Kisah Mutia, Istri Panglima GAM yang Dipenjara Saat Hamil 2 Bulan

Konten Media Partner
24 Agustus 2019 18:00 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Mutia dan anaknya, Raja, saat masih di penjara Lhoknga. Foto: Adi Warsidi
zoom-in-whitePerbesar
Mutia dan anaknya, Raja, saat masih di penjara Lhoknga. Foto: Adi Warsidi
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mutia, istri panglima GAM, ikut merasakan imbas konflik Aceh. Mutia pernah menghabiskan waktu sekitar setahun di penjara wanita Lhoknga, Aceh Besar. Mutia bahkan melahirkan anak pertamanya, Raja, saat menjalani masa tahanan.
ADVERTISEMENT
“Raja sekarang sudah besar, sudah SMA. Dia sekarang belajar di salah satu pesantren di (Kabupaten) Bireuen,” katanya saya hubungi pada Jumat (16/08).
Mutia saya jumpai pertama kali di penjara wanita Lhoknga, Agustus 2004. Saat itu, saya menyamar untuk investigasi selama satu bulan lebih di sana, meliput kehidupan perempuan-perempuan yang ditahan karena imbas konflik di Aceh.
Tercatat, penjara dihuni 51 tahanan perempuan dengan berbagai kasus. Sebanyak 40 orang di antaranya dituduh terkait GAM, dari Inong Balee (pasukan GAM) sampai kasus memberikan sepiring nasi untuk kombatan.
Mutia merupakan salah satu penghuni penjara wanita tersebut. Saat itu, umurnya masih 19 tahun. Ia harus mendekam di rutan karena bersuamikan seorang pria yang menjadi bagian dari GAM.
ADVERTISEMENT
Saat menikah, warga Desa Mesjid Beduk, Kecamatan Trienggadeng, Kabupaten Pidie (sekarang Pidie Jaya) itu, tahu kalau suaminya adalah kombatan. Selesai menamatkan SMA di Trienggadeng, Juni 2002, Mutia melanjutkan kuliah di Universitas Al-Hilal, Sigli, untuk mengambil gelar Diploma II.
Umurnya baru beranjak 18 tahun saat dia menikahi Tgk Nasrul, Panglima Operasi GAM wilayah Trienggadeng, Pidie, Maret 2003. Saat itu, pemerintah belum mengumumkan status Darurat Militer di Aceh. Meski telah menikah, dia tetap melanjutkan kuliahnya seperti biasa.
Pada 4 September 2003, Mutia yang hendak ke kampus terjaring sweeping gabungan aparat TNI dan Polri. Mutia pun ditangkap, karena aparat mengetahui statusnya sebagai istri Tgk Nasrul yang diburu pasukan pemerintah.
Alasannya, “Kau tahu suami kau GAM, kenapa enggak lapor,” cerita Mutia. Saat itu Mutia diketahui sedang hamil dua bulan.
ADVERTISEMENT
Setelah menjalani berbagai macam proses pemeriksaan di Polsek Trienggadeng, Mutia lalu digelandang ke Mapolres Pidie. Tak lama kemudian, dia pun disidang, dan hakim Pengadilan Negeri Sigli mengetuk palu hukuman 1 tahun 2 bulan penjara.
Sekitar tiga bulan ditahan di LP Sigli, Mutia pun dipindahkan ke Rutan Wanita Lhoknga, pada tanggal 19 Januari 2004.
Di Rutan Lhoknga, Mutia mengaku sering dijenguk orang tuanya. Maklum, usia kandungan Mutia semakin hari semakin tua, hingga memasuki bulan kesembilan.
Tepat 24 Maret 2004, Mutia pun melahirkan seorang bayi laki-laki di rumah Kepala Sipir. Dibantu bidan panggilan, beberapa minggu dia tinggal di sana, dikawal polisi, dijaga orang tua, sampai kemudian kembali ke penjara bersama anaknya.
ADVERTISEMENT
“Raja namanya,” ujar Mutia.
Raja terpaksa harus tinggal bersama Mutia di penjara wanita, itu pun demi asupan air susu ibu (ASI) dan pertumbuhannya. Raja menjadi anak bagi para perempuan penghuni penjara lainnya, dirawat bersama, dimandikan bersama, dan dimanjakan mereka.
Mutia mengaku, Oktober 2004, masa hukumannya berakhir. “Saya akan kembali ke desa, setelah bebas nanti,” sebutnya. Pun demikian, sikap perempuan ini tak jadi kendur. “Tahanan politik harus dibebaskan,” kata Mutia kala itu.
Suami Mutia, Tgk Nasrul, meninggal dalam sebuah kontak senjata antara GAM dan TNI, sebelum Damai Aceh disepakati pada 15 Agustus 2005. Beberapa tahun kemudian, Mutia menikah lagi dengan salah seorang warga di kampungnya, kini mereka hidup sederhana di kawasan Pidie Jaya, Aceh.
(Alm) Cut Nurasyikin saat masih di penjara Lhoknga, mencium cucunya saat dikunjungi keluarga. Fotorepro: Adi Warsidi/Dok. keluarga
***
ADVERTISEMENT
Di penjara Lhoknga, hampir semua perempuan tahanan politik menjadi narasumber saya. Salah seorang tokoh perempuan Aceh berpengaruh, Cut Nurasyikin, Ketua Srikandi Aceh, juga berada di sana. Beliau divonis 11 tahun atas tuduhan makar. Dia menjadi ibu bagi perempuan lainnya, juga nenek bagi Raja.
Dua bulan setelah Mutia bebas, ombak tsunami menggulung kawasan Lhoknga. Penjara rata dengan tanah, sebagian besar para tahanan politik meninggal, termasuk Cut Nursayikin.
Selain Mutia, beberapa perempuan ternyata selamat karena berhasil melarikan diri ke bukit Lhoknga. Salah satunya Kak Nur, orang yang tak sengaja saya temui di sebuah desa di Aceh Besar, pada April 2018.
(Alm) Elit Baleno alias Salbiah, saat masih di penjara Lhoknga, meninggal saat bencana tsunami. Foto: Adi Warsidi
Kak Nur mengaku ditangkap karena punya abang seorang petinggi GAM Aceh Besar kala itu. Nur mengaku tak terlalu mengenalku saat meliput di penjara dulunya. Sempat kuhubungi Mutia lewat handphone dan memintanya bicara berdua, kudengar mereka akrab dan saling berjanji untuk bertemu. Lalu kubagi nomor kontak Mutia kepadanya.
ADVERTISEMENT
“Ada delapan orang yang lolos dari penjara Lhoknga saat tsunami terjadi, termasuk saya,” katanya. Artinya ditambah Mutia, ada sembilan orang yang punya kenangan tentang penjara untuk perempuan tahanan politik itu. []
Note: sebagian isi artikel tayang di Majalah Acehkita, berjudul ‘Perempuan Aceh di Bawah Status Darurat’, terbitan Oktober 2004.
Cover Majalah Acehkita. Dok. Adi Warsidi
Reporter: Adi Warsidi