Kisah Anak Tsunami Aceh Meraih Pendidikan, Usai Bencana Merampasnya

Konten Media Partner
3 Januari 2020 8:50 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Sejumlah siswa di Kampung Mulia, Banda Aceh belajar di tenda setelah sekolah mereka dihancurkan tsunami. Foto diambil 2 Januari 2006. Foto: Adi Warsidi
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah siswa di Kampung Mulia, Banda Aceh belajar di tenda setelah sekolah mereka dihancurkan tsunami. Foto diambil 2 Januari 2006. Foto: Adi Warsidi
Bencana tsunami jelang tahun baru 2005 sempat memupuskan harapan anak Aceh terhadap pendidikan. Kesedihan karena kehilangan orang-orang tercinta, ditambah hancurnya sekolah, membuat anak tak punya bayangan tentang masa depan mereka.
ADVERTISEMENT
Tuhan berkehendak lain. Awal tahun 2005 menciptakan harapan baru bagi anak-anak di pesisir Aceh. Seperti hanya puluhan anak di Desa Lampaya dan Wue Paya, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar yang terdampak tsunami cukup berat, mendapatkan pendidikan lebih baik setelahnya.
Sebuah sekolah Islam terpadu yang berpusat di Jakarta dengan metode pendidikan karakter dan fun learning, tergugah mendirikan cabang di Aceh. Tepat pada 26 Januari 2005, pada semester ke dua tahun ajaran 2004/2005, anak-anak yang berada di kecamatan tersebut kembali bersekolah.
Hampir 15 tahun berlalu, sejak Yayasan Fajar Hidayah mendirikan Sekolah Islam Terpadu Fajar Hidayah Aceh. Sekolah yang khusus dibangun bagi anak korban tsunami, kini masih berdiri kokoh mendidik generasi Aceh dengan konsep pendidikan yang terus berinovasi. Dari Fajar Hidayah Aceh, puluhan anak korban tsunami berhasil menyelesaikan pendidikan hingga ke perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Harapan Dian Nyaris Pupus
Dian Sitnaini, sedang berada di rumahnya, di Desa Lampaya, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, pagi Minggu 26 Desember 2004. Dian siswa kelas tiga Madrasah Tsanawiyah I Lhoknga. Dia tengah mempersiapkan diri, ujian sekolah semester pertama yang akan berlangsung keesokan harinya, Senin 27 Desember. Ujian sekolah itu, ternyata tak pernah terjadi. Sekolah dan desanya porak-poranda dihantam gelombang tsunami.
Dian Sitnaini (kanan) anak tsunami Aceh saat menamatkan sekolah, bersama Ketua Yayasan Fajar Hidayah, Draga Rangkuti. Dok. Pribadi
Dalam pikiran remaja usia 14 tahun, persiapan ujian nasional untuk siswa kelas III yang sudah digalakkan gurunya di sekolah, sejak awal semester, menjadi momok menakutkan. Namun, ketakutan itu sirna saat menyaksikan bangunan sekolah dan ratusan rumah di desanya tinggal puing-puing pondasi. Kegamangan menghadapi ujian berganti menjadi duka. Semangat dan mimpi Dian, melanjutkan sekolah ke SMA favorit tahun berikutnya, tersapu bersama dinding-dinding sekolah yang hancur.
ADVERTISEMENT
Secara geografis, hampir seluruh desa, di Kecamatan Lhoknga berada dekat laut. Daerah tersebut, merupakan salah satu titik terparah yang terdampak Tsunami Aceh. Ribuan warga dari 29 desa di Kecamatan Lhoknga menjadi korban pada musibah itu. Termasuk ayah kedua Dian, yaitu pamannya. Ayah kandung Dian meninggal saat Darurat Militer di Aceh 2003. Paman yang merupakan adik ibunya, menjadi pengganti ayah bagi Dian dan kedua saudara kandungnya.
Pada malam sebelum tsunami datang, paman Dian ikut memanen udang bersama beberapa warga desa. Pagi Minggu, mereka berniat menjual hasil panen ke Pasar Peunayong. Di perjalanan, gempa dan gelombang menyapu bersih wilayah Lhoknga dan sekitarnya. Kata Dian, jenazah paman dan warga desa yang pergi berbarengan dengan pamannya, masuk dalam daftar korban tsunami yang hilang.
ADVERTISEMENT
Setelah itu, Dian dan keluarganya tinggal di camp pengungsi 85, bersama warga dari mukim tempat Dian berdomisili. Di sanalah, ia bertemu Tim Yayasan Fajar Hidayah yang melakukan survei terhadap anak yatim piatu, yatim, dan piatu, korban tsunami. Tujuannya, mendata anak-anak yang ingin melanjutkan sekolah dan tinggal di asrama dengan beasiswa penuh dari yayasan.
