Kisah Nenek Fatimah, Barista Kopi Tradisional Tertua di Aceh

Konten Media Partner
28 Desember 2019 8:47 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nek Fatimah menyaring kopi di warung kopi tradisional miliknya di Blang Dhot, Tangse, Rabu (25/12). Foto: Abdul Hadi/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Nek Fatimah menyaring kopi di warung kopi tradisional miliknya di Blang Dhot, Tangse, Rabu (25/12). Foto: Abdul Hadi/acehkini
ADVERTISEMENT
Usianya telah senja. Fatimah, namanya. Di usia 70 tahun, ia masih cekatan meracik kopi secara tradisional. Memenuhi permintaan para pelanggan setianya.
ADVERTISEMENT
Tangan kanan nenek 10 cucu serta dua cicit itu masih kuat mengangkat tinggi gayung-gayung aluminium secara bergantian. Di dalamnya telah diisi bubuk kopi dan air mendidih. Selanjutnya isi gayung dituang ke dalam saringan besar, dari ujung lancipnya menetes air hitam pekat lalu ditampung dalam gelas. Lalu siap dihidangkan.
Warung kopi Nek Fatimah yang berdiri sejak tahun 1975. Foto: Abdul Hadi/acehkini
Sejak tahun 1975, Fatimah sudah menjadi peramu kopi, di Blang Dhot, Tangse, Pidie, Aceh. Dulunya, di warung itu juga menyediakan nasi. Menu khasnya, ikan kerling juga daging rusa.
Pengakuan Fatimah, saban hari warungnya selalu ramai pengunjung. Walau tanpa papan nama, tempat usahanya itu dikenal luas dengan sebutan; Warung Apa Ni. Nama pendek dari suaminya.
Nek Fatimah sudah menyaring kopi sejak 1975. Foto: Abdul Hadi/acehkini
Dari usaha warung itulah, nenek tiga anak ini menyekolahkan putra-putrinya. Kini salah satu putranya telah bekerja di bank pemerintah, ditugaskan di Pulau Bali.
ADVERTISEMENT
Setelah suaminya meninggal 16 tahun lalu, Fatimah tidak lagi menyediakan nasi. Kini di warungnya hanya menjual kopi juga kue-kue basah titipan. Sehari-hari, ia dibantu anak perempuan tertuanya; Nursiah.
Nek Fatimah ditemani anaknya, Nursiah. Foto: Zulkarnaini
Fatimah meracik sendiri bubuk kopi untuk warungnya. Bahan bakunya, kopi robusta dengan beberapa campuran. Kopi robusta sendiri tumbuh subur di perbukitan daerahnya, Tangse dan Geumpang.
Terletak di pertigaan desa, warung milik Fatimah ada kalanya disinggahi banyak tamu. Rabu, (25/12) lalu misalnya, rombongan kecil pejabat dari Provinsi Aceh yang sedang berkegiatan di Tangse singgah di warungnya itu.
Warga menikmati kopi racikan Nek Fatimah. Foto: Zulkarnaini
Setelah menikmati kopi juga makan kue sepuasnya, satu di antara pejabat itu hendak membayarnya. Kaget dengan harga yang disebut Nek Fatimah, sang Pejabat meminta untuk dihitung ulang.
ADVERTISEMENT
Dia mencurigai nenek ini salah mengalkulasinya. Belasan orang yang minum kopi, harga totalnya yang disebut Nek Fatimah hanya Rp 63 ribu rupiah.
Rombongan pejabat Pemerintah Aceh kala menikmati kopi Nek Fatimah. Foto: Abdul Hadi/acehkini
“Iya 63 ribu,” ulang Nek Fatimah setelah menghitungnya kembali.
“Memang kopi berapa segelasnya, Nek?,” tanya sang pejabat yang masih penasaran.
“Kopi 3 ribu. Kue seribu (sepotong),” jawab Nek Fatimah tersenyum. Lalu ia menerima bayarannya.
Soal rasa kopi yang diseduh Nek Fatimah, sulit diungkap dengan kata. Baiknya, jika punya kesempatan lewat ke Tangse, silakan menikmatinya sendiri.
Di usia 70 tahun, Nek Fatimah masih cekatan meracik kopi tradisional. Foto: Abdul Hadi/acehkini
Saban hari warungnya selalu ramai pengunjung. Foto: Abdul Hadi/acehkini