Kisah Pembuat Batu Bata di Aceh yang Diupah Rp 60 per Buah

Konten Media Partner
1 Mei 2019 20:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sriwati, pekerja di pabrik batu bata kawasan Lamreueng, Aceh Besar. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Sriwati, pekerja di pabrik batu bata kawasan Lamreueng, Aceh Besar. Foto: Suparta/acehkini
ADVERTISEMENT
Siang makin terik, melelehkan keringat dari raut Sriwati (51). Di sebuah bangunan tak berdinding, tangannya sibuk mengaduk tanah liat, seperti adonan. Lalu dimasukkan dalam cetakan, dipadatkan lalu disusun rapi berpola.
ADVERTISEMENT
Suaminya Mujiono (52), memindahkan bakal batu bata menggunakan kereta sorong, ke sebuah tungku besar untuk dibakar. Begitulah hari-hari dilalui pasangan suami istri yang telah memiliki empat anak tersebut di sebuah pabrik batu bata kawasan Lamreung, Aceh Besar.
Mujiono mengangkut batu-bata ke tungku pembakaran. Foto: Suparta/acehkini
Pasangan kakek dan nenek ini, sudah 15 tahun menjadi buruh pembuat batu bata di Aceh, setelah merantau dari kampung asalnya di Tanjung Morawa, Sumatera Utara.
Tak ada kata libur bagi mereka. Di hari buruh atau May day, mereka tetap bekerja. Hari ini, Rabu (1/5), Sriwati dan Mujiono dibantu anak bungsunya yang kebetulan sedang libur sekolah tanggal merah Peringatan Hari Buruh Internasional.
Setiap buah batu bata yang mereka cetak, diupah sebesar Rp 60. “Dalam sehari paling sanggup 500 buah batu bata, atau lebih dikit,” ungkap Sriwati.
Sri bersama anak bungsunya beristirahat sejenak. Foto: Suparta/acehkini
Anak bungsu Sriwati (baju merah) membantu ibunya mencetak batu-bata. Foto: Suparta/acehkini
Sriwati mendapat Rp 30 ribu tiap harinya, dari kerja yang dimulainya sejak pagi sampai sore jelang waktu Salat Asar. Jam istirahat mereka hanya saat makan siang. Ongkos cetak sebesar Rp 60 itu baru saja naik sedikit dari sebelumnya yang hanya Rp 45 per batu bata.
ADVERTISEMENT
Upah suaminya Mujiono lain lagi. Untuk setiap biji batu bata yang disorong dan disusun di tungku, ia mendapat upah sebesar Rp 25. Mujiono memperoleh upah tambahan saat proses membakar batu bata, sebesar Rp 700 ribu untuk sekali proses pembakaran.
Jika cuaca bagus, proses pembakaran bisa dilakukannya sampai tiga kali dalam sebulan. “Tapi risikonya itu, untuk menjaga api terus menyala merata, saya harus bergadang 3 hari 3 malam,” jelasnya.
Mujiono bekerja di pabrik batu bata. Foto: Suparta/acehkini
Susunan batu bata di pabrik tempat mereka bekerja. Foto: Suparta/acehkini
Tiap hari Minggu mereka mendapat pinjaman dari pemilik pabrik. “Pinjaman untuk biaya makan, nanti pas gajian dipotong,” ungkap Mujiono.
Beruntung, mereka tak lagi harus membayar kontrakan, lantaran si pemilik pabrik menyediakan tempat tinggal, lokasinya pun tak jauh dari tempat mereka bekerja.
Jafar mengangkut batu bata yang telah dibakar di tungku pembakaran untuk dijual. Foto: Suparta/acehkini
Seorang pekerja lainnya di pabrik batu bata di Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Berbeda dengan Jafar, pria berusia 65 tahun itu hanya menjadi buruh menurunkan batu bata yang telah dibakar dari tungku. Pria asli Lamrueng ini memperoleh upah Rp 15 untuk setiap buah batu bata yang diturunkannya. Ia memperoleh ongkos yang sama untuk setiap batu bata yang dimuatnya ke dalam truk.
ADVERTISEMENT
“Kalau rajin dan kerja sampai sore bisa dapat Rp 80 ribu,” ungkap pria yang sudah belasan tahun menjadi buruh pabrik batu bata.
Walau dengan upah yang minim, Sri, Mujiono, dan Jafar, bersyukur tak mengeluh saat mengisahkan aktivitasnya. “Karena kami masih sehat bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup,” kata Jafar. []
Pekerja di pabrik batu bata kawasan Lamreueng, Aceh Besar. Foto: Suparta/acehkini
Reporter: Suparta