Konten Media Partner

Kisah Hadi bersama GAM: Pengawal Panglima Nyaris Mati Terkepung (2)

27 Agustus 2019 12:48 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Abdul Hadi (kanan) berpose dengan beberapa anggota GAM berambut gondrong saat konflik Aceh. Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Abdul Hadi (kanan) berpose dengan beberapa anggota GAM berambut gondrong saat konflik Aceh. Dok. Pribadi
Tubuh Abdul Hadi terlihat ringkih tak berisi saat awal bergabung dengan GAM, sehingga dianggap belum mampu memanggul senjata. Ia sering ditempatkan sebagai pencetak bendera di markas atau menjadi asisten anggota lain yang bertugas membawa peluru.
ADVERTISEMENT
Saat berpindah-pindah markas, sekitar tahun 2000, Abdul Hadi mendapat kesempatan pindah ke Markas Komando Pusat GAM Wilayah Pasee di hutan kawasan Dusun Alue Ie Mudek, Gampong Teupin Rusep, Kecamatan Sawang, Aceh Utara. Di sana, terdapat Panglima GAM Pasee, Muzakkir Manaf. Belakangan, pria bernama sandi Mualem ini menjadi Panglima GAM Pusat.
Tak semua anggota GAM bisa tinggal di markas komando wilayah. Sebab, mereka yang masa latihannya telah usai langsung dikirimkan ke daerah masing-masing untuk pertahanan. Sementara, mereka yang menetap di markas komando wilayah hanya beberapa orang perwakilan dari daerah.
Abdul Hadi termasuk salah satu anggota baru yang bertahan di markas pusat wilayah. "Karena untuk masuk ke markas komando ini sudah disortir dari markas-markas kecil sebelumnya. Mereka ini adalah orang-orang pilihan," kata Hadi.
ADVERTISEMENT
Setelah Mualem dilantik sebagai Panglima GAM Pusat menggantikan Teungku Abdullah Syafie yang meninggal tahun 2002, Abdul Hadi terus bersamanya hingga GAM sepakat berdamai di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005.
Meski berada di markas pusat wilayah, Abdul Hadi jarang memanggul senjata. Ia lebih sering terlibat sebagai pencetak bendera di Biro Reklame. Terutama menjelang peringatan milad GAM pada 4 Desember. Pernah dalam sehari, ia mencetak seribu lembar bendera GAM yang dibagikan kepada markas-markas di wilayah lain.
Selain cetak bendera, tugas Biro Reklame ialah merekam dokumentasi. Kala itu, Komando Wilayah Pasee punya sebuah kamera untuk merekam video. Alat rekam tersebut dipercayakan kepada Abdul Hadi.
Kendati tidak terlalu paham, Hadi memberanikan diri untuk menenteng kamera. Jika operasi bersama pasukan, anggota yang lain menyelempangkan tali senjata, tetapi Hadi berbeda. Ia malah menyelempangkan tali kamera.
Abdul Hadi (empat kanan) bersama rekannya. Dok. Pribadi

