Kisah MTA Saat Konflik Aceh: Aktivis yang Terjerat Makar dan Dipenjara

Konten Media Partner
31 Agustus 2019 17:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
MTA saat masih berada di Rutan Jantho, Aceh Besar. Foto: Adi Warsidi
zoom-in-whitePerbesar
MTA saat masih berada di Rutan Jantho, Aceh Besar. Foto: Adi Warsidi
Mengenakan kemeja bermotif bunga, dipadu celana biru dongker lengkap dengan kopiah di kepalanya, aktivis mahasiswa Aceh, Muhammad MTA, dihadirkan ke meja Pengadilan Negeri Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Kamis, 24 Juni 2004. Dia dituduh melakukan makar, selain menyuarakan keadilan untuk warga Aceh semasa konflik, beberapa kali terlibat aktivitas bersama Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
ADVERTISEMENT
MTA--begitu dia kerap dipanggil--didampingi penasehat hukumnya, Mohammad Syafi’i Saragih. Sidang hari itu dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Sutarno, SH bersama anggotanya: T. Syarafi, SH dan Saharuddin, SH.
Sidang itu, agendanya mendengar tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), termuat dalam enam halaman yang dibacakan secara bergantian oleh Jaksa Nada Setiawan dan Rizki Afrida. Aktivis itu didakwa memberikan ceramah di beberapa wilayah Kabupaten Aceh Besar, baik secara bersama-sama dengan anggota GAM maupun secara sendiri-sendiri. Ceramah MTA bertujuan mengajak masyarakat untuk bersama-sama memisahkan diri dari Indonesia.
Terdakwa, menurut jaksa, menjadi anggota GAM Aceh Besar setelah diangkat oleh Gubernur GAM Wilayah Aceh Rayeuk, Tgk. Ahyar. MTA juga diberi jabatan sebagai Biro Penerangan GAM.
Selain aktif di GAM, kata JPU, terdakwa juga aktif di beberapa organisasi sipil lainnya, seperti di Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) dan Himpunan Mahasiswa Antimiliter (HANTAM). Karenanya, atas perbuatan yang telah dilakukan, terdakwa bisa dikenai Pasal 108 ayat 1 ke-2e KUHP Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP terkait Perbuatan Makar.
Baju salah seorang tahanan politik di Rutan Jantho saat konflik Aceh bergambar bendera GAM. Foto: Adi Warsidi
Sidang kedua untuknya digelar Kamis, 8 Juli 2004, di tempat yang sama, untuk mendengarkan eksepsi dari pengacara. MTA didampingi pengacara Helman Madewa, SH, yang tergabung dalam Tim Advokasi Masyarakat Sipil Aceh (TAMASYA).
ADVERTISEMENT
Pengacara menganggap proses penangkapan dan penahanan MTA cacat hukum. Bukti untuk menjerat MTA tidak cukup. Pembelaan setebal 18 halaman tersebut memuat secara detail pembelaan terhadap MTA, mulai dari penangkapannya sampai dengan persidangan. Pengacara meminta aktivis itu dibebaskan dari segala dakwaan.
Pembelaan hampir tak berarti. Sebulan kemudian, MTA divonis bersalah atas aktivitasnya yang dinilai melakukan makar bersama GAM. “Saya kemudian divonis hukuman 8 tahun penjara,” kisah MTA, Sabtu (31/9/2019).
Dari persidangan sampai penjara, saya (penulis) sering menemuinya.
***
Muhammad MTA lahir di Simpang Tiga, Kabupaten Pidie, pada 1 Mei 1979. Setelah menamatkan sekolah di kampung halaman, dia hijrah ke Banda Aceh, berstatus mahasiswa di Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry (sekarang UIN), Banda Aceh, sejak tahun 2000.
ADVERTISEMENT
Semasa kuliah, MTA aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, seperti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Salam yang bergerak di bagian kemanusiaan dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Dakwah. Selain itu, pria yang acap bersuara lantang ini juga sempat aktif di pers mahasiswa Ar-Raniry Post. Dia juga aktif sebagai aktivis Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA), sebuah organisasi memperjuangkan referendum.
Karena aktivitasnya, dia pernah empat kali ditangkap aparat berwajib. Salah satunya pada 6 Mei 2002, bersama sejumlah aktivis HANTAM, mengusung isu anti-militerisme membuat aksi yang spektakuler, menuntut Ceasefire antara RI dan GAM. Dalam aksinya, mereka mengusung empat bendera: Bendera Indonesia, Bendera GAM, Bendera Referendum, dan Bendera PBB di bundaran Simpang Lima, Banda Aceh.
Aksi berakhir dengan penangkapan semua peserta, selain MTA, ada Taufik Mubarak, Asmara, Askalani, Imam, Habibie, Ihsan, serta beberapa lainnya. Semuanya mahasiswa. Mereka menuntut adanya intervensi PBB untuk memediasi konflik Aceh.