Berbeda dengan sekolah informal yang saat itu turun membantu trauma healing anak-anak Aceh, Fajar Hidayah hadir menawarkan sekolah formal dengan program sekolah berkarakter. Mulanya ia tak berniat melanjutkan sekolah. Namun ibunya membujuk Dian untuk mempertimbangkan persiapannya menghadapi ujian nasional yang tinggal beberapa bulan lagi.
“Pas ketemu Sekolah Fajar Hidayah, sekolah yang tidak terlalu fokus nilai. Tak ada tuntutan kayak sekolah biasa. Coba beberapa minggu, saya cocok dan betah. Sampai akhir mau menikah pun, Fajar Hidayah masih tetap menjadi keluarga buat saya,” terang alumnus International Islamic University Malaysia.
Sekolah Fajar Hidayah Aceh, hadir membantu anak korban tsunami. Foto: Desi Badrina/acehkini
Hanya enam bulan Dian dan beberapa anak Aceh seusianya bersekolah di Aceh. Karena Fajar Hidayah Aceh belum memiliki jenjang SMA, mereka dikirim ke Sekolah Fajar Hidayah di Jakarta. Hingga mereka selesai dan mendapatkan beasiswa ke perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Dian masih ingat, bagaimana ketua Yayasan Fajar Hidayah, Draga Rangkuti, menyemangatinya untuk melanjutkan sekolah ke Malaysia. Tantangan Dian cukup berat waktu itu. Dia tidak lancar Berbahasa Inggris.
“Jangankan Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia saja belepotan. Tapi kata Bu Draga, coba dulu. Satu semester oke, dua semester saya hampir mati. Saya pikir kasihan uangnya kalau nilai saya tidak bagus. Tapi ibu terus dorong saya dan bilang Dian kuliah saja, jangan pikir macam macam,” kisah ibu satu anak ini kepada acehkini, sambil tertawa.
Kata Dian, pihak sekolah tidak hanya mengajarkan kepercayaan, tapi juga kemampuan menyelesaikan masalah. Seperti melobi pihak universitas tempat ia kuliah dulu. Ia diajarkan melobi kampus, untuk memberikan izin mengikuti perkuliahan, dengan biaya semester yang dicicil.
ADVERTISEMENT
“Tahun pertama kami dapat uang penuh. Uang makan oke. Biaya transportasi oke. Masuk tahun ke dua, ibu mulai merancang sesuatu. Uang kuliah masih oke, uang makan mulai dipotong, uang jajan dipotong. Terus dikurangi tiap tahunnya, sampailah kami mengutang di kampus,” cerita Dian.
Namun, Dian tidak pernah menyesal dengan didikan yayasan. Ia merasa, mereka benar-benar dipersiapkan untuk bisa bertahan hidup di masyarakat. Kesulitan yang terkesan 'dirancang' untuk Dian dan teman-teman seangkatannya, dimaksudkan agar mereka memiliki skill melobi.
Menurut Dian, mereka melakukan pencapaian yang bagus selama masa kuliah. Mereka berhasil menjalani kuliah dalam kondisi berutang tanpa harus melewatkan satu semester pun. Dan slogan jangan pernah minta-minta selalu menjadi bekal kemana pun mereka pergi.
Dian bersama anak dan suaminya. Dok. Pribadi
Alhasil berkat didikan Sekolah Fajar Hidayah, Dian berhasil lulus dalam 4 tahun 2 bulan. Saat ditanya, apakah dia pernah membayangkan dapat menyelesaikan sekolahnya sampai tingkat itu, ia bergidik dan mengatakan tak pernah berpikir bisa sampai pada tahap ini.
ADVERTISEMENT
“Fajar Hidayah itu sesuatu banget. Guru di sekolah dan di asrama layaknya orang tua untuk kami. Trauma hilang, malah kami dipersiapkan untuk dapat bertahan. Tsunami itu dahsyat sekali untuk anak seumuran saya. Tak terpikir Aceh setelah tsunami akan lebih maju seperti sekarang. Wah, jadi rindu ke sekolah,” tutup Dian perempuan 30 tahun itu.
Fajar Hidayah Aceh yang Terus Berinovasi
Syafrudin dan empat siswa lainnya sedang melakukan aktivitas rutin di lantai tiga asrama guru. Tugas mereka yaitu memeriksa ketersediaan air di laboratorium tanaman hydroponic milik sekolah.
Syafruddin adalah siswa SMA kelas XII IPA, Islamic Boarding School Fajar Hidayah Aceh. Ia siswa asal Aceh Tengah yang mendapatkan beasiswa bersekolah di sana. Sebuah sekolah yang menjadikannya dapat mengembangkan bakat bertani. Tidak tanggung-tanggung, sekolah menyediakan laboratorium hydroponic sebagai sarana pembelajaran.
