Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten Media Partner
Kisah Hasan Tiro Pulang ke Aceh dan Hari-Hari Menjelang Deklarasi GAM
30 Oktober 2022 22:07 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
KAPAL berpenumpang 28 orang itu memasuki perairan Gampong Pasi Lhok, Kecamatan Kembang Tanjong, Pidie, tepat pukul 08.30. Kedatangan ini meleset jauh dari rencana semula.
ADVERTISEMENT
"Rencana tiba malam, tapi jadi siang," tulis seorang penumpang kapal itu dalam diari berjudul Jum Meurdehka: Seunurat njang Gohlom Lheueh Nibak Teungku Hasan di Tiro (1985).
Hasan Muhammad di Tiro mencatat momen kepulangan itu pada Sabtu, 30 Oktober 1976. Ia balik ke tanah lahir usai menetap 25 tahun di Amerika Serikat.
Dua hari sebelum itu, Tiro bersama 15 pengawal dan 12 anak buah kapal berlayar dari suatu tempat yang disebut pelabuhan di Asia. Tanpa sebut nama. Tapi ia mendeskripsikan angin kencang di laut Andaman dan mengarungi ke arah selatan Selat Malaka.
Ia mengenang pelayaran itu laksana Julius Caesar menyeberangi Rubicon sehingga meletus perang saudara Romawi. Menurut Hasan Tiro, Rubicon yang ia lalui lebih luas dan maksudnya bukan untuk perang saudara, tapi menyatukan kembali bangsa Aceh.
"Kita mendirikan kembali Neugara Islam Atjeh Meurdehka," tulis Tiro.
ADVERTISEMENT
Sepucuk senjata pun tidak ia bawa pulang. Yang ada hanya amanat: wajib selamatkan Aceh sebagai bangsa. Modalnya hanya satu: nama Tiro.
Hasan Tiro membandingkannya dengan cerita Napoleon Bonaparte mendarat di Perancis sekembali dari Mesir dan Fidel Castro mendarat di Kuba dengan 200 orang pasukan.
Bedanya, Hasan Tiro hanya seorang diri. Tanpa pasukan. "Tanpa rekan, tanpa senjata, pengawal-pengawal saya larang mendarat bersama saya, dan tanpa bantuan luar negeri," tulisnya.
Merdeka di Tjokkan
Kapal masih terombang-ambing di laut Pasi Lhok. Tiro menyuruh seorang di kapal turun ke darat untuk menemui Muhammad Daud Husen. Ia sedang tak di rumah karena pergi ke Kota Sigli. Seseorang diperintah mencari.
Sembari menanti, Tiro meminta kapten memindahkan kapal ke tengah laut. Detail lokasi diberikan ke seseorang di darat agar Daud Husen bisa ke sana.
ADVERTISEMENT
Pukul 5 sore, satu perahu kecil merapat ke kapal Tiro. Bukan Daud Husen yang muncul, tapi wakilnya. Tiro beralih ke perahu itu dan berpisah dengan pengawal dan anak buah kapal.
Sekitar pukul 6 sore, perahu kecil itu berlabuh di Kuala Tari, sebelah timur Pasi Lhok. "Di sana, 12 anak muda dan M Daud Husen telah menanti saya," sebut Hasan Tiro.
Sekeliling Kuala Tari dipenuhi hutan dan tambak. Tiro dan belasan orang itu berhenti di gubuk di pinggir tambak. Larut malam, mereka jalan kaki 6 jam menuju gunung Panton Weng.
Kelak, sekitar sebulan Tiro berdiam di markas Panton Weng. "Tidak susah menyesuaikan diri hidup dalam rimba, meskipun saya datang dari New York."
ADVERTISEMENT
Akhir November 1976, Hasan Tiro dan pasukannya bergeser ke hutan Tiro. Usai naik-turun gunung, mereka tiba di Tiro pada 3 Desember 1976.
"Nama tempat ini adalah Tjokkan. Ini tempat gerilya paling bersejarah," tulis Hasan Tiro. Gunung ini jadi markas para pejuang Aceh melawan Belanda hingga pemberontakan Darul Islam pimpinan Daud Beureu-eh.
Di puncak gunung Tjokkan, Hasan Tiro mendeklarasikan Atjeh Sumatra Meurdehka pada 4 Desember 1976. Kelak nama ini dikenal Gerakan Aceh Merdeka (GAM ). Hari-hari setelahnya, Hasan Tiro berpindah-pindah markas.
Almanak 4 Desember bagi Hasan Tiro momen penting dalam sejarah Aceh. Sebab, 3 Desember 1911, Wali Neugara Atjeh Sumatra terakhir Teungku Chik Maat di Tiro syahid dalam perang melawan Belanda di Alue Bhot, Tangse.
ADVERTISEMENT
"Belanda menganggap 4 Desember sebagai hari pertama berakhirnya Neugara Atjeh Meurdehka yang berdaulat dan hari kemenangan Belanda atas Neugara Kerajaan Atjeh," tulis Hasan Tiro.
Damai di Helsinki, Hasan Tiro Pergi
Nyaris tiga dekade setelah deklarasi di hutan Tiro, perjuangan kemerdekaan Aceh berakhir di meja perundingan. GAM berdamai dengan Pemerintah Indonesia di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Butir perjanjian ini dikenal dengan MoU Helsinki.
Aceh tetap bagian dari Indonesia. Tapi sebagai daerah khusus dan istimewa dengan otonomi lebih luas.
Lima tahun setelahnya, sang deklarator Teungku Hasan Muhammad di Tiro wafat. Ia berpulang dalam perawatan medis di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh, pada 3 Juni 2010.
ADVERTISEMENT