Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Kisah Mati Syahid Paling Romantis dalam Perang Aceh (21)
16 Januari 2022 12:33 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Teungku Di Barat bersama mertuanya Teungku Di Mata Ie alias Teungku Di Paya Bakong, merupakan ulama pemimpin pejuang Aceh di wilayah Keureuto (Aceh Utara) dan sekitarnya. Keduanya sangat disegani, sering memimpin serangkaian serangan ke bivak dan patroli Belanda sepanjang 1903-1912.
ADVERTISEMENT
Fatimah, Istri Teungku Di Barat selalu ikut serta dalam perang berbekal rencong, pedang dan senapan. Mereka kerap membangun taktik gerilya bersama Pahlawan Nasional, Cut Meutia dan suaminya Pang Nanggroe yang dikenal sebagai Napoleon Aceh.
Rusdy Sufi, dkk dalam Aceh Tanah Rencong (2008) mengisahkan Pang Nanggroe syahid pada 26 September 1910 dalam sebuah pertempuran. Cut Meutia tetap melanjutkan perlawanan terhadap Belanda.
Belanda kemudian melakukan sebuah persiapan yang cukup matang untuk mengakhiri perlawanan Cut Meutia. Pada 22 Oktober 1910, sepasukan besar Marsose yang dipimpin oleh W.J. Mosselman menyerbu benteng pertahanan Cut Meutia setelah mendapat informasi dari mata-mata.
Perang terus berlanjut sampai 25 Oktober 1910. Kala itu, pasukan pimpinan Cut Meutia semakin terdesak. Perempuan itu menolak menyerah dan syahid terkena peluru. Putranya, Teuku Sabi sempat dilarikan oleh Fatimah dan suaminya, Teungku Di Barat yang kemudian melanjutkan perjuangan ibu dan ayahnya.
ADVERTISEMENT
Khusus memburu dan menghadapi pasukan Teungku Di Barat, sejak 1908 Pemerintah Belanda telah mengerahkan brigade pasukan marsose dari kolonne macan yang terkenal beringas, dipimpin Kapten WBJA Scheepens dan Kapten H. Christoffel.
Setelah terlibat dalam banyak perang, Teungku Di Barat dan istrinya gugur dalam sebuah pertempuran akibat terkena peluru pasukan Letnan Behrens pada 1912.
Tentang bagaimana romantisnya kematian Teungku Di Barat dan istrinya itu, Zentgraaff dalam Atjeh (1938) menulis: “Pantas bagi kalam pujangga agung, salah seorang ulama paling terkenal di daerah Aceh bagian timur laut. Dia dan istrinya , bersama beberapa orang pengikut, telah diburu dengan ketat oleh pasukan kita, dalam rangka pengejaran yang tak kenal ampun, di mana para marsose dalam zaman itu mengerti akan rahasianya. Kemudian tibalah adegan terakhir dalam rangkaian tragedi itu. Teungku dan istrinya beserta beberapa orang pengikutnya, terkepung di antara tebing-tebing batu cadas.”
ADVERTISEMENT
Saat terkepung, semua pejuang Aceh berdiri. Teungku Di Barat berada di samping istrinya. Sebutir peluru kemudian mengenai tangan kanan Teungku, ia mencabut rencong di pinggang dengan tangan kirinya, sementara tangan kananya yang tertembak mengoper senapan yang dipegangnya kepada istrinya.
Istrinya berdiri tepat di depan suaminya, menjadi pelindung dan terus menembak. Sekaligus memberikan pengorbanan terhadap sang suaminya. “Suatu ungkapan teladan nan-agung serta cinta bakti yang tinggi,” tulis Zentgraaff.
“Demikianlah, wanita itu tegak berdiri di depan suaminya, dan sebuah peluru bersuratan nasib kini meluncur, menembus tubuh wanita itu, kemudian menembus pula tubuh suaminya. Kedua mereka rebah dengan seketika, dan tidak lama setelah suaminya meninggal, gugur pulalah wanita itu. Akhir hayat yang bagi kedua mereka berarti ‘syahid’, kiranya telah memberikan rasa kebahagiaan yang tak dapat diduga oleh siapa pun betapa besar artinya.” []
ADVERTISEMENT