Konten Media Partner

Kisah Inspiratif Pensiunan TNI yang Jadi Pemulung di Aceh

14 Februari 2020 10:42 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bersama M Ali dan istrinya. Dok. Mardianty
zoom-in-whitePerbesar
Bersama M Ali dan istrinya. Dok. Mardianty
ADVERTISEMENT
Berbekal motor tua, selembar karung dan sebuah cutter, lelaki 81 tahun itu menelusuri jalanan, mengumpulkan berbagai macam barang bekas yang ditemui sepanjang jalur. Pekerjaan sebagai pemulung dilakoninya bukan sekadar untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, tapi juga motivasi lain.
ADVERTISEMENT
Lelaki itu pensiunan TNI, Serda (Purn) M Ali Usman, mengakui sangat menikmati pekerjaan di usia senjanya. Dia tinggal bersama istrinya, Rosmiati, di sebuah rumah Gampong Kota Baru, kawasan Lampineung, Banda Aceh.
“Saya memulung dari pagi sampai sore, kadang malam-malam juga,” katanya kepada acehkini, di tempat penampungan sampah, Peunayong, Rabu (12/2/2020).
Serda (Purn) M Ali Usman, memulung untuk menjaga tetap sehat. Foto: Mardianty/acehkini
Pria kelahiran Banda Aceh itu menjadi TNI (dulu ABRI) sejak 1959, hingga pensiun pada tahun 1988, pangkatnya sersan, dengan penugasan terakhir di Komando Rayon Militer (Koramil) Krueng Raya, Aceh Besar. Usai purna tugas, dia menjadi Satuan Pengamanan (Satpam) pada salah satu lembaga pendidikan di Kampung Pineung, Banda Aceh hingga tahun 2016.
Pekerjaan sebagai pemulung dimulainya sejak tahun 2012, ia memulung selepas jam dinasnya sebagai Satpam.
ADVERTISEMENT
“Tujuannya mencari pengalaman saja, kalau tidak kerja lagi (sebagai Satpam) saya sudah bisa ini (memulung),” jelas Ali.
Alasan lainnya, menjadi pemulung membuatnya tetap sehat karena terus bekerja. “Karena nggak bisa berdiam, kalau diam malah sakit badan, karena sudah biasa berlatih fisik sejak menjadi tentara,” katanya. Itu pula yang membuat badannya tetap kuat sampai kini, membuatnya terlihat lebih muda.
Motor yang digunakan untuk mengumpulkan sampah. Foto: Mardianty/acehkini
Meski pekerjaan pemulung sering dianggap tidak bergengsi dalam status sosial, karena identik dengan kemiskinan, kebodohan dan kumuh, Ali justru menilainya berkelas. Mengolah sampah menjadi kembali bernilai merupakan pekerjaan baik dan menghasilkan uang.
“Saya sudah lihat, sudah usaha dan ada hasilnya, makanya saya lanjutkan,” kisahnya antusias.
Saban pagi, Ali berangkat dari rumahnya tanpa rute khusus. Mengikuti saja jalanan singgah di kontainer-kontainer sampai di pinggir jalan, kadang sampai puluhan kilometer. Siang hari, dia pulang ke rumahnya untuk makan, salat dan rehat sejenak, lalu berangkat lagi sampai waktu ashar. Selepas Isya, kadang dia berangkat lagi.
ADVERTISEMENT
Di belakang rumahnya, telah menumpuk gunungan sampah dan berserakan hasil memulung selama berhari-hari. Barang-barang tersebut terdiri dari botol bekas dan kardus, ada juga kaleng, plastik dan lainnya. Barang-barang tersebut tidak langsung dijual, tapi dipilah dan dipisahkan terlebih dahulu sesuai jenisnya, serta membersihkannya.
M Ali sedang memilah sampah. Foto: Mardianty/acehkini
Selain memulung untuk dijual, Purnawirawan TNI itu juga biasa membeli barang bekas dari pemulung yang lain. “Seperti botol aqua, saya beli dari pemulung seharga Rp 1.500 per kilogram dalam keadaan masih kotor dan saya jual Rp 2.000-Rp 3.000 per kilogram setelah dibersihkan,” terangnya.
Apabila barang sudah siap dan dikemas, ia mengantar sendiri barang-barang itu kepada agen pengumpul untuk dijual. Kadang, agen mengambil sendiri ke rumahnya kalau sudah terlalu banyak.
ADVERTISEMENT
Ali menjelaskan bahwa tidak semua barang harganya sama. Misalnya, kardus dijualnya 800 per kilogram, botol plastik yang belum dibuang tutup dan label Rp 2.000 per kilogram, kaleng Rp 1.000 per kilogram. Sementara besi bangunan bisa bernilai Rp 3.000 per kilogram, dan kawat kabel besar Rp 1.700 per kilogram.
“Harga ini bisa berubah-ubah, itu harga yang berlaku sekarang,” tambahnya.
M Ali paham benar seluk beluk dunia pemulungan, ada musimnya. Misalnya, saat musim panas, maka akan banyak didapat botol minuman dan kardus, karena suhu panas, orang akan banyak minum.
Menjadi pemulung, Ali tidak pernah merasa duka, semuanya suka. Karena setiap yang dikumpulkan itu tidak akan menjadi kerugian, malah untung.
ADVERTISEMENT
“Bayangkan saja kadang saya jumpa hal yang tak terduga di dalam perjalanan. Misalnya ada yang buang seng bekas atau pernah ada yang buang kertas, kalau setengah karung ada 10 kilogram, kalau berkarung-karung bisa sampai 100 kilogram. Ini rezeki harimau namanya,” kenangnya sambil tersenyum.
Saat ini, Ali mengaku belum memiliki gerobak atau becak, bila ada akan lebih mudah. “Sudah pernah saya mengajukan permohonan ke gampong (desa), tapi belum rezeki,” ucapnya tetap optimis.
Di balik kesukaan ini, masih terbesit kekhawatirannya saat melihat anak muda yang lalai, yang membuang waktunya untuk hal yang tidak produktif dan gengsian.
“Rasanya amarah, tapi saya juga tak bisa berbuat apa-apa.”
M Ali hidup sederhana dengan istrinya. Empat orang anaknya sudah berumah tangga. Dua anaknya menikah dengan orang Belanda, satunya tinggal di Belanda dan satunya lagi di Jakarta. Sementara dua anaknya yang lain, tinggal di Aceh mengelola usahanya sendiri.
ADVERTISEMENT
Beliau menitipkan satu pesan kepada saya, serta kepada seluruh pemuda Aceh masa kini.
“Orang malas minum dengan mata, orang rajin minum dengan mulut, maknanya orang malas asyik menahan gengsi tapi tidak ada uang, orang rajin berkotor-kotor tapi makan minum ada uang. Lagi kerja kotor, usai kerja mandi jadi bersih,” ujarnya. [] Mardianty