Pasaraya Pante Pirak ambruk, satu lantai Hotel Kuala Tripa masuk ke dalam tanah, dan banyak bangunan lain di Banda Aceh roboh layaknya diratakan buldozer.
Berdiri di dekat tiang bendera, Falevi mengumandangkan azan dengan suara melengking. Irwandi Yusuf juga ada di sana. Sementara para tahanan lain yang mencari aman di tengah halaman, tak henti-hentinya melafalkan kalimat zikir. Mereka berdoa agar kiamat kecil dalam rupa gempa itu segera mereda.
Saat di tengah lapangan itu, BW (singkatan dari Bang Wandi-sapaan akrab Irwandi Yusuf) sempat bercerita kepada Falevi soal isi pembicaraan telepon dengan Cut Nur Asyikin, srikandi pejuang referendum Aceh. Di malam sebelum gempa, Cut Nur menelepon Irwandi dan menceritakan soal mimpinya tentang isyarat musibah. Tak hanya itu, BW juga bercerita tentang upaya perdamaian yang sedang dijajaki oleh Crisis Management Initiative (CMI) pimpinan Martti Ahtisaari.
ADVERTISEMENT
Cut Nur, demikian disapa oleh kolega dekatnya, dipenjara di LP Lhoknga. Ia dihukum penjara, karena dianggap menyebarkan kebencian dan melawan pemerintah yang sah. Gempa disusul tsunami, merenggut nyawanya. Hingga kini, tidak ada yang tahu di mana jasad wanita yang dikenal lantang menyuarakan referendum.
Tak lama kemudian, terdengar suara gemuruh dari arah timur. Semakin lama, suara itu terdengar semakin mendekat, berbaur dengan bunyi kendaraan dan suara jeritan orang-orang. Banyak yang mengira itu suara buldozer sedang membersihkan sisa-sisa gempa. Tapi, bukan. Tak mungkin buldozer bekerja secepat itu. Suara yang terdengar itu jauh lebih mengerikan dari bunyi apa pun yang pernah didengar para tahanan. Lutut mereka seketika melemah.
Dari ruas jalan samping penjara, orang-orang berlarian sambil berteriak "air, air, air". Dan, drum-bum. Tembok penjara setinggi lima meter di bagian timur pun rubuh. Air dengan warna hitam pekat menerobos masuk ke areal penjara. Para tahanan kocar-kacir menyelamatkan diri.
ADVERTISEMENT
Tubuh Falevi terhempas sejauh enam meter setelah dihantam air bah itu. Tubuhnya mengapung ke sana kemari, tidak karuan. Lalu dengan sisa tenaga yang ada, ia terus berenang sembari mencari sesuatu untuk berpegangan. Upaya itu kembali sia-sia. Tubuhnya semakin jauh mengapung.
Alumnus MAN Beureunuen itu hampir saja menyerah pasrah. Untung saja, ia melihat menara tangki air tak jauh dari tempatnya mengapung. Setelah mendekat, ia meraih salah satu tiang besi tower itu dan memegangnya dengan cukup erat. Sejurus kemudian ia menaiki tangga tower itu untuk mencapai puncak. Ia berhasil selamat setelah ditolong beberapa orang yang lebih dulu selamat di sana. Orang-orang yang berada di atas atap toko kemudian memasang kayu balok bekas agar orang dekat Irwandi ini ikut menyeberang ke atap.
ADVERTISEMENT
Setelah berhasil selamat di atap toko dekat penjara, dari jauh matanya melihat Irwandi Yusuf. Sosok yang akrab disapa Teungku Agam itu sedang menghisap rokok Dji Sam Soe di atap musala. Keduanya saling melambaikan tangan, dan bertukar senyuman.
Ia memandang kompleks penjara yang sudah berubah menjadi genangan air. Itulah hari terakhir ia melihat penjara. Masa hukuman 6 tahun baru beberapa bulan saja dijalaninya. Ia tidak kabur dari penjara, melainkan penjara yang kabur darinya. Falevi tak dapat mengingat secara pasti siapa saja teman satu penjara dengannya yang meninggal dunia. Dia hanya mengingat, penulis buku 'Referendum Aceh dalam Tinjauan Hukum Internasional', Sofyan Ibrahim Tiba, termasuk satu dari banyak orang yang menjadi korban dalam bencana itu.
ADVERTISEMENT
Falevi tak akan pernah lupa dengan penjara Keudah itu. Banyak kenangan manis dan pahit ia lalu di dalam penjara itu, termasuk kisah asmaranya yang kandas di tengah jalan, justru saat ia mendekam dalam penjara. "Fik, sejak uroe nyoe lon ka lajang lom, si nong nyan hana siap juet keu inong aktivis," tulis Falevi dalam sebuah pesan singkat untuk seorang temannya di Jakarta.
Falevi mengabadikan kisah cintanya yang pahit itu dalam sebait puisi. "Hari-hari di balik jeruji besi, cintaku kandas," tulisnya. Dia tidak ingat lagi kepada siapa puisi itu dititipkan. Mungkin saja tsunami sudah melumatnya, seperti nasib buku 'Hari-hari Terakhir Che Guevara' yang belum selesai dibacanya.
***
M Rizal Falevi lahir di Kiran Dayah, pada 24 November 1981. Ia anak ke-2 dari enam bersaudara. Tumbuh dan menghabiskan masa kecilnya di Kiran, sebuah kampung di Kecamatan Jangka Buya, Pidie Jaya.
ADVERTISEMENT
Falevi masuk pendidikan dasar di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Kiran pada tahun 1988 atau setahun menjelang operasi jaring merah diberlakukan di Aceh. Kala itu, seperti anak lain seusianya, Falevi tidak tahu menahu urusan politik atau tentang Aceh Merdeka. Dia berangkat ke sekolah seperti biasa, seperti tak ada kejadian apa-apa.
Suatu hari, Falevi menyaksikan beberapa helikopter terbang di atas langit Kiran menuju Samalanga. Helikopter itu membawa benda berbentuk kotak seukuran 2x2 meter yang bergelantungan di udara. Di lain kesempatan, dia menyaksikan pesawat terbang menjatuhkan selebaran berisi ajakan melawan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Di kemudian hari, Falevi baru mengerti bahwa kotak yang dibawa itu berisi amunisi untuk Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang kini dikenal dengan TNI.
ADVERTISEMENT
Di tengah situasi keamanan Aceh yang tidak menentu, Falevi berhasil menyelesaikan pendidikan dasarnya pada tahun 1994. Dia dimasukkan ke MTsN Tangse, di mana orang tuanya menjadi guru di sana. Setidaknya, hal itu akan menjamin Falevi mendapat pendidikan dan pengawalan dari orang tuanya. Lagi pula, kondisi keamanan Aceh yang tidak kondusif membuat sang bocah itu lebih aman jika bersama keluarganya.
Falevi menamatkan MTsN setahun sebelum gerakan reformasi bergelora di seluruh Indonesia. Seperti anak seusianya, ia turut menjadi saksi bagaimana seorang jenderal yang berkuasa selama 32 tahun akhirnya tumbang oleh gerakan mahasiswa. Ketika itu, ia baru bersiap-siap mengikuti ujian kenaikan kelas. Setelah tamat dari MTsN di kota dingin Tangse itu, orang tua Falevi kemudian memasukkannya ke MAN Beureunuen. Kota perdagangan itu relatif lebih aman untuk anak seusianya dibanding di Tangse.
ADVERTISEMENT
Status DOM yang sudah berlangsung selama sepuluh tahun baru dicabut setelah Soeharto tumbang oleh gerakan reformasi 1998. Panglima ABRI ketika itu, Jenderal Wiranto, mewakili pemerintah mengumumkan pencabutan DOM saat berada di Lhokseumawe, sekaligus memerintahkan penarikan tentara non organik dari Aceh. Sementara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mulai menggeliat kembali di bumi Aceh, tidak hanya di tiga daerah bekas DOM, melainkan sudah merata di seluruh Aceh.
Sambil menyelesaikan pendidikan di MAN Beureunuen, Falevi ikut memperdalam ilmu agama di Dayah Tgk Sjiek Di Peulumat Jojo, kecamatan Mutiara, Pidie sekaligus sebagai tempat tinggal. Dia memang tumbuh besar di dalam lingkungan yang kental dengan nuansa agama. Sejak kecil, ia sudah menuntut ilmu agama. Selama 6 tahun dia belajar ilmu agama di Dayah Babul Ilmi Kiran Dayah, Kec Jangka Buya, Pidie Jaya, antara tahun 1988- 1994.
ADVERTISEMENT
Di Beureuneun pula, dia mulai berkenalan dengan semangat dan ideologi Aceh Merdeka. Saat itu, kota perdagangan di Kabupaten Pidie ini menjadi salah satu sentral perlawanan terhadap Jakarta. Bendera Aceh Merdeka merdeka beberapa kali sempat dikibarkan di atap pertokoan. Bahkan, ketika euphoria referendum sedang menggema di seluruh Aceh, warga di kota Beureunuen ini merelakan toko mereka dilukis grafiti referendum. Tidak hanya itu, di setiap blok pertokoan dipasang spanduk tuntutan referendum. Simbol perlawanan sipil tersebut menjadi pemandangan sehari-hari warga yang pergi ke Beureunuen.
Falevi yang masih duduk di bangku kelas 3 MAN menyaksikan fenomena tersebut dengan perasaan gundah. Ia memendam hasrat agar suatu hari kelak juga ikut menjadi bagian dari gerakan referendum. Ini pula yang menuntunnya aktif di Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) ketika kuliah IAIN Ar Raniry. Dia yang masih semester awal menjadi motor yang menggerakkan mahasiswa seleting dengannya untuk melawan pemerintah.
ADVERTISEMENT
[bersambung]
Taufik Mubarak
Note: Bagian tulisan dari buku ‘Perjalanan Hidup Seorang Aktivis Aceh’, terbitan Bandar Publishing, 2019.