ADVERTISEMENT
MTA dan Taufik Mubarak dijadikan tersangka dan ditahan selama dua bulan di Kepolisian Resor Kota Banda Aceh. Atas kasus ini, mereka kemudian mendapatkan penangguhan penahanan dan dikenakan wajib lapor.
MTA (kiri belakang) saat deklarasi Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar maju sebagai Gubernur Aceh, Pilkada 2006.
“Setelah itu ada beberapa kali lagi ditangkap, tapi selalu lepas. Sampai akhirnya ditangkap di Bandung dan berakhir di penjara,” ujar MTA.
Sejak Darurat Militer ditetapkan di Aceh, 19 Mei 2003, MTA sudah merasa tak nyaman. Dia terlalu dekat dengan GAM dan ikut diburu aparat. Bahkan, ayahnya sendiri adalah mantan anggota GAM sejak dideklarasikan tahun 1976. Ayahnya pernah ditangkap pihak Kepolisian Resor Pidie saat darurat militer, diperiksa terkait aktivitas MTA sebagai anaknya.
Aparat mendeteksi MTA sebagai GAM, dia diburu dan kuliah sementara ia tinggalkan. Saat Darurat Militer, MTA memilih bergabung dengan GAM Aceh Besar bersama Kelompok Tgk. Ahyar dan dalam perlindungan Kelompok Pak Cek, Panglima Muda GAM Sagoe 22. Setelah ada kesempatan, dia bergeser ke Pidie, kemudian berangkat ke Jakarta sebagai tempat pelariannya.
ADVERTISEMENT
Di sana, dia bergabung dengan para aktivis mahasiswa lainnya, untuk menggelar aksi-aksi dan menolak pendekatan militer dalam penanganan konflik Aceh. “Bersama sejumlah mahasiswa Papua, kami mendirikan Solidaritas Aceh Papua (SAP), tujuannya sama,” katanya.
Beberapa aksi digelar di Jakarta, termasuk di depan Istana Merdeka. Mereka kemudian menggalang kekuatan mahasiswa untuk melancarkan aksi besar-besaran di sejumlah kota, seperti Bandung, Yogyakarta, juga Surabaya. Isunya, tolak militer di wilayah konflik Aceh dan Papua.
Seminggu menjelang rencana aksi besar itu, keberadaan MTA tercium aparat. Dia kemudian ditangkap di Asrama Mahasiswa dan Masyarakat Aceh di Bandung, Jawa Barat. Dari Markas Polresta Bandung Barat, aktivis SIRA ini digelandang ke Markas Besar Polri.
Oleh Mabes Polri, MTA disangkakan sebagai ajudan Menteri Keuangan GAM, (Alm) Teungku Muhammad Usman Lampoh Awe, yang saat itu mendekam dalam tahanan di Aceh. Mabes Polri kemudian menyerahkan MTA kepada Kepolisian Daerah Aceh. Dia diterbangkan dari Bandung ke Aceh pada 5 Maret 2004.
ADVERTISEMENT
Saat berada di tahanan Polda Aceh, MTA mengalami berbagai penyiksaan, dan pemukulan. “Bahkan saat itu, saya tak tahu lagi bagaimana rasa sakit,” ungkap MTA.
Lukisan bendera GAM dan senjata di dinding kamar tahanan politik di Rutan Jantho. Foto: Adi Warsidi
Setelah berkas pemeriksaannya selesai, dia dipindahkan ke Rumah Tahanan (Rutan Jantho) tepat saat ulang tahunnya ke-25, 1 Mei 2004, guna menjalani proses persidangan. Vonis delapan tahun untuknya hanya dijalani selama satu tahun lima bulan.
Damai kemudian hadir di Aceh pada 15 Agustus 2005. MTA mendapatkan amnesti dari pemerintah pada 30 Agustus 2005, bersama ribuan tahanan politik lainnya. Amnesti adalah satu amanah perdamaian yang tertuang dalam MoU Helsinki.
Semasa damai, MTA mengabdikan dirinya untuk membantu Pemerintah Aceh. Dia sempat bergabung dengan Partai SIRA dan aktif memenangkan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar yang menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh pertama usai konflik.
ADVERTISEMENT
Saat ini, MTA tercatat sebagai pengurus Partai Nanggroe Aceh, juga menjadi penasihat Gubernur Aceh, memberikan berbagai masukan terkait pembangunan dan ikut mengawal keberlangsungan perdamaian di Aceh. “Jangan lagi perang, karena itu menyakitkan,” pesan MTA. []
MTA (kiri) dan mantan Juru Bicara TNA GAM, Sofyan Dawood setelah 14 tahun damai Aceh. Dok. Pribadi
Reporter: Adi Warsidi