Anggota Kelompok Hydroponic memanen kangkung di Fajar Hidayah. Foto: Desi Badrina/acehkini
Sebelum beranjak ke pertanian hydroponic, sekolah Fajar Hidayah menyediakan sebidang tanah untuk praktik berkebun. Lewat bantuan seorang relawan dari Singapura, yang telah bekerjasama sejak tsunami 2004, ia menghibahkan biaya pembuatan seperangkat alat pertanian hydroponic di sekolah.
ADVERTISEMENT
Laboratorium itu ternyata menarik minat banyak sekolah yang ada di Provinsi Aceh. Beberapa sekolah yang tertarik, menghubungi pihak Sekolah Fajar Hidayah untuk bersedia memberikan workshop hydroponic secara langsung di laboratorium mereka.
Hasilnya, Sekolah Fajar Harapan, SMP 2 Pekan Bada, Ketua Yayasan STIKIP An-Nur, dan beberapa sekolah lainnya, telah mengorder masing-masing satu unit miniset berisi 150 net pot, karya Syafrudin dan teman-temanya. Hasil penjualan itu mereka gunakan untuk perawatan dan pengembangan karya.
Hydroponic ini mengajarkan matematika, kemudian fisika, lalu kimia. Anak-anak juga belajar pendidikan Agama Islam sekaligus ekonomi. Secara tidak langsung, ini menjadi tempat laboratorium agama, sains, dan ekonomi,” kata Muhammad Haikal Ilyas. Dia Kepala Divisi Fajar Hidayah Aceh.
Muhammad Haikal, Kepala Divisi Fajar Hidayah Aceh, bersama muridnya, Syafrudin . Foto: Desi Badrina/acehkini
Haikal telah bergabung dengan Fajar Hidayah sejak Januari 2005. Semangatnya mendidik anak-anak dengan mengedepankan pendidikan berkarakter membuatnya bertahan sampai sekarang.
ADVERTISEMENT
Saat acehkini berkunjung ke Sekolah Fajar Hidayah pada satu sore, Minggu pertama Desember, ia sedang mengadakan rapat dengan Club Hydroponic. Mereka membicarakan persiapan membuat miniset baru pesanan sebuah sekolah di Banda Aceh.
Haikal mengatakan, banyak yang bertanya kepadanya mengapa menghabiskan biaya banyak untuk menerapkan pertanian tersebut. Katanya, ia ingin mengajarkan pada anak-anak bahwa suatu hari, tak ada lagi lahan sekedar untuk menanam sayur di halaman rumah.
Belum lagi, maraknya mengubah areal persawahan menjadi perumahan di sekitar Banda Aceh dan Aceh Besar membuatnya semakin yakin, bahwa mengajarkan metode pertanian satu ini akan membantu anak-anak Fajar Hidayah punya pengalaman dengan metode pertanian modern.
“Sekarang orang mulai mengembangkan tanaman padi hydroponik. Jadi orang sudah tidak menanam padi di sawah. Cuma modal Aqua bekas, dan pipa yang besar, beri sedikit tanah, dan air, tanaman padi akan tumbuh,” kata Haikal optimis dengan metode pembelajaran active learning di Fajar Hidayah.
ADVERTISEMENT
Sekilas, Fajar Hidayah terkesan seperti SMK. Tak ada metode menghafal di sana. Guru diharuskan memberikan pemahaman dan konsep dasar pelajaran kepada siswa. Tidak ada PR di luar sekolah. Karena mereka memegang prinsip belajar tuntas di sekolah.
“Jadi anak-anak itu setiap harinya punya club. Sekarang kami punya kelompok peternakan, pertanian, menjahit, bahasa, jurnalistik, sains, dan bisnis. Baru-baru ini, kelompok sains sudah bisa produksi sabun cair. Dan akan diarahkan ke pengembangan usaha,” kata Haikal, sambil menyeruput Kopi Arabika, produk yang mereka jual di unit kelompok bisnis anak Fajar Hidayah.
Walau saat ini Fajar Hidayah Aceh masih bagian dari Yayasan Fajar Hidayah Jakarta, namun mereka dituntut untuk bisa mengembangkan unit usaha. Hasilnya, anak-anak juga punya bengkel wirausaha, termasuk laboratorium hydroponic.
Asrama guru sekolah Fajar Hidayah Aceh. Foto: Desi Badrina/acehkini
Ia mengatakan, sejak berdirinya Fajar Hidayah Aceh untuk anak korban tsunami, konsep sekolah memang bertujuan menjadikan para lulusan Fajar Hidayah memiliki jiwa wirausaha dan tertanamkan semangat bertahan hidup.
ADVERTISEMENT
Kini terhitung 15 tahun, sejak sekolah itu berdiri. Walau anak korban tsunami sudah berlulusan sesuai dengan harapan pihak yayasan, Muhammad Haikal Ilyas masih terus bertahan, dan konsisten mengajarkan semangat pendidikan berkarakter pada generasi muda Aceh, jauh setelah bekas tsunami hampir tak tampak lagi. [] Desi Badrina