Kisah Pemburu Makam Kuno Aceh, Demi Harta Karun Tak Ternilai

Konten Media Partner
10 Juli 2021 18:23 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mizuar Mahdi, Ketua Mapesa Aceh sedang merawat nisan di kompleks makam kuno, Gampong Lambung, Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Mizuar Mahdi, Ketua Mapesa Aceh sedang merawat nisan di kompleks makam kuno, Gampong Lambung, Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
ADVERTISEMENT
Belasan orang bergerak cepat dengan cangkul dan parang, melubangi tanah sambil membersihkan semak belukar di makam kuno tak bertuan. Mereka tak sedang memburu harta benda untuk mencari kaya di bawah nisan-nisan peninggalan Kesultanan Aceh, tapi lebih dari itu.
ADVERTISEMENT
Nisan-nisan itu adalah harta karun Aceh masa lalu, dan mereka yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa) sedang menyelamatkan aset berharga yang terbengkalai di Gampong (desa) Lambung, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, Minggu (4/7) pekan lalu. Wilayah dekat pantai Ulee Lheu itu pernah digada tsunami Aceh 26 Desember 2004 silam, rata tanah.
“Kami menata makam-makam kuno yang terserak, mengurusnya dan mendokumentasikan sebagai fakta peninggalan sejarah,” kata Mizuar Mahdi, Ketua Mapesa, di sela-sela membersihkan nisan dari debu dan tanah dengan kuas. Nisan-nisan yang jatuh didirikan kembali, yang patah disambung ulang.
Mapesa adalah sebuah komunitas yang bekerja tanpa pamrih, digagas pertama kali atas prakarsa para pendiri sejak 2010. Setelah melalui fase-fase pembentukan yang rumit, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ini, akhirnya didaftarkan ke notaris pada 2012.
ADVERTISEMENT
Mapesa berkantor sekretariat di Kota Banda Aceh. “Sejak berdiri sampai saat ini telah melalui tiga kali pergantian pengurus,” kata Mizuar.
Lelaki kelahiran 18 Januari 1988 telah bergabung dengan Mapesa sejak 2011, dan dipercaya memimpin sejak pertengahan 2015. Tugasnya menjalankan amanat lembaga yang secara garis bersar bertujuan; menemukan kisah Islam yang insaf dalam peradaban Aceh masa silam, dan menyajikan kisah tersebut beserta warisannya kepada masyarakat luas, terutama generasi muda.
Dalam mewujudkan cita-cita itu, Mapesa bekerja di antaranya melakukan penyelidikan dan penelitian sesuai prosedur ilmiah dalam rangka menemukan fakta-fakta sejarah yang terpecaya keshahihannya, merawat serta melestarikan berbagai warisan yang dapat membuktikan fakta-fakta sejarah. Selanjutnya sosialisasi kepentingan peninggalan sejarah Aceh kepada berbagai lapisan masyarakat, juga pembersihan dan penataan kompleks-kompleks makam peninggalan sejarah demi kepentingan penelitian ilmiah dan pelestarian.
Para relawan Mapesa merawat makam kuno. Foto: Suparta/acehkini
Mapesa juga menyediakan layanan jasa pemanduan wisata ke berbagai situs sejarah Islam di Aceh, terutama untuk murid-murid sekolah dalam berbagai tingkatannya. Lembaga ini aktif mengelola media sosial Mapesa sebagai sarana berkomunikasi dan berbagi informasi menyangkut sejarah Aceh dan warisannya. “Ada banyak lagi kegiatannya, saat ini lebih fokus kepada pengumpulan dokumen,” sebut Mizuar.
ADVERTISEMENT
Kegiatan merawat makam kuno yang dilakukan saban akhir pekan, Sabtu atau Minggu, adalah bentuk pengumpulan dokumen fakta sejarah masa lalu. Tersebar ratusan kompleks makam kuno Banda Aceh dan Aceh Besar yang umumnya tak terawat.
“Karena kondisinya itu, kami bekerja ulang bergotong-royong, ziarah, dan melakukan sosialisasi kepada warga. Setelah semuanya terawat kami mendokumentasikannya dan melakukan penelitian,” jelas Mizuar.
Relawan pemburu makam datang dari berbagai kalangan, dosen, pegawai negeri, penggiat sejarah sampai para mahasiswa, punya kesamaan visi untuk menyelamatkan aset sejarah.
Soal finansial, Mapesa mengandalkan sumber dana mandiri dan dana wakaf dari warga, tidak mencari keuntungan dan tidak mengajukan proposal ke berbagai instansi. Jika ada kebutuhan biaya terkait kegiatan, mereka akan sampaikan ke member group untuk menyumbang. “Selain dari member group, ada saja warga yang membantu dana untuk kegiatan gotong-royong dan lainnya,” kata Mizuar.
ADVERTISEMENT

Nisan-nisan Penuh Misteri

Para relawan Mapesa terus bekerja di kompleks makam kuno kawasan Lambung, Banda Aceh. Dari bentuk Nisan, Mizuar memastikan itu peninggalan Kesultanan Aceh Darussalam abad ke-18 hingga 19 masehi. Karena kondisinya memprihatinkan, meraka butuh waktu dua hingga tiga bulan untuk menyelesaikan penataan.
Kompleks makam itu sudah lama ditemukan, tapi baru ditata ulang. "Ini adalah tokoh tokoh dari kalangan istana, menteri, dan ulama. Semuanya ini adalah orang-orang yang telah berkontribusi dan memberikan peranan masing-masing pada masa hidup mereka untuk Kesultanan Aceh Darussalam," katanya.
Pemilik makam masih misteri, belum dapat diidentifikasi lantaran tidak ada inskripsi yang menjelaskan orang yang dimakamkan sebagaimana biasanya terpahat di nisan peninggalan Kesultanan Aceh Darussalam. "Di kompleks makam ini kami tidak menemukan kaligrafi apapun kecuali di beberapa makam memuat kalimat tauhid," tuturnya.
Menata kembali nisan di makam kuno. Foto: Suparta/acehkini
Banyak makam kuno yang telah dirawat Mapesa. Misalnya pada Februari 2015, mereka membersihkan kompleks di belakang pertokoan di Jalan Mohd Hasan, Lueng Bata, Banda Aceh. Ada sebanyak 25 makam di komplek itu, dengan sebagian nisannya disertai kaligrafi yang masih dapat terbaca. Sebagiannya rusak dan bahkan ada nisan yang hilang. Semak belukar tumbuh subur.
ADVERTISEMENT
Koordinator Mapesa saat itu, Dedy Satria yang juga arkeolog mengatakan mereka telah membersihkan makam itu sebanyak enam kali. Makam itu peninggalan kerajaan Aceh abad 15 dan 16, yang masih menyimpan banyak misteri. Nisan yang beragam bentuk menandakan komplek tersebut merekam perkembangan sejarah Aceh dari waktu ke waktu. “Ada nisan dari akhir abad 15 dan sampai pertengahan abad 16,” ujarnya.
Nisan yang sederhana misalnya, meniru nisan-nisan dari Kerajaan Samudera Pasai yang lebih dulu keberadaannya dikenal. Banyak yang mirip. Ada juga nisan yang sudah unik dan lebih rumit, dengan tulisan dan lambang-lambang seperti bunga dan burung yang masih misteri.
Dedy Satria menilai nisan yang rumit mulai berkembang di Aceh sejak awal abad ke-16. Selanjutnya terus berevolusi dengan berbagai ukiran dan kaligrafi semakin beragam semasa Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Alauddin Riayat Syah, putra Sultan Ali Mughayat Syah. “Perlu kajian lebih jauh tentang beragamnya nisan di sini.”
ADVERTISEMENT
Pada akhir September 2020 lalu, Mapesa bergotong-royong merawat makam kuno setelah menemukannya di Gampong Meunasah Baet, Krueng Barona Jaya, Aceh Besar. Lokasi dipenuhi artefak nisan peninggalan akhir abad ke-16 dan ke-17, saat periode puncak kemajuan Kesultanan Aceh Darussalam.
Kata Mizuar saat itu, makam terindentifikasi milik para petinggi istana Kesultanan Aceh Darussalam. Temuan menarik, ada tipe nisan yang berasal dari Kerajaan Samudera Pasai (Aceh Utara), Biheue Pedir (Pidie) dan Lamuri.
"Ini pertanda ada satu komitmen visi bersama beberapa kerajaan di Aceh tersebut, sebagai lambang persatuan dalam mengusir Portugis dari bumi Aceh," jelas Mizuar.
Sampai kini, para relawan Mapesa masih terus memburu makam kuno untuk mencatat sejarah di baliknya sebagai harta karun Aceh masa lalu, pelajaran bagi generasi mendatang. []
ADVERTISEMENT