Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Kisah Eks GAM: Buron di Pesta Pengantin, Tak Sempat Membelai Anak (7)
15 Agustus 2019 9:57 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
ADVERTISEMENT
Suka duka menjadi bagian dari anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) begitu membekas di benak Irwansyah alias Tgk Muchsalmina. Menjadi buronan saat pesta pengantin paling diingatnya. Selanjutnya, dia bahkan tak sempat membelai anaknya saat lahir.
ADVERTISEMENT
“Kisah ini menjadi salah satu yang paling terkenang dalam hidup saya sampai kini,” kata Irwansyah, mantan Juru Bicara GAM Aceh Rayeuk, dalam beberapa kesempatan kepada saya.
Dia masih ingat betul pada awal 2001, Irwansyah diminta keluarga untuk segera berumah tangga. Tidak ada waktu untuk pacaran dengan kekasihnya yang baru dikenal selama tiga bulan. Dia kemudian meminta orang tua untuk melamar dan membangun hubungan dengan orang tua si gadis.
Gadis yang telah memikat hati Irwansyah ini bernama Devi Yanti, asal Desa Ajun, Banda Aceh. Setelah keluarga Irwansyah melamar Devi, akad nikah pun digelar pada Jumat, 20 Juli 2001. Acara berlangsung di sebuah rumah indekos milik Pak Wan, yang disewanya di Lorong Flamboyan, Tungkop, Darussalam. Saat itu belum Darurat Militer. GAM masih leluasa bergerak di desa-desa.
ADVERTISEMENT
Orang tuanya kemudian berkeinginan untuk membuat pesta perkawinan, demi menjaga adat-istiadat yang biasa dilakoni masyarakat Aceh. Irwansyah sempat menolak karena khawatir, tapi tak bersikeras karena tak mau mengecewakan mereka.
Oktober 2001, segala persiapan dibuat seperti layaknya sebuah acara pesta. Pesta juga dibuat di rumah sewa karena lokasinya yang dekat perbukitan, sehingga memudahkan untuk menghindar bila tepergok aparat TNI.
Tibalah hari pesta pernikahan. Irwansyah tetap menggunakan ilmu gerilya. Pada acara Intat Linto (mengantar pengantin laki-laki), dia tak bergabung bersama rombongan, tetapi sudah duluan berada di dekat rumah. Dia disiapkan untuk duduk di pelaminan.
Beberapa anggota GAM yang mengawalnya tiba-tiba memberi kabar bahwa ada pengepungan di sekitar kampung dan rumah tempat pesta berlangsung. “Mungkin acara ini sudah tercium aparat,” pikir Irwansyah.
ADVERTISEMENT
Tak berlama-lama, baju ganti yang sudah dipakainya langsung dibuka. Irwansyah akhirnya memakai baju biasa, untuk berbaur bersama tamu-tamu dan warga. Dia yakin aparat TNI tak mengenali wajahnya dan hanya tahu nama saja. Irwansyah masih dapat melihat Dara Baro (pengantin perempuan) duduk sendiri di pelaminan.
Sampai siang dan tamu-tamu pulang, keberadaannya tak diketahui lawan. Istri tetap sendiri di pelaminan. Istri menghubunginya melalui telepon seluler, dan bertanya bagaimana cara menjawab pertanyaan orang-orang yang datang dan menanyakan keberadaan Linto Baro.
Istrinya menggunakan siasat, kalau tamunya datang pukul 12.00 WIB, dikatakan Linto-nya akan datang pukul 14.00 WIB, dan begitu sebaliknya. Begitulah Devi perlahan memahami keberadaan suaminya yang buron saat itu. Dia belajar banyak, kemudian memahami jalan hidup kombatan, sampai damai kemudian hadir di bumi Aceh.
ADVERTISEMENT
Tak Sempat Membelai Anak
Usai pernikahan, setiap ada kesempatan dan situasi memungkinkan, Irwansyah selalu pulang menjenguk keluarga. Semakin sering, karena belakangan istrinya tinggal di tempat orang tua Irwansyah yang tak jauh dari hutan dan perbukitan, Desa Cot Keueng.
Bulan keempat istri mengandung, Irwansyah kesulitan uang dan terpaksa meminjam untuk memeriksakan kehamilan istrinya ke dokter. Dokter mengatakan, usia kehamilan empat bulan adalah masa pembentukan otak, dan si ibu harus banyak mengonsumsi makanan yang bergizi.
Istrinya makin sering berkonsultasi ke dokter, ditemani oleh adik Irwansyah, Marlina. “Makin pusing juga saya, karena kesulitan uang. Tapi tetap mencari karena semua orang tua pasti menginginkan anaknya lahir sehat dan pintar,” ceritanya.
Marlina, sang adik, paham kondisi kakaknya. Bersama suaminya yang berjualan di pasar Desa Cot Keueng, ia mencoba memberi saran. Mereka bertanya perihal kerajinan apa yang bisa dibuat Irwansyah. Nanti mereka yang akan menjualnya.
ADVERTISEMENT
Irwansyah kemudian membuat kurungan ayam dari bambu, sambil mengisi waktu di rumah kala berkunjung sesaat. Selesai dibuat, adiknya menaruh kerajinan tersebut di toko tempat berjualan. Ternyata langsung ada peminat dan barangnya laku dengan harga Rp 35.000 per unit.
Mulailah Irwansyah bersemangat membuat lagi, dibantu oleh istri. Dagangannya laris manis, bahkan dibanjiri pemesan. Kemudian Irwansyah mengajak lima orang warga desa, untuk diajarkan dan membantu usaha itu. Begitulah Irwansyah mengatasi keperluan uang untuk istrinya berobat, dan memberi makanan bergizi hingga anaknya lahir.
Tepat pada pukul tiga sore, tanggal 23 Agustus 2002, sebuah kabar gembira datang dari ibunya. “Anakmu sudah lahir, laki-laki.” Irwansyah yang sedang di hutan kala itu langsung berucap, “Alhamdulillah.”
ADVERTISEMENT
Sebagai orang tua, Irwansyah merasakan kerinduan yang teramat sangat. Dia lalu mencari informasi ke desa, tentang bagaimana situasi di sana dan apakah memungkinkan untuk dirinya pulang walau hanya sejenak. Ternyata benar kata orang tua Irwansyah. Kondisi di Desa hampir tak memungkinkan untuknya pulang. Tapi usai magrib, tekad Irwansyah sudah bulat untuk pulang walau hanya sebentar saja, untuk menjenguk anak.
Irwansyah ditemani enam rekannya, sampai di rumah tanpa kendala. Menyalami ibu dan langsung berjumpa istri, lalu memanjatkan doa-doa untuk si buah hati. Irwansyah memberi nama anak pertamanya Muhammad Khaled, meminjam nama sahabat Rasulullah SAW, Khalid Bin Walid.
ADVERTISEMENT
Hanya satu jam Irwansyah di rumah, ketika kawannya mendapatkan info dari warga, bahwa kepulangannya tercium aparat. Mereka bergegas ke luar rumah dan berniat kembali ke markas di hutan.
Belum jauh dari rumah, di jalan yang sepi bersisian dengan kebun warga, aparat terlihat dalam kegelapan. Mereka melepaskan senjata dan terjadilah kontak. Karena malam dan mengusai medan, mereka lolos dari kepungan dan masuk hutan. Irwansyah dibantu oleh beberapa kawan lain yang tahu kejadian tersebut, untuk mencoba mengalihkan perhatian dengan melakukan penyerangan ke pos aparat di Lambaro Angan.
Saat itu, rumah orang tua Irwansyah sudah masuk ke kategori rumah GAM, karenanya dipantau ketat. Rumahnya menjadi target pengawasan satu hari setelah tertembaknya Ayah Sofyan, Juru Bicara GAM Aceh Rayeuk. Ada rekan Ayah Sofyan yang tertangkap dan dibawa aparat untuk menunjukkan rumahnya. Irwansyah kemudian ditugaskan untuk menempati posisi Juru Bicara GAM Aceh Rayeuk.
ADVERTISEMENT
Ayah Sofyan meninggal akibat tertembak dalam suatu penggerebekan di Desa Cot Cut, Kecamatan Kuta Baro, Aceh Besar, 11 Mei 2002. Dia tertembak di bagian pinggang bagian belakang. Lima pengawalnya berhasil lolos saat itu, sementara satu orang tertangkap. Dia kemudian dikebumikan di Lamreung, Aceh Besar.
Rumah orang tua Irwansyah makin sering dipantau aparat setelah kepulangannya menjenguk anak. Dia tak lagi berani pulang, bahkan usaha membuat kurungan ayam terpaksa dipindahkan ke kampung sebelah, Cot Lame yang jauh dari rumah. Irwansyah terus menekuni pekerjaan itu sambil bertugas sebagai pengganti Ayah Sofyan. Usaha berkembang dan pekerjanya sudah delapan orang.
Menjadi GAM, Membuat Irwansyah tak memiliki banyak waktu untuk keluarga. Itu menjadi salah satu imbas buat keluarganya. Irwansyah paham risiko itu dan terus memberi pengertian kepada istri dan keluarganya, terhadap kesulitan yang muncul. “Sangat bersyukur mereka paham,” katanya.
ADVERTISEMENT
Setelah Aceh damai, Irwansyah sering tersenyum sendiri mengingat masa lalu itu. Persis seperti lirik lagu Bang Toyib, "Dua purnama tak pulang-pulang,".
Istri Irwansyah, Devi Yanti, yang dinikahinya saat konflik, meninggal pada Rabu 23 September 2015, karena sakit. Tak banyak pesan yang diamanahkan mendiang Devi. “Beberapa kali saat sakit parah, hanya meminta saya untuk menjaga anak-anak dengan baik,” kisah Irwansyah.
Selamat Hari Ulang Tahun Damai Aceh ke-14. Semoga perang tak terulang. []
Reporter: Adi Warsidi