Konten Media Partner

Kisah GAM saat Tsunami Aceh, Bersua Militer Asing di Hutan (2)

15 Januari 2020 10:32 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Anggota militer Spanyol bermain bersama anak-anak, di Lampineung, Banda Aceh, 17 Maret 2005. Sejumlah militer asing terlibat membantu Aceh pascatsunami. Foto: Adi Warsidi
zoom-in-whitePerbesar
Anggota militer Spanyol bermain bersama anak-anak, di Lampineung, Banda Aceh, 17 Maret 2005. Sejumlah militer asing terlibat membantu Aceh pascatsunami. Foto: Adi Warsidi
Kira-kira sepekan setelah jatuhnya helikopter Amerika Serikat yang terlibat dalam membantu korban tsunami Aceh, pasukan GAM mendapat pesan dari pasukan Jerman dan Australia yang membantu korban tsunami di kawasan Krueng Raya, Malahayati, Aceh Besar. Mereka berkeinginan untuk bertemu.
ADVERTISEMENT
Saat itu, tsunami hampir dua pekan, konflik Aceh masih berlangsung. Hanya saja, intensitas kontak senjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan TNI/Polri, menurun. Masing-masing disibukkan urusan kemanusiaan, mencari keluarga dan anggotanya yang hilang, membantu mengangkat mayat-mayat.
Konflik inilah yang membuat sejumlah pasukan militer yang terlibat misi kemanusiaan di Aceh khawatir. Saat helikopter Amerika Serikat jatuh dan akan diambil kembali di kawasan yang dikuasai GAM, mereka menyadari ada persoalan keamanan yang belum selesai di Aceh. Tanpa sepengetahuan aparat Indonesia, militer asing diam-diam membangun hubungan dengan GAM.
Mantan Juru Bicara GAM Aceh Rayeuk, Irwansyah alias Tgk Muchsalmina, mengisahkan jadwal pertemuan dengan pasukan Jerman dan Australia disepakati malam ke-15 setelah tsunami. Militer asing diantar ketua barak pengungsi dan beberapa warga Krueng Raya, Aceh Besar, sekitar pukul sembilan malam, ke hutan di perbukitan.
ADVERTISEMENT
Sejumlah makanan dibawa militer asing untuk GAM, maklum para kombatan juga kesulitan logistik saat itu. Pasukan Jerman dan Australia berjumlah 8 orang, sebagian memakai seragam militer. “Banyak hal mereka tanyakan termasuk sistem gerilya yang kami lakukan,” kisah Irwansyah.
Mereka mengakui masalah di Aceh belum diketahui luas oleh masyarakat di semua negara. Irwansyah tak mengingat lagi nama ketua rombongan mereka, tapi kata-katanya sungguh bermakna. Dia menyarankan, agar masalah Aceh didukung oleh masyarakat di negara-negara lain, GAM harus sering membuat diplomasi. Tidak hanya di tingkat pejabat di negara manapun, tapi lebih utama dengan masyarakat atau dengan lembaga yang bergerak di bidang kemanusiaan.
Banyak masukan yang disampaikan dalam pertemuan selama dua jam lebih. Setelah foto bersama, ketua rombongan meminta selembar bendera bintang bulan atau bendera GAM. Bendera itu katanya, akan dipajang di asrama mereka satu bulan kemudian ketika kembali. “Kamu boleh telepon pimpinan kalian satu bulan dari sekarang, lihat bendera itu berkibar di asrama kami,” kata si Ketua Rombongan.
Sunset di kawasan Keudah, Banda Aceh yang hancur akibat tsunami, 10 Februari 2005. Foto: Adi Warsidi
Satu lagi Heli Asing Jatuh
ADVERTISEMENT
Dua hari setelah pertemuan itu, Senin 10 Januari 2005, sebuah Helikopter Seahawk milik US Navy, jatuh di areal persawahan sekitar 500 meter dari Lapangan Udara (Lanud) Blang Bintang, Aceh Besar. Kejadian pada pukul 07.50 WIB itu cepat diketahui media dan menulis laporannya.
Dirilis Suara Merdeka, tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut. Sebanyak 10 penumpang dan awak helikopter bernomor ekor 613 itu selamat. Sebagian di antara mereka hanya luka-luka dan dirawat di kapal Induk USS Abraham Lincoln yang lepas jangkar di Pelabuhan Malahayati, Krueng Raya.
Juru Bicara US Navy untuk kapal induk USS Abraham Lincoln, Leutenant Commander John Bernard, mengeluarkan komentarnya. Helikopter tersebut baru saja lepas landas dari kapal induk USS Abraham Lincoln menuju Lanud Blang Bintang untuk mengambil barang-barang bantuan, rencananya akan dibawa ke Meulaboh.
ADVERTISEMENT
Saat itu, bantuan dengan heli sangat penting menjangkau wilayah terisolasi setelah bencana tsunami. ''Jadi, helikopter itu masih kosong. Di dalamnya hanya terdapat 10 orang awak dan penumpang. Namun sesaat sebelum mendarat, helikopter tersebut tiba-tiba jatuh,'' katanya.
Para awak diselamatkan anggota TNI dan tentara Australia yang mendirikan tenda di dalam komplek Lanud Blang Bintang. Pihak US Navy kemudian melakukan penyelidikan mengenai penyebab kecelakaan.
“Mungkin heli tersebut rusak pada baling-baling,” kata Bernard.
Kehancuran di kawasan Alue Naga akibat tsunami Aceh, 7 Februari 2006. Foto: Adi Warsidi
Senin siang jumpa pers digelar di bandara terkait kejadian tersebut. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (saat itu), Alwi Shihab, mengatakan belum bisa memastikan apakah insiden tersebut ada kaitannya dengan aksi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau tidak. “Mudah-mudahan peristiwa jatuhnya heli disebabkan kesalahan teknis, bukan faktor aktivitas GAM,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Keterlibatan GAM dalam kasus ini masih sebatas rumor. Irwansyah kemudian mengeluarkan komentarnya kepada media. “Kami tidak terlibat dalam jatuhnya heli tersebut,” katanya.
Dia berkomitmen tak akan menyerang siapa pun yang terlibat dalam urusan kemanusiaan di Aceh, pascabencana dahsyat yang merenggut 200.000 lebih warga. “Lagipula, kami juga butuh dukungan mereka dari luar negeri,” tegas Irwansyah.
Tsunami mempercepat perjanjian damai, alasan-alasan keamanan dalam mengemban misi kemanusiaan menjadi salah satu pemicu Pemerintah Indonesia dan GAM serius berunding. Sekitar 8 bulan setelah tsunami, 15 Agustus 2005, Pemerintah Indonesia dan GAM mencapai sepakat, melahirkan Momerandum of Understanding (MoU) Damai Aceh, ditandatangani bersama di Helsinki, Finlandia. Babak baru membangun Aceh kembali setelah porak-poranda akibat konflik dan bencana. [tamat]
ADVERTISEMENT