Kisah Fajar Pengrajin Rapai, Menjaga 'Roh' Kesenian Aceh

Konten Media Partner
23 Februari 2021 11:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Rapai, alat musik tradisional yang paling penting dalam kesenian Aceh, masih terjaga hingga kini. Tapi, pengrajinya semakin langka.
Membuat rapai, alat musik tradisional Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Fajar Siddiq (47 tahun) baru saja menerima telepon. Lawan bicaranya memohon agar tidak menagih dulu hutang darinya. Si penelepon berjanji akan melunasinya saat panen nanti.
ADVERTISEMENT
“Dia memesan satu set rapai dari saya. Sudah sebulan barangnya diambil, sampai kini belum dibayar lunas,” jelas Fajar usai menutup teleponnya, kepada acehkini, Senin (23/2/21).
Fajar adalah seniman serba bisa, selain mahir memainkan sejumlah alat musik etnik Aceh, dia juga pembuat rapai, alat musik tabuh khas Aceh. Selain itu, ia juga memproduksi alat musik tiup seurune kale, di tempat tinggalnya, kawasan Perumahan Bulan Sabit Merah Kuwait, Kaye Lheu, Aceh Besar.
Dari membuat rapai, Fajar pernah menikmati nikmatnya pundi-pundi rupiah. Namun, dalam setahun musim pandemi COVID-19, pesanan alat musik yang dibuatnya juga lesu. Untuk memenuhi kebutuhan untuk keluargnya, ayah tiga anak ini terpaksa nyambi sebagai buruh, tukang, bahkan jadi nelayan.
Fajar sudah memulai membuat rapai sejak tahun 1996. Ketika itu dirinya baru saja bergabung dengan sebuah sanggar seni di Banda Aceh. Saat itu, di sanggar belum ada rapai. Padahal suara tabuhan rapai menjadi roh penting yang tidak bisa digantikan dalam kesenian Aceh.
ADVERTISEMENT
Pengurus sanggar meminta Fajar untuk mencari pembuat rapai. Ia langsung mengingat kampung halamannya di Nagan Raya. Di sana ada sejumlah orang yang mampu membuat alat musik itu secara tradisional.
Fajar sedang membuat rapai. Foto: Suparta/acehkini
Fajar kemudian menyanggupi, lalu dia menyebut harga 8 juta rupiah untuk 2 set rapai (24 buah) yang hendak dipesan “Pengurus sanggar tidak menawar atas harga yang saya sebut, dan langsung kasih cash. Padahal itu jumlah uang yang banyak untuk ukuran saat itu,” sebut Fajar.
Dengan membawa sebuah rapai dari Banda Aceh, di kampungnya Ia kemudian menemui orang-orang yang bisa membuat rapai seperti contoh yang dibawanya. Celakanya, saat itu tidak ada orang yang mampu membuat dari pertama sampai jadi.
Masing-masing orang yang ditemuinya memiliki keahlian berbeda, ada yang jago membuat baloh/body namun tidak mahir memasang kulit. Yang punya kulit bukan pembuat rapai.
ADVERTISEMENT
Pun demikian, Fajar terpaksa menggunakan jasa mereka. Di mana semua proses pembuatan dikontrol dan dilihatnya dengan jeli. “Setelah 5 hari proses pembuatan, rapai yang siap baru satu buah. Saya berpikir saat itu, jika begini, rapai gak akan siap. Di Banda Aceh saya minta waktu sebulan.”
Lalu Fajar memutar otak, ia berinisiatif mencoba membuat sendiri berdasarkan pengetahuan proses pembuatan yang dia lihat.
Menurutnya hanya di hari-hari pertama masih susah, setelahnya dia menemui celah dan dapat menyelesaikan pembuatan rapai setiap harinya.
Setelah 2 set selesai, dia memboyongnya ke Banda Aceh. Pengurus sanggar puas dengan rapai buatan Fajar. “Dari 24 buah, hanya dua buah dibuat orang, selebihnya saya buat sendiri. Pertama dapat job, saya udah untung banyak, uangnya saya beli sepeda motor binter waktu itu,” katanya.
Proses pembuatan rapai. Foto: Suparta/acehkini
Tak lama, Fajar kembali mendapat orderan 8 set rapai. Uang muka yang diterimanya, dia beli mesin bubut. Dengan dibantu mesin, proses pekerjaannya makin cepat, hasil juga lebih rapi.
ADVERTISEMENT
“Untuk sebuah rapai yang bagus, kayu yang digunakan juga harus khusus, di tempat saya sering dipakai bak mane (pohon laban) dan Lampatok. Di tempat lain sering juga digunakan pohon nangka. Sementara untuk kulit, lazim digunakan kulit kambing, tapi harus dengan perlakuan kusus.”
Sejak saat itu, Fajar makin sering menerima orderan pembuatan rapai. Menurut dia, rapai buatannya juga dipesan dari luar negeri, seperti Jepang, Australia, bahkan Amerika Serikat. Harga satu set rapai saat ini dijualnya senilai Rp 8 juta.
Selain pembuat rapai dan serurune kale, Fajar juga mahir bermain alat-alat musik tradisional itu. Bakat seni yang turun dari ayahnya, yang kini juga dia warisi untuk anak-anaknya. []