Nyaris Mati Dikepung TNI

Selama bergerilya di hutan, Abdul Hadi masih terus mengingat sebuah kejadian yang nyaris membuat nyawanya melayang. Peristiwa itu terjadi pada 19 Februari 2002. Menjelang Hari Raya Idul Adha. Sekitar pukul 10.00 WIB, ia bersama sekitar 30 orang pasukan GAM tengah berjalan di area hutan Urong, Gampong Darussalam, Kecamatan Nisam, Aceh Utara.
ADVERTISEMENT
Pasukan tersebut gabungan dua komando, yaitu dari Pasukan Piranha dan Polisi Militer GAM. Pasukan Piranha kala itu dikomandoi oleh Ableh, kini ia menjadi Panglima Wilayah Komite Peralihan Aceh (KPA) Kuta Pase, Kota Lhokseumawe.
Dalam perjalanan, tiba-tiba ada serangan dari TNI yang memburu GAM. Pasukan GAM gabungan yang berjumlah sekitar 30 orang tersebut berpencar. Abdul Hadi bersama empat orang lain memberi tembakan perlawanan sembari menjauh dari arah serangan dan mencoba menuruni bukit. Dia yang memanggul kamera berjalan di barisan depan.
Selanjutnya, lima anggota GAM ini mencoba kembali mendaki bukit. Hadi kala itu tidak tahu kalau tentara mulai menyisir hutan di kawasan itu. Saat mendaki itulah, kelompok kecil lima orang GAM ini kepergok TNI. "Kami kepergok TNI yang menyisir hutan. Kami ditodong senjata berjarak lima meter, bukan ditembak. Saya terkejut. Mungkin mereka memang berniat menangkap," kata Hadi.
ADVERTISEMENT
Hadi kala itu tak memegang senjata. Ia hanya menenteng kamera. Belum sempat ditangkap, Hadi memilih menggulirkan tubuhnya dari atas bukit ke jurang. Sementara empat temannya memberikan tembakan perlawanan sembari mundur menuruni bukit mencari posisi aman.
TNI seketika menembak tanpa jelas sasaran. Saat tiba di bawah, dua dari lima anggota GAM tewas tertembak saat memberikan perlawanan. Nama mereka adalah Nasrullah dan Amir.
"Saya nyaris tertembak. Baju sobek, tali tas hampir putus. Luka-luka di siku, kena serpihan senjata. Dua orang tertembak," ujar Abdul Hadi.
Di jurang, Abdul Hadi bersama dua rekannya bernama Yoga dan Junaidi bersembunyi di balik batu besar di antara rawa-rawa. Yoga, yang merupakan pemuda asal Tanah Gayo, belakangan tertembak di bagian wajah ketika melakukan tembakan pertahanan.
ADVERTISEMENT
Kejadian ini berlangsung cepat di depan Abdul Hadi. Sementara, di saat bersamaan, Junaidi berhasil lolos dari persembunyian di balik batu saat Yoga memberikan tembakan perlawanan.
"Ketika Yoga memberikan tembakan perlawanan, Junaidi memang sudah saya sarankan untuk keluar dari tempat persembunyian. Supaya di antara kami ada yang selamat. Alhamdulillah selamat," ujarnya. Pasca-damai, Junaidi menetap di Aceh Utara.
Hadi menyaksikan Yoga tertembak di depan matanya. Lalu senjata Yoga dia pungut untuk dirinya.
Alm. Yoga (depan) dalam sebuah upacara GAM masa konflik Aceh. Dok. Abdul Hadi
Junaidi (kiri) memberikan pengawalan kepada Muzakir Manaf saat konflik Aceh. Dok. Abdul Hadi
Saat dia memutuskan keluar dari tempat persembunyiannya, selain tas kamera, hanya peluru yang tersisa di senjata yang dibawanya. Tujuannya untuk memberikan perlawanan agar tidak ditangkap hidup-hidup. Karena dalam semangat perjuangannya, lebih terhormat mati ditembak, daripada ditangkap kemudian disiksa.
Suasana menegangkan selama bersembunyi di balik batu itu berlangsung dari pagi hingga tengah malam. Menjelang subuh, Abdul Hadi akhirnya memutuskan untuk keluar dari tempat persembunyiannya di balik batu. Ia bergerak pelan menyusuri sebuah sungai kecil dengan melawan arus.
ADVERTISEMENT
"Saya mengambil kesimpulan untuk keluar dari persembunyian karena menurut saya keluar tidak keluar, posisi persembunyian saat itu kemungkinannya untuk besoknya akan dikepung. Makanya saya keluar," tutur dia.
Sekitar dua kilometer bergerak pelan, ia bertemu air terjun. Perjalanan diselimuti rasa was-was itu selama satu jam. Di air terjun, Abdul Hadi mandi. Ketika itu, senjata AK-56 pungutan dari Yoga ia letakkan di samping tak jauh darinya.
"Posisi senjata dengan kunci terbuka otomatis siap menembak. Barulah saya mandi di air terjun, karena niatnya andai meninggal saya sudah suci," ujar Hadi.
Ketika sedang mandi, ia terkejut karena mendengar salak senjata dari arah tempat persembunyiannya sebelum berpindah.
Hadi bertahan di air terjun itu sepanjang hari hingga hari mulai gelap. Kemudian, dari air terjun Abdul Hadi bergerak ke arah perbukitan. Ia memakan mentimun di kebun warga karena kelaparan. Hingga ia bertemu sebuah rumah warga dan akhirnya diselamatkan. [bersambung]
ADVERTISEMENT
Reporter: Habil Razali