Kisah Pandemi dalam Perang Aceh: Belanda Membunuh Sultan dengan Kolera

Konten Media Partner
20 September 2020 17:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bekas Masjid Raya Baiturrahman setelah penyerangan Belanda, Januari 1874. Dok. KITLV Tropen Museum
zoom-in-whitePerbesar
Bekas Masjid Raya Baiturrahman setelah penyerangan Belanda, Januari 1874. Dok. KITLV Tropen Museum
ADVERTISEMENT
Perang Aceh tak hanya soal pertempuran, tapi ada sisi lain tentang sejarah wabah penyakit seperti COVID-19, yang diimpor pemerintah kolonial Belanda. Puluhan ribu orang mati, termasuk Sultan Aceh dalam penyerangan kedua.
ADVERTISEMENT
Agresi Belanda ke Aceh untuk kedua kalinya, bermula setelah penjajah kalah pada ekspedisi pertama. Pemerintah Kerajaan Belanda menyatakan perang dengan Kerajaan Aceh pada Rabu, 26 Maret 1873 bertepatan dengan 26 Muharam 1290 Hijriah. Maklumat itu dibacakan dari geladak kapal perang Citadel van Antwerpen yang berlabuh di antara Pulau Sabang dan daratan Aceh.
Sebulan kemudian Senin, 6 April 1973, Belanda mendaratkan pasukannya di Pante Ceureumen, Ulee Lheue di bawah pimpinan, Mayor Jenderal JHR Kohler. Perang mulai berlangsung, pejuang Aceh mati-matian mempertahankan istana dan pusat peradaban, Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
Beberapa kawasan berhasil direbut, pada 14 April 1873, Belanda berusaha merebut Masjid Raya Baiturrahman dan berhasil menduduki sekitar pukul 07.00, saat tentara Aceh mundur. Dalam suasana mengundurkan diri, pejuang Aceh mencari tempat persembunyian untuk mencari kesempatan menyerang secara tiba-tiba terhadap pasukan Belanda. Saat itulah Mayor Jenderal JHR Kohler ditembak sniper Aceh dan mati.
ADVERTISEMENT
Pasukan Belanda kurang semangat dan berhasil dipukul mundur ke Ulee Lheu. Lalu, pada 23 April 1873 para prajurit penjajah mendapat izin dari Pemerintah Hindia Belanda di Jakarta untuk meninggalkan Aceh. Pada 29 April 1873, armada Belanda mengangkat jangkar meninggalkan perairan Aceh dan agresi pertama gagal.
Selengkapnya baca artikel berikut:
Dalam buku De Atheh-oorlog karya Paul van’t Veer, disebutkan Belanda gagal karena Tindakan yang tergesa-gesa, tiada perencanaan yang baik. Kegagalan memicu Pemerintah Hindia Belanda kembali membahas strategi penyerangan Aceh kembali, mengumpulkan pasukan untuk menjaga gengsi Internasional.
Para serdadu Belanda yang dikumpulkan sejak Juni 1873, tidak hanya tentara pribumi dari Eropa, tetapi juga didatangkan dari beberapa negara jajahan di Afrika. Sementara wabah kolera sedang menjangkiti Batavia (Jakarta) pada Oktober 1873, membuat sejumlah rencana keberangkatan tertunda.
ADVERTISEMENT
Terkumpulkan personel yang dibawa ke Aceh berjumlah sekitar 13.000 orang, terdiri dari 389 perwira, 1.037 pembantu perwira, 8.156 bawahan, 3.280 orang hukuman kerja paksa, dan 243 wanita pembantu. Sebanyak 19 buah kapal telah disewa untuk mengangkut mereka, termasuk kapal ‘Maddaloni’ milik Jenderal Italia, Nino Bixio, yang mampu mengangku 2.000 orang.
Kapal diberangkatkan pada 11 November 1873 setelah sempat ditunda karena wabah. Tak ada deteksi canggih seperti sekarang, penyakit lolos bersama prajurit di kapal-kapal. Akibatnnya, sepanjang perjalanan ke Aceh, tercatat 60 orang mati.
Di bawah komando Jenderal Van Swieten, Pada 9 Desember 1873, mereka didaratkan di rawa-rawa di sekitar Peunayong, yang terletak di pinggir Krueng Aceh. Lokasi pendataran becek, dan hujan turun tak henti-henti, membuat semakin banyak pasukan yang sakit, kematian berlipat ganda. Sementara serangan-serangan kecil dari prajurit kesultanan Aceh terus terjadi.
Jenderal van Swieten. Dok. wikipedia
Peunayong hanya 1,5 kilomater dari Dalam atau Istana Darut Donya Kesultanan Aceh. Selama dua pekan, serdadu Belanda melakukan latihan perang di sana. Kolera membuat sejumlah pasukan sakit dan beristirahat di tenda, sebagian mati, hingga akhir Desember 1973, tercatat sekitar 150 prajurit mati dan 500 orang terpaksa dirawat di tenda-tenda. Mereka tidur di jerami-jerami basah tanpa pengurusan yang layak, dipindahkan sedikit jauh dari markas pasukan.
ADVERTISEMENT
Pandemi membuat sebagian mereka bertambah parah, hingga sebanyak 18 perwira dan 200 prajurit diangkut ke Padang, karena rumah sakit tenda tak mampu lagi menampung mereka. Mereka diangkut dengan kapal-kapal bersama sejumlah pasukan yang sehat. Akibatnya, sebelum perang benar-benar dimulai, Belanda telah kehilangan sepersepuluh dari kekuatannya yang diangkut ke Aceh.
Dalam kondisi pandemi kolera yang terus menyebar, Van Swieten memerintahkan pasukannya menyerang secara besar-besaran ke istana dan sekitarnya, pada 6 Januari 1874. Serangan pertama ditujukan ke Masjid Raya Baiturrahman sebagai pusat peradaban Kesultanan Aceh. Serangan dilakukan sebuah brigade lengkap dengan 1.400 personel. Pada akhir serangan, tercatat 200 orang serdadu dan 14 perwira terluka parah. Belanda berhasil menguasai masjid itu, setelah seluruhnya terbakar.
ADVERTISEMENT
Perang masih terus berlangsung sengit, sampai 24 Januari 1874, pasukan Van Swieten berhasil menguasai Dalam (Istana Darud Donya) dalam keadaan kosong, ditinggalkan Sultan Alauddin Mahmudsyah, beserta keluarga dan pengawalnya. Pusat pemerintahan dipindahkan ke Keumala, Pidie. Belanda menguasai Banda Aceh.
Sultan berserta keluarga kerajaan para pejuang yang tersisa mundur ke sekitar Lueng Bata, selanjutnya ke Samahani dan Indrapuri. Van Swieten mengumumkan kemenangannya menguasai istana ke Batavia selanjutnya ke seluruh dunia. Dia masih menunggu Sultan menyerahkan kuasa negeri dan menandatangani perjanjian tunduk kepada Batavia. Tapi, harapan itu tak pernah didapat.
Kompleks Kerkhof, kuburan Belanda yang mati dalam perang Aceh. Foto: Suparta/acehkini

Sultan Aceh Terjangkit Kolera

Wabah kolera yang dibawa Belanda telah menjangkiti para pasukan Aceh dan warga. Sultan Alauddin Mahmudsyah tertular, dan beliau wafat tak lama setelah Belanda menguasai istana, pada 29 Januari 1874 di Kawasan di Pagar Ayee (tidak jauh dari Lueng Bata). Sultan Alauddin dimakamkan di Samahani, Aceh Besar.
ADVERTISEMENT
Seusai Sultan mangkat, para ulama dan Ulee Balang terus menggelorakan perjungan melawan Belanda, di bawah pimpinan Tgk Imum Lueng Bata, Tuwanku Hasyim Banta Muda, dan Panglima Polem. Rakyat dan para pejuang terus bergerilya, membuat Belanda tak nyaman di Aceh.
Mereka kemudian bertindak sebagai Wali Sultan, saat Tuanku Muhammad Daud yang masih anak-anak diangkat memimpin Kesultanan Aceh menggantikan Sultan Alauddin Mahmudsyah.
Wabah kolera masih bertahan di Aceh beberapa bulan kemudian, membuat banyak kematian. Ragam tradisi dan doa-doa kemudian muncul sebagai pengusir penyakit itu, sebagian masih berlangsung hingga kini. Penyakit itu juga memunculkan ragam makanan yang diyakini mampu menjadi obat.
Perang masih terus berlangsung di Aceh, Belanda tak benar-benar menguasai wilayah Serambi Makkah, sampai meninggalkannya pada tahun 1942, ketika Jepang masuk. []
ADVERTISEMENT