Kisah Mahout di CRU Trumon, Aceh: Menjerit Hati Kala Gajah Mati (1)

Konten Media Partner
5 September 2021 17:10 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Para mahout di Conservation Response Unit (CRU) Trumon, Aceh Selatan, bertahun-tahun hidup dan besar bersama gajah-gajah jinak. Mereka laksana keluarga, tak bisa dipisahkan. Kematian Gajah Intan, membuat pawangnya berduka.
Yusrizal dan Gajah Sisca. Foto: Siti Aisyah/acehkini
"Sisca sini, Sisca sini," Teuku Yusrizal setengah berteriak berulang kali. Sesekali ia memukul rumput dengan tongkat yang ada di genggaman dan berjalan mendekati hutan belantara di depannya.
ADVERTISEMENT
Yusrizal adalah asisten mahout atau pawang gajah di CRU Trumon. Sisca adalah gajah betina di sana. Keduanya terlihat akrab, saat acehkini dan sejumlah jurnalis berkesempatan mengunjungi tempat yang berada di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) tersebut, pekan lalu.
Laki-laki yang akrab disapa Abu itu mengajak kami untuk memanggil Gajah Sumatera yang sedang bermain di dalam hutan belantara. Tak lama berselang, Sisca keluar dari dalam hutan dan langsung mendekati Sang Pawang sembari melambaikan belalainya.
Di bawah arahan abu, kami diajak lebih dekat dengan Sisca. Perlahan satwa dilindungi itupun mulai menyapa sambil bermain. Sisca tampak cukup bersahabat dengan rupa baru yang ia temui. Saat disuruh bergaya, ia kerap menyilangkan kaki belakang layaknya model kala hendak berfoto.
ADVERTISEMENT
Saban hari, Sisca dirawat Abu. Pria 21 tahun ini, sejak Sekolah Dasar (SD) sudah bermain bersama gajah di sana. Bukan sekadar mencari pengalaman, kecintaannya terhadap satwa dilindungi tersebut sudah mendarah dan menganggap bagian dari keluarganya sendiri. “Saya kalau melihat gajah itu jatuh cinta,” kata Abu bercerita.
Sisca dan Nani, dua gajah penghuni CRU Trumon, Aceh Selatan. Foto: Siti Aisyah/acehkini
Rasanya seperti panggilan jiwa, bak keluarga, dirinya menjadi bagian dari satwa ini. Alih-alih untuk menempuh pendidikan tinggi seperti anak muda pada umumnya, Abu memilih untuk tinggal bersama gajah, merawat dan bermain bersama.
“Semenjak tamat SMK saya langsung masuk ke sini. Yang saya rasakan saat bersama gajah itu asyik, pikiran kita tenang, seperti panggilan jiwa. Saya cari tahu gimana jadi mahout ini, makannya saya masuk ke sini (CRU Trumon) bergabung bersama dengan mahout-mahout lainnya,” terang Abu.
ADVERTISEMENT
Teuku Yusrizal berasal dari Desa Naca, Kecamatan Trumon Tengah, Kabupaten Aceh Selatan. Saat ini dirinya menjadi asisten mahot di CRU Trumon. Sisca merupakan gajah yang berada di bawah tanggung jawab Abu. Baik untuk makan dan perawatan lainnya.
Tak jauh dari Sisca, ada Nani, gajah betina lainnya yang ramah pengunjung. Nani terlihat lebih gemuk dengan kulit yang kencang, sementara Sisca terlihat kurus dengan kulit keriput. Keduanya berbeda 10 tahun, Sisca berumur 40 tahun dan Nani berumur 30 tahun.
“Sisca sekarang memang sudah kurus, jauh berbeda dari sebelumnya,” ujar Abu.
Abu menerangkan, turunnya berat badan Sisca ini setelah matinya Intan yang merupakan anak dari Sisca. Intan mati pada akhir Juni 2021 lalu pada usia 4 tahun. Semenjak itu nafsu makan Sisca menurun drastis, bahkan seminggu pertama setelah ditinggal Intan, Sisca tidak mau makan apapun.
ADVERTISEMENT
“Ada sekitar satu minggu Sisca tidak mau makan sama sekali. Kecuali buah-buahan, kalau makanan yang lain memang tidak mau,” jelasnya.
Warga memberikan kado buah-buahan untuk Intan Setia saat berulang tahun yang kedua di CRU Trumon, Aceh Selatan, Sabtu (16/3/2019). Foto: Yudiansyah/acehkini
Mata Abu berbinar saat mengenang Intan. Bagi Abu, anak gajah betina itu adalah belahan jiwa. Abu menyebut, gajah Intan cukup akrab dengannya dari sejak lahir, mulai dari perawatan hingga melatihnya sampai berusia empat tahun lebih. Apalagi anak gajah ini cukup patuh dan tidak pernah berontak sedikitpun.
“Ketika Intan mati, saya hancur. Kalau diputusin cewek itu biasa tapi kalau pisah sama Intan ini memang tidak semangat lagi kerja, pegang Sisca tidak semangat lagi. Tapi ada timbul pemikiran, ini cobaan makannya saya tidak mau menyia-nyiakan Sisca,” imbuhnya.
Bagi Abu, mendengar kata “Gajah Mati” kerap membuatnya sedih. Baginya, gajah adalah keluarga. Baik yang hidup di alam liar maupun yang sudah dilatih, karena gajah adalah satwa penyeimbang alam.
ADVERTISEMENT
“Saya sangat sedih kalau mendengar ada gajah yang mati, apalagi pas saya lihat kejadian beberapa waktu lalu ada gajah mati di Aceh yang kondisinya hilang kepala sedih kali, karena kita udah sebagian dari mereka,” pungkasnya.
Kisah Abu dibenarkan Hendra, Mahout senior di sana. Saat mengetahui Intan tidak bernyawa, Abu sempat histeris dan seperti orang kesurupan. Saat itu, ia pergi ke hutan bersama mahout lain, setiba di sana ia menemukan Intan sedang tertidur, namun saat dibangunkan Intan sudah tiada.
“Dia berlari ke kami dari hutan, terus bilang, Bang, bang hanale bang, (Bang tidak ada lagi, tidak ada lagi),” kata Hendra meniru ucap Abu.
Intan bersama ibunya, Sisca pada 10 Januari 2019. Foto: Habil Razali/acehkini
Sontak Hendra terkejut, ia menyangka yang tidak ada lagi itu adalah mahout yang pergi bersamanya. Dugaannya, mahout tersebut sudah dihantam oleh gajah. Lantas baru diketahui kemudian karena dia cerita sambil nangis dan menjerit.
ADVERTISEMENT
“Nangis dia menjerit-jerit, Si Intan gak ada lagi. Kami pun langsung lemas. Memang dari kecil Intan sama Abu. Dia waktu itu masih sekolah, tapi setiap sekolah dia memang selalu ke sini,” tuturnya.

Tentang Gajah Intan

Gajah Intan lahir dari induk Sisca pada 16 Maret 2017, tepat di Hari Bakti Rimbawan ke-34. Nama lengkapnya Intan Setia, sesuai yang diberikan oleh Gubernur Aceh saat itu, Zaini Abdullah.
Intan lahir setelah Sisca hamil selama 22 bulan di CRU Trumon, hasil perkawinan dengan gajah jantan bernama Tuah (37 tahun), gajah jinak paling besar di seluruh Aceh. Di CRU Trumon, selain Nani, juga ada Gajah Bayu (34 tahun)
Baca artikel sebelumnya berikut